Postingan

Menampilkan postingan dari 2021

Cangkul, Pedang, Keris, dan Lantunan Adzan Awal

Gambar
morning, pixabay Banyak yang menyebutkan, musik adalah bagian dari kesenangan. Lebih lagi, diterangkan bahwa musik adalah salah satu perangsang munculnya senyawa endorphin yang berfungsi sebagai pembunuh rasa sakit. Mungkin, tapi sejauh yang saya rasa sebagai pendengar musik, di saat tertentu, itu tak banyak membantu. . Lagu yang paling saya suka sekalipun, giliran asam lambung lagi naik, terdengar datar, bahkan mengganggu, sampai menutup telinga menjadi pilihan terbaik. Karenanya, wajar saja jika ada sebagian kita memilih menghindar dari suara yang bisa berefek rileks tapi juga berpotensi melenakan tersebut. Terlebih, memang ada tuntunan untuk itu. . Kala suasananya lain, saya malah menyadari lantunan adzan sebelum fajar sebagai nyanyian paling indah untuk didengar. Silahkan kamu lukiskan sendiri. Sekira pukul tigaan, di hening dini hari, senyap tak ada nada lain selain alam yang bersuara seadanya dalam gulita, sayup itu menggema mengisi ruang-ruang kosong di indera pendengeran kita.

De Drama of Beol

Gambar
  *maaf jika tulisan ini mengganggu kenyamanan Anda . Jumat malam dari jam setengah delapan lebih, Adhia--Si Bungsu--ngambek. Aku yang lagi rebahan awalnya tak peduli, tapi tangis dan rengekannya makin menjadi. Kutengok ke ruang tengah, anaknya berdiri sambil merengek, berdebat kecil dengan ibunya. . Pasalnya sederhana, dia mau pup dan minta dipasangkan popok. Sudah hampir satu jam, ibunya bergeming, sementara tangis Adhia pun tak menunjukan akan segera berhenti. “Ambilin popok, Papih…” ratapnya sambil sesegukan saat menyadari aku mendekat. . Aku tersenyum menatap Si Kecil sambil bilang, “Hayu Papi anter k kamar mandi, De!” “Nggak mau ke kamar mandi! Mau di popok” jawabnya masih sambil nangis. “Nggak bisa, Sayang...” . Negosiasi pun terus berlanjut. Ibunya berargumen; udah dibuanglah, nggak ada uang buat beli popok, bau, dst. Si Kecil juga terus ngotot; jangan dibuang, beli lagi ke warung, dan lainnya, tentu tanpa dia mau menghentikan tangisnya. Tensinya terus naik, terlebih jika kaka

Ngebet Diuji dengan Kesenangan

Gambar
Tunas (dok.pribadi) "Sejatinya, senang dan susah itu sama. Keduanya ujian, keduanya adalah kondisi yang bisa mengantarkan kita untuk mendapatkan keutamaan hidup. Senang dengan syukurnya; susah dengan sabarnya; maka hasilnya sama-sama kebaikan." Apa yang Anda pikirkan dengan pernyataan tersebut? Rumit. Jika bisa memilih, inginnya sih, diuji dengan kesenangan. Begitu seorang teman pernah katakan. Teman? Kita sendiri kali, ah? Tentu, dengan segala tontonan yang disajikan Atta Gledek, Rapih Amat, Jaim Dong, dan teman-teman, dengan mudah kita membayangkan bahwa dengan hidup berlebih, lebih mudahlah kita untuk membuat konten. Ashiep, berbuat baik, maksudnya! Terlebih dengan ungkapan seorang "ustad" kemarin-kemarin yang bilang bahwa orang miskin karena kurang ibadah; males banget, kan? Fix, segala yang kita lihat dan dengar di jaman now ini mengantarkan pada kesimpulan, senang dan kaya adalah jalan ninja kita untuk mudah lulus ujian. Hehe.... Yakin? Ya, kenapa tidak? Bukan

Nggelemi Kahanan, Bagian 2

Janji itu hutang. Sebelum dipenuhi, dia akan tetap menjadi kewajiban yang belum kita tunaikan. Tulisan ini adalah konsekuensi dari embel-embel “bagian 1” yang nguntit di judul tulisan sebelumnya. Trik juga sih, sebenarnya. Trik biar saya terpaksa nulis lagi. Karena kalau nggak dipaksa, seringnya malah kalah sama rebahan. Baik, seiring dengan pesan soal “target” yang muncul di salah satu komen; yup! “Nggelemi Kahanan” bagi sebagian orang mungkin dianggap konsep yang statis, mandeg, atau nggak maju. Konsep menerima keadaan terkesan bertolak belakang dengan pandangan masyarakat modern yang mengutamakan progres. Hidup itu harus linear atau terus menunjukan kemajuan. Padahal tidak seperti itu. Nggelemi Kahanan tak bisa diartikan menolak kemajuan atau melarang orang untuk berkembang dengan cukup menerima keadaan dirinya saat ini. Untuk yang beragama islam ada yang namanya konsep tawakal. Nah, sebagai mana kita tahu, tawakal bukan serta merta membiarkan diri dalam keterpurukan dengan dalih be

Nggelemi Kahanan, Part1

Akhir-akhir ini saya banyak terkagum dengan pencapaian orang lain yang tetiba telah menjabat ini, punya itu, atau menjadi seseorang dengan strata lebih dari sebelumnya. Masyaallah! Minusnya, tentu, saya sendiri tak paham proses yang mereka jalani dan hanya tahu ketika mereka sudah berada di tangga kesuksesan seperti sekarang ini. Terlepas hal tersebut, yang lebih minus lagi, saya berpikir, kok diri sendiri seperti berada di titik yang sama? Nah, ini yang berbahaya. Bahaya karena berpotensi menyimpulkan diri tak mampu berkembang, berbuat lebih, sulit untuk bersyukur, dan bahkan menyesali keadaan. Akhir sya'ban dan awal ramadhan adalah masa yang akan selalu saya kenang. Momen di mana pernah saya merasa kembali ke titik nol bahkan di bawah dari itu. Tiga tahun lalu pada periode tersebut, anak ke dua kami lahir, istri kembali ke rumah setelah 10 hari dirawat, dibarengi kondisi finansial kami yang minus tadi. Selanjutnya, mungkin ini kali pertama kami melewatkan puasa dan lebaran tanpa