Main Kuda-kudaan, Yuk! (Cerpen)
Di satu pagi yang cerah, terdengar obrolan antara dua ibu-ibu di
sebuah warung sayur satu-satunya di lingkungan pemukiman bergang sempit setingkat
RT.
Agak aneh menurutku, masih banyak tanah kosong, rata-rata rumah punya
halaman, tapi jangankan mobil, motor saja tak bisa berpapasan untuk lewat di
akses yang ada di kampung ini.
"Jarang keliatan, Bu Guru?" Entah nyindir karena jarang belanja atau apa, Ceu Anah, Si Pemilik
Warung, membuka percakapan dengan mengungkap kangennya kepada Bu Siti. Tetangganya
yang memang sudah lama tak belanja di warung Ceu Anah.
"Iya, nambah ngajar di SD, Ceu Anah."
"Waduh, nggak cape? Mana sambil jualan baju lagi ya, Bu?"
"Yah... mau gimana lagi. Syarat sertifikasi, Ceu. Jualan masih,
cuma agak sepi sekarang mah."
"Duh, padahal saya mau minta Bu Guru ngajarin anak saya ngaji. Bu Guru ngajar agama kan, ya?"
"Oh...hehe, iya," jawab Bu Siti
sedikit malu.
"Dadan kan udah SMP ya, Ceu? Masa
belum bisa ngaji," lanjut Bu Siti.
"Bukan Dadan, Dayat yang mau saya suruh
ngaji, Bu."
"Bukannya Dayat masih kecil, Ceu
Anah?"
"Udah 4 tahun kok, Bu. Daripada main terus
sama Si Abud. Heran, lengket amat mereka? Kadang saya sampe nyari-nyari."
"Oh...pantesan nggak keliatan, pagi-pagi udah main?"
"Nggak, Dayat lagi di WC. BAB-nya suka lama sekarang. Sakit, katanya. Itulah,
takutnya dibawa jajan sembarangan sama Si Abud." Ceu Anah menjelaskan.
"Abud anak Bu Marni? Dia kan dah gede
Ceu, ya? Masa main sama anak kecil?"
"Tau atuh, Bu Guru? Harusnya udah TK B, mungkin? Orang tuanya sibuk di pasar, nggak ada
yang nganter."
"Itung-itung ngasuh aja kalo gitu,
Ceu Anah. Hehe...." Bibiku basa-basi berniat
menghibur.
"Iya, sih. Cuma kadang kamalinaan mainnya. Suka saya marahin,
tapi jawabnya cuma, "seru main kuda-kudaan sama Aa Abud, Mak,"
katanya." (Kamalinaan: kelewatan, tak ingat waktu dan lainnya)
"Oh...batasi aja kalo sampe harus nyariin. Ya udah, soal ngaji
anak-anak, ntar saya pikirkan ya, Ceu Anah. Berapa semuanya?"
"Iya... makasih, Bu Guru! Ini aja belanjaannya?"
"Iya, itu aja."
*
"Wah... hebat uy, Si Bibi! Cair sertifikasi?" (Hebat!
Sertifikasinya cair ya, Bi?) tanyaku langsung nyembur melihat paviliun rumah adik bungsu ibuku
ini tengah dirombak. Bagiku yang sudah berbulan-bulan nggak mengunjunginya,
jelas ini adalah kejutan buat ngutang. Eh....
"Boro-boro, A! Dah 8 bulan belum juga ada kepastian cair. Payah!"
jawab Bibiku dengan nada kesal dan wajah sekecut mangga muda.
"Ah... sok papaéhan, da moal diinjeuman atuh, Bi! Haha," (suka
pura-pura, uangnya nggak bakal dipinjem ini, kok!) candaku menggoda bibi yang
masih manyun.
"Aslina, acan! Aya kenalan di luhur, A?" (Beneran belum
cair, ada kenalan di atas) katanya masih sambil manyun.
"Aya, bajing. Luhur deui, heulang...haha. Eta geuning bisa
kuriak, ah?" (Ada, tupai. Lebih atas, ada burung elang. Itu, kok bisa renov
rumah?) tanyaku masih sambil bercanda.
"Pake tabungan sekolah Si A Wildan dulu. Bisa dicicil,
ternyata."
"Mau dibikin kosan lagi, Bi?"
"Nggak. Kan tahu Aa juga, nggak ada yang mau kos di sini.
Kejauhan kali, ya?"
Sebelum nikah, aku memang pernah tinggal di rumah Bibi selama hampir
2 tahunan. Di sebuah kampung kecil, pinggiran kawasan pendidikan ternama di kabupaten
tempat bibiku tinggal.
Tugasku dipindah ke kawasan timur waktu itu. Sedikit di luar kota
yang sekarang aku tinggali, mengisi kantor cabang yang baru buka --mungkin perusahaan
melirik kemajuan daerah ini yang pesat seiring membludaknya pendatang,
khususnya mahasiswa.
"Buat apa atuh, Bi? A Wildan sekolahnya sambil mondok, si Ade Firman
dah punya kamar sendiri, kan?" tanyaku sedikit heran.
Keherananku beralasan, kok! Ruangan di rumah bibiku bisa dibilang
cukup dan tadi beliau bilang lagi tak banyak uang, kan?
Beda soal kalo beliau emang lagi banyak uang, mau ditingkat sepuluh
juga ya, silahkan! Huehe...
"Buat tempat ngaji anak-anak tetangga, A," tiba-tiba bibiku
menyela.
"Waaah.... Gitu, dong! Hobi téh tong dudunya waé, Bi!
Haha...." (Gitu, dong! Hobi tuh jangan ngejar dunia aja)
Aku masih saja bercanda berniat menggoda. Sampai akhirnya, beliau nampak
memasang wajah letih seolah menyirat banyak sesal yang tertahan di dadanya.
"Butuh, lain hobi!" (Karena kebutuhan, bukan hobi) jawabnya
pelan membuatku sedikit tak enak hati.
"Hehe... iya," aku menanggapi asal saja karena bingung
harus ngasih respon apa.
"Tapi emang iya, A. Ngeri liat anak-anak di sini."
ucap bibiku masih dengan nada pelan.
Jelaslah sudah, ada keluh kesah yang menggangu di benak bibiku. Tak
ingin kehilang momentum beliau bercerita, aku pun bersiap mendengarkan.
"Emang ada apa, Bi?"
***
Syukurlah, Pak Kepala tak jadi menggelar rapat guru siang ini.
Selepas jam ujian ke dua, guru-guru yang tidak memegang kelas diperkenankan
pulang.
Hasil negosiasi dengan kepala sekolah SMP tempatnya mengajar, tahun
ini bibiku akhirnya boleh untuk tidak memegang kelas dulu . Dia kerepotan karena
harus mengajar juga di dua SD yang agak berjauhan. Ini dilakukan demi memenuhi jumlah
jam mengajar yang jadi syarat ikut sertifikasi.
Lelah turun dari angkot, sebenarnya bibiku ingin segera melihat
Firman. Anak bungsunya itu ditinggal di rumah bersama keponakan perempuan dari suaminya
yang kebetulan belum dapat kerja. Namun, rumahnya yang tak berada di pinggir jalan dengan akses gang yang
memiliki kemiringan cukup menjanjikan untuk tidak bisa diajak buru-buru dilewati, dia
pun mengayun langkah sekuatnya sambil sesekali menyapa tetangga yang kebetulan
sedang berada di luar rumah.
Lepas rumah ke tiga, berbeloklah dia ke kiri untuk kemudian harus
melewati warung Ceu Anah yang sudah sepi pembeli di jelang siang yang cukup
terik tersebut.
"Dah pulang lagi, Bu Guru?" Seperti biasa, Ceu Anah yang
terlihat hanya memakai kaos oblong dan menenteng hihid (kipas tangan dari bambu)
itu duluan menyapa.
"Iya, Ceu Anah. Lagi ujian, jadi bisa pulang cepat. Mana De Dayat,
Ceu?"
"Nggak tahu... lagi main, kayaknya."
"Ih, tadi pagi katanya lagi sakit BAB," tanya bibiku heran
teringat obrolan Ceu Anah sendiri tadi pagi
"Iya, tapi kalau Si Abud nyamper main kuda-kudaan, nggak pernah
nolak anak itu," terang Ceu Anah sambil mulai mengipas mukanya pake hihid.
"Dasar anak-anak. Yu ah, Ceu! Saya ke rumah dulu."
Mangga, Bu Guru!"
Bibiku pamit untuk lanjutin langkahnya yang sedikit menanjak menuju
rumah. Masih ada 4 rumah dan satu kebun pisang yang harus dia lewati untuk
sampai rumahnya.
Agak jauh memang, tapi mau gimana lagi, itu juga rumah dapat warisan
dari mertuanya. Mana bisa beliau milih. Tapi lumayanlah, untuk sekedar tempat
istirahat, rumah berkamar tiga ditambah halaman yang masih bisa ditanami
beragam pohon buah itu terlihat lebih nyaman dari rumah-rumah lain di sekitarnya.
Sampai di rumah ke tiga, langkah bibiku terhenti. Dia seperti
mendengar suara cekikikan anak kecil dari rumah yang sudah tiga bulan tak diisi
tersebut.
Bibiku penasaran. Sayang, posisi rumah yang tinggi ditambah pagar
hidup berupa tanaman wareng menghalangi pandangannya menerobos ke arah rumah, sedikit berjinjit, barulah dia lihat ada dua anak kecil di sana.
"Oh...Dayat sama Abud lagi main di teras rumah, ternyata."
Merasa tak ada yang aneh, bibiku kembali menoleh ke arah gang untuk
lanjutkan perjalanan pulang.
"Tuh, indit deui. Hayu tuluykeun, calanana laan," (Tuh,
pergi lagi. Ayo lanjutkan! Celananya copot!) bisik salah satu anak di rumah itu
membuat bibiku kaget dan membatalkan langkahnya.
Sedikit panik, segera dia naik ke tangga halaman rumah kosong itu
untuk memastikan apa yang terjadi. Mengejutkan! Dari tangga plester itu,
barulah didapatinya dua anak tadi. Abud dan Dayat dengan celana keduanya sudah
melorot di bawah lutut. Sedangkan posisi keduanya.... Pokoknya, cukuplah
pemandangan siang itu membuat bibiku berteriak dan merasa langit runtuh
menimpanya.
"Astagfirullah! Nanaonan ari Maraneh!!!"
*
"Ya gitu, A. Tak ada alasan punya anak laki-laki itu lebih
aman. Lingkungan kita tak seramah dulu."
Tutup bibiku mengakhiri kisahnya sambil memeluk Si Bungsu. Nampak
air mata mengambang tipis berarak hampir jatuh di kedua bibir matanya.
Based on the true story from my aunty
Papi Badar
Bandung, 12102018
Repost dari plukme
Komentar
Posting Komentar