Cangkul, Pedang, Keris, dan Lantunan Adzan Awal

morning, pixabay

Banyak yang menyebutkan, musik adalah bagian dari kesenangan. Lebih lagi, diterangkan bahwa musik adalah salah satu perangsang munculnya senyawa endorphin yang berfungsi sebagai pembunuh rasa sakit. Mungkin, tapi sejauh yang saya rasa sebagai pendengar musik, di saat tertentu, itu tak banyak membantu.

.

Lagu yang paling saya suka sekalipun, giliran asam lambung lagi naik, terdengar datar, bahkan mengganggu, sampai menutup telinga menjadi pilihan terbaik. Karenanya, wajar saja jika ada sebagian kita memilih menghindar dari suara yang bisa berefek rileks tapi juga berpotensi melenakan tersebut. Terlebih, memang ada tuntunan untuk itu.

.

Kala suasananya lain, saya malah menyadari lantunan adzan sebelum fajar sebagai nyanyian paling indah untuk didengar. Silahkan kamu lukiskan sendiri. Sekira pukul tigaan, di hening dini hari, senyap tak ada nada lain selain alam yang bersuara seadanya dalam gulita, sayup itu menggema mengisi ruang-ruang kosong di indera pendengeran kita. Tenang, lambat, tapi pesannya kuat.

.

Dari segala dimensi kita memasangkan persepsi untuknya, saya rasa lantunan adzan itu tetaplah indah.

.

Di suasananya, nadanya, lafadznya yang mengeja keagungan Allah SWT, bahkan di kesan kita terhadap pelantunnya. Ya, meski terdengar sedikit parau, melemah pada beberapa bagian karena dia pasti bukan pemuda lagi, paling tidak saya yakin dia adalah orang yang merdeka—Bukan golongan mereka yang menerima gaji milyaran per tahun tapi masih mencari kepastian fee dari proyek yang hendak dia loloskan.

.

Maaf. Kok loncat ke sana, ya?

.

Tapi itulah, di segala keruwetan sekarang ini, demi kewarasan kita, perlu rasanya sejenak kita mengalihkan pandangan dalam hidup kita pada perspektif lain yang tidak itu-itu saja. Itu-itu saja?

.

Mmh... coba saya sambungkan. Ada idiom menarik dari Cak Nun soal tujuan hidup manusia. Cangkul, Pedang, dan Keris.

.

Menurutnya, umumnya kita sekarang sibuk dengan cangkul. Dalam maknanya, cangkul adalah fungsi ekonomi, materi, atau kasarnya: kekayaan. Konon, hanya itu yang menjadi tujuan hidupnya orang-orang sekarang ini. Kaya!

.

Bahkan saat orang berkuasa pun, berkuasanya untuk kaya. Orang pintar, dia gunakan kepintarannya untuk bisa berkuasa dan kaya. Orang kuat; punya potensi, akses, dan sebagainya, tetap saja dia gunakan kekuatannya untuk bisa ikut berkuasa dan ujungnya, tetap biar kaya. Atau yang sedang tren belakangan, popularitas. Orang populer, terkenal, dia manfaatkan labelnya itu untuk menerobos jalan pintas menuju kekuasaan dan kemudian, ya... untuk kaya juga.

.

Tak peduli kapasitas, kapabilitas, apalagi makna demokrasi yang banyak dijargonkan. Sayangnya, memang banyak yang mengambil jalan malang ini sehingga tak aneh kita lihat pemimpin tanpa wibawa, bakti, apalagi kearifan.

.

Lanjutnya, tak ada yang bisa kita perbuat untuk mengubah itu semua. Kita perlu merumuskan ulang sebuah tatanan baru. Tatanan yang dimulai dari kembalinya kita merenungkan tujuan masing-masing dalam hidup.

.

Balik ke tiga idiom dari tujuan hidup tadi. Cangkul adalah kekayaan, pedang adalah kekuatan, kekuasaan, sedangkan keris adalah kewibawaan, pengaruh.

.

Terserah, tak ada yang salah! Kita boleh memilih cangkul, pedang, ataupun keris. Tapi, kita tentu paham, orang yang punya cangkul belum tentu dia memiliki pedang apalagi keris. Sedangkan orang yang punya keris, pasti dia memiliki pedang dan cangkul.

.

Melahap sajian kekinian yang tak jauh dari hitungan fantastis penghasilan para pejabat atau parade pesohor yang pamer harta di vlognya masing-masing, demi menjaga kesehatan kita lahir dan batin, mau apalagi coba? Selain teriak sama tembok, “Sekarepmu! Lah wong saya cari keris!” Haha....

.

Tapi bener, loh! Tak peduli itu cangkul tumpul, pedangnya usang, jika kamu sudah memegang keris, kamu adalah orang yang merdeka. Merdeka semisal Sang Pelantun Adzan di fajar tadi.

.

Selamat hari senin, semoga Allah SWT memudahkan urusan kita semua!

.

Papi Badar, 20092021

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ketawa Karir

Prinsip-Prinsip Penilaian Aset / Properti

"Teu Nanaon Ngan Nanaonan?" Mencoba menyelami Celotehan Ustad Evie Effendi