Kampanye Hitam, Bukti Kelemahan Calon atau Kebuntuan Penonton?

Sumber: rri.co.id
Dalam beberapa hari terakhir ini, kita dihebohkan dengan penyebaran Tabloid Indonesia Barokah dan Pamflet Say No to Jokowi-Ma'ruf Amin. Terus? Ya, nggak apa-apa .... toh bukan situ lopernya, kan? Tapi, yang menarik adalah, kemunculan dua alat propaganda ini mengisyaratkan mulai sengitnya medan laga kontestasi Pilpres 2019. Ok ... tenang, tenang, tak perlu tepuk tangan karena sengitnya laga pilpres dijamin tak berbanding lurus dengan melejitnya income bulanan Anda sekalian.

Sayangnya, jika kita sebagai rakyat awam ingin keseruan jelang pilpres diwarnai oleh hal-hal yang mendidik,  fenomena kemunculan tabloid dan pamflet di atas justru minim muatan positif atau bahkan masuk dalam kategori negatif campaign atau kampanye negatif.
Sumber: tirto.id

Apa itu kampanye negatif? Tanpa menggurui Anda, Anda, yang lebih paham, kampanye negatif adalah kampanye yang dilancarkan dengan memaparkan kelemahan, kekurangan, atau kesalahan lawan dengan data dan fakta yang ada. Berbeda dengan negatif campaign, ada juga istilah black campaign atau kampanye hitam. Nah, pada kampanye hitam, pemaparan keburukan lawan justru tidak didasari dengan data dan fakta yang ada. Modalnya bisa hanya indikasi, asumsi, bahkan sekedar tuduhan.

Menurut Mahfud MD, pun tokoh lain seperti Presiden PKS, Shohibul Imam, kampanye negatif itu sah-sah saja, atau bahkan perlu. Maksudnya, dengan dibukanya kelemahan-kelemahan seorang kandidat peserta kontestasi, hal tersebut dapat dijadikan pertimbangan bagi para pemilih untuk memantapkan keyakinannya terhadap pilihannya.

Hanya saja, kembali fokus ke pilpres 2019, ada tanya yang menggelitik bagi saya pribadi dengan munculannya kampanye negatif yang mulai masif sekarang ini, apakah ini bukti bahwa kedua calon yang hendak bersaing memang lemah atau paling tidak memiliki kelemahan yang terlalu kasat mata untuk dilihat, ataukah kita saja. Kita sebagai penonton yang sulit mencerna daftar keunggulan para capres sehingga saat mencari bahan propaganda yang menjanjikan, kita malah menemui kebuntuan?

Berada di puncak kontestasi, tentu bukan tanpa alasan, hanya saja, sampai sekarang, konsep brilian yang ditawarkan para paslon memang belum begitu mengena. Pun dengan debat pertama yang telah dihelat. Aroma defensif dan berkutat di tataran teknis masih terlalu kental. Hasilnya, hanya hal-hal yang tak esensial-lah yang menyeruak ke permukaan seperti, mode senyapnya Ma'ruf Amin, jogetnya Prabowo, atau Jokowi yang berulang bilang, "Laporkan saja!" Sayang! Karena sebenarnya, banyak harapan yang kita gantung jelang "konfrontasi" dua calon secara terbuka dalam skala nasional 17 Januari lalu.

Itulah, buah dari kemonotonan konsep yang tertuang pada visi misi dan minimnya gagasan brilian yang terkemukakan dalam agenda kampanye terbuka, disinyalir menjadi alasan kenapa kampanye negatif menjadi lebih mudah dikunyah daripada mencari, meraba, menelisik program asyik yang para paslon tawarkan (baca: janjikan).

Ya sudahlah, semoga secepatnya kita melihat perbedaan pada konsep dan program para capres yang lebih menjanjikan dan bisa jadi bahan pertimbangan.

Papi Badar
28012019

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ketawa Karir

"Teu Nanaon Ngan Nanaonan?" Mencoba menyelami Celotehan Ustad Evie Effendi

3 Metode Pendekatan Penilaian Properti Beserta Kekurangan dan Kelebihannya