Silaturahmi Tak Terbukti Luaskan Rizki

Gambar: pixabay.com

Alhamdulillah, kesampaian juga. Entahlah, entah semua terjadi karena dorongan hati yang terlalu kuat untuk tidak melewatkan momen bahagia kakak sepupu di akad sekaligus walimatul ursy-nya yang dihelat hari ini atau apa? Alasan jauh, repot lagi ada bayi, sampai itungan biaya transportasi, sungguh sudah siap untuk dijadi tameng dalih atau sekedar alibi, tadinya.

Namun, sudah terlalu lamanya tak mengunjungi, banyak beda yang mungkin telah terjadi, hingga bisa jadi, ini adalah kesempatan bersua yang terakhir kali, mengingat saudara-saudara bapak sudah tak muda lagi, akhirnya saya pergi juga meski tanpa didampingi istri yang masih repot ngurusin bayi.
Benar saja, silaturahmi terasa penuh arti dan pertemuan pun menjadi jalan saling mentafakuri soal apa yang masing-masing alami. Berbagi cerita, saran, maupun do'a terasa lebih bermakna di antara sanak saudara yang sudah lama tak bersua. Alhamdulillah....

Sebenarnya dan seharusnya, silaturahmi memang bukanlah hal yang mesti berat dilakoni jika kondisi memungkinkan untuk hal itu bisa dipenuhi. Silaturahmi adalah nadi yang menjadi ciri bahwa sebuah jalinan hati di antara makhluk adami masih tetap lestari.

Di makna lebih dalamnya lagi, sebagian kita bahkan meyakini akan adanya keluasan rizki dan nikmat berupa umur panjang dalam silaturahmi yang menjadi esensi. Benarkah?

Sepertinya, bagi yang meyakini, sanksi terhadap janji Rasulallah tentang silaturahmi bukanlah hal yang layak diamini. Pun demikian, benar adanya, sebelum manusia dilahirkan, takaran rizki dan usia memang sudah ditetapkan. Maka, bahwa itu akan tetap diberikan meski kita lebih rajin atau malah jarang dalam bersilaturahmi, semua sudah menjadi kemestian. Jadi, nggak ngaruh dong?

Mmh...memang nggak ngaruh. Sebagaimana sebuah kondisi tentang mau kerja atau nggak, gajinya tetap saja segitu. Ya...tapi kalo masih dipercaya kerja, kan? Lah, jika karena nggak kerja terus kena PHK? Atau gara-gara rajin kerja malah dapat bonus dari sana, mau bilang apa?

Tapi kan... tapi kan, itu soal beda. Itu takdir namanya.
Pernah dengar bahwa do'a, sedekah, atau sholawat, bisa mengubah takdir?
Ok... tapi bukan berarti karena silaturahmi dong?

Mmh, apakah sedekah dimaknai hanya dalam bentuk uang dan makanan saja? Bukankah senyum saja sudah termasuk sedekah; Dan saat silaturahmi terjadi, bukan hanya senyum, kita bisa juga sedekahkan sedikit kebahagiaan kepada orang lain atas hadirnya kita. Ya, kecuali memang hadirnya kita selalu sepaket dengan masalah yang serta dibawanya.

Runut lagi, anggaplah silaturahmi memang tak terbukti luaskan rizki. Apalah rizki jika harus kita maknai? Berkarung beras dan sebongkah berlian, kah? Ah, tidakkah dengan demikian kita telah tega menyempitkan setiap diri untuk menjadi sosok Bang Toyip yang tak pulang-pulang saja?
Rizki yang hakiki bisa kita temui dalam sehat yang menyertai, kemudahan yang diberi, atau kesederhanaan yang cukup saja kita miliki. Kesederhanaan? Maksudnya?

Begini, semisal saat hp kita rusak, saja. Berapa biaya yang harus kita habiskan untuk bisa memperbaikinya jika oleh sendiri? Untuk itu, mungkin kita perlu pelatihan reparasi atau bahkan kuliah electricity.

Untuk bisa menggunakan kendaraan dalam sebuah keperluan, kita harus belajar mengemudi, punya lisensi, dan mengeluarkan sejumlah uang untuk kendaraan dibeli. Iya?

Namun ternyata, dalam aplikasinya, bayangan untuk beragam proses rumit itu bisa selesai dengan cara yang sederhana. Tinggal bersilaturahmi dengan tukang servis atau datang ke tukang rental kendaraan, semua dapat aman dan terkendali.

Jangan bilang itu sebagai ilahar. Bukan tak mungkin, saat kita perlu, tukang servis justru lagi tak mud atau Si Tukang Rental malah tak menaruh percaya terhadap kita. Nah, dengan silaturahmi, bukan hanya kemudahan yang bisa kita dapati, didahulukannya layanan sampai dengan tak perlu adanya biaya diperlukan, adalah hikmah lain dari silaturahmi yang mungkin bisa kita dapatkan.

Jika sejumlah ulasan di atas menyangkut masalah keluasan rizki, lantas bagaimana dengan usia? Usia atau umur yang juga disebut sebagai manfaat dari silaturahmi.

Dengan lebih ghaib-nya usia, sangkalan kontribusi silaturahmi dalam panjangnya usia, tentu lebih mudah untuk dijadikan bahan pertanyaan atau bahkan gugatan.

Baiklah.... Namun, sebelum semua diajukan, bolehlah kiranya kita coba renungkan satu hal.
Berapa usia Muhammad SAW?  Muhammad SAW sebagai orang yang mengujarkan, "Siapa yang ingin rizkinya diperluas dan umurnya panjang maka hendaklah ia bersilaturahmi," (HR. Bhukari)
Muhammad SAW hanya berusia kurang dari 63 tahun; dan kalimat tadi masih hidup sampai saat ini di hati umat yang meyakininya.

Wallahualam....

Papi Badar

Cipali, 18082018
Repost dari plukme


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ketawa Karir

"Hirup Tong Kagok Ngan Tong Ngagokan!" Masih Mencoba Menyelami Colotehan Ustad Evie Effendi

3 Metode Pendekatan Penilaian Properti Beserta Kekurangan dan Kelebihannya