Mencari Pengganti "Early" di Sunyi Dini Hari

Gambar: pixabay.com
Jika orang sebut pagi penuh semangat, sepertinya tidak begitu mengena jika disemat dengan suasana hening seperti ini. Terlalu tenang dan jauh dari banyak suara hentakan kaki yang kini lebih didominasi oleh bunyi deru mesin dari serangkai besi. Memang, dari nama juga sudah lain. Ini belum pagi. Meski lewat tengah malam sudah masuk pagi di selanjutnya hari, kita mengenal nama dini hari untuk wanci yang indah ini. Masih pukul 3:09 saat kutengoh jam gawai tadi.

Jika pagi diharap datang dengan semangat, dini hari justru masih belum banyak kita memandangnya penuh manfaat. Dalam tanda kutip, manfaat yang didapat saat mata lepas dari pejamnya. Kecuali jika ada jadwal bola, mungkin. Dalam kondisi yang biasa dijalani, dini hari masih dimaknai tak lebih dari sekedar waktu untuk berhibernasi. Padahal, tidak. Untuk sedikit orang, dini hari adalah masa berharga yang sayang dilewatkan begitu saja.

Sedikit kita mau selidik, ada pedagang yang sudah bergegas ke pasar menembus sunyi dini hari, para koki yang sudah menyalakan api, atau para pewarta, yang dari loper sampai reporter, bersiap menyaji berita untuk kita nikmati dengan hangatnya kopi pagi nanti. Mereka semua tak tertawan udara dingin untuk menunai tugas wajib tuk dijalani.

Namun, di luar tugas wajib dari beberapa profesi tadi, sebagian dari sedikit entitas yang sudah terjaga di dini hari justru memilihnya sebagai saat tepat untuk berkontemplasi. Merenung di kedalaman relung, merecah, mencari cerah di ujung senyap yang indah, atau mencoba menyapa Sang Maha Kuasa di tenangnya jiwa karena yang ada hanya dia dan Tuhannya. Merekalah, mereka yang hanya sedikit tadilah yang paham akan indahnya waktu yang biasa dianggap lalu oleh kebanyakan awamnya kita.

Jika kita coba menyikap, dini hari memang berharga. Karena jika semua waktu dianggap sama, maka untuk masa ini ada sedikit beda. Bukan pada detik jam atau lajunya, hanya penggunanya yang jarang ada. Yang karenanya, suasana pun jadi berbeda. Manfaat hanya bisa oleh sedikit orang dirasa. Siapa? Tentu saja, mereka yang rela berkorban untuk bangkit lebih awal.

Baiklah, ternyata kuncinya ternyata "lebih awal."

Mmh ... ada yang unik untuk kata "lebih awal" bagi saya. Kenapa tidak ada kata khusus dalam kamus bahasa ibu kita untuk kata lebih awal. Sayang, karena kesannya seolah tidak istimewa. Padahal ada perjuangan besar untuk mendapat predikat lebih awal. Lebih khusus, maksud saya, jika dalam bahasa inggris ada kata "early" bahkan dalam bentuk komperatif bisa meningkat menjadi "earlier", dan memuncak sampai "The Earliest", di kita sekedar cukup untuk dibuntuti kata "lagi".

Mencari alibi diri, mungkin itu alasan kita yang tak terlalu hirau dengan kebiasaan terlambat, begitu damai dengan kondisi telat, dan nyaman dengan alasan "terlambat asal selamat." Jika pun benar, terkesan ada penyepelean di sana. Ada harga yang terlalu rendah untuk prestasi yang berjuluk selamat. Selamat harusnya mutlak, hasil terbaik tak seharusnya menjadi sampingan di setiap buah usaha yang hendak kita capai kelak. 

Wallahualam ....

Papi Badar,
Bandung, 08082018
Repost dari Plukme





Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ketawa Karir

"Hirup Tong Kagok Ngan Tong Ngagokan!" Masih Mencoba Menyelami Colotehan Ustad Evie Effendi

3 Metode Pendekatan Penilaian Properti Beserta Kekurangan dan Kelebihannya