Over Value dan Under Value, Antara Penilaian Aset dan Pembenahan Mindset
Mencoba bersikap adil, under value tak bisa
dikatakan "mending" daripada over value-nya sebuah kesimpulan yang
diambil oleh seorang penilai aset. Sayangnya, dalam dunia penilaian aset (Asset
Valuation) atau yang lebih dikenal dengan appraisal, para penilai sering kali
lebih merasa aman saat hasil penilaiannya bersifat under value atau lebih rendah
dari nilai pasar aset yang dia nilai.
Dipikir secara praktis, nilai di bawah pasar
memang bisa menghindari penilai dari resiko kerugian pihak pengguna laporan
penilaian yang dalam hal ini masih didominasi oleh pihak pemberi kredit atau
bank. Iya, jika pengguna laporannya bank. Apa kabar kalau laporan penilaian
digunakan untuk kepentingan pribadi, penjualan aset, apalagi kepentingan lelang?
Kerugian akhirnya harus ditanggung oleh pemilik aset karena hak yang dia terima
bisa jadi lebih kecil dari seharusnya gara-gara asetnya dinilai terlalu rendah.
Gampang, gimana jika untuk kepentingan
pribadi kita buat saja over value? Hallo.. Buat apa dinilai dengan tenaga
profesional jika dengan mudahnya sebuah hasil penilaian yang memang bersifat
asumsi dimainkan seenakna sesuai dengan pesanan yang datang? Mana berbayar,
lagi!
Penilaian bukanlah perkara sederhana. Akurasi
tepat dalam dunia penilaian tak akan pernah bisa didapat. Aroma subjektivas
penilai akan terasa kental di sana. Karenanya, untuk meminimalisir banyak unsur
non teknis dalam penilaian, seorang penilai pun harus dibekali seabreg pengetahuan
terkait aset yang dinilainya. Mulai dari legalitas, material dan utilitas, karakteristik
fisik dan lingkungan, sampai kebijakan dan adat kebudayaan, semua harus dipadu
sampai bisa membawa penilai pada kesimpulan nilai yang benar-benar dirasa adil
untuk banyak pihak yang berkepentingan.
Harap diingat, itu
pun hanya dirasa dengan modal perhitungan dan banyak pertimbangan. Hasilnya pun
bukan nilai pasti dan selalu bersifat asumsi. Tapi paling tidak, dengan usaha
maksimal dari penilai, asumsinya bisa dipertanggungjawabkan dan tidak jauh melenceng
dari kenyataan.
Jika di atas
adalah sekelumit masalah over value dan under valuenya dunia penilaian, keseharian
kita pun tak bisa lepas dari dua hasil akhir tersebut saat mencoba berpersepsi,
beropini, atau memberi penilaian terhadap sesuatu. Supaya tak terlalu melebar,
kita batasi saja pada kegemaran kita dalam menilai orang. Ups.. Kok kegemaran,
ya?
Menilai seseorang
bukan hal yang mudah untuk bisa diabaikan. Meski kita bisa dengan mudah berkata
"bukan urusan saya", saat kontak antar individu terjadi, penilaian
terhadap lawan kontak dijamin pasti akan terjadi. Kadar kedalaman analisa dalam
menilai seseorang sendiri pasti berbeda-beda, tapi tak berarti, hal tersebut
tak pernah kita lakukan sama sekali.
Menilai orang
lain justru sangat diperlukan untuk paling tidak, dengannya kita bisa mengetahui
soal sikap apa yang perlu kita suguhkan saat berinteraksi dengan yang
bersangkutan.
Dalam prosesnya,
mutlak, mindset kita berperan aktif memberikan masukan terhadap hasil penilaian
kita terhadap seseorang, dan itu tak bisa tidak.
Akibatnya, sama halnya dengan persoalan
pada asset valuation tadi, over value dan under value adalah dua hasil yang tak
pernah bisa dihindari. Secerdas dan setelitinya kita, tetap saja akan ada
banyak ruang yang tak kita paham dari orang yang kita nilai. Tanpa usaha lebih,
penilaian kita hanya akan berupa kumpulan subjektivas tak terbatas yang dibenturkan
dengan stok informasi yang terbatas.
Salah? Tentu saja tidak. Terlebih jika kebutuhan
kita untuk menilai sudah mendesak sedang informasi yang ada tetap tak banyak. Mau
gimana lagi, ambil saja asumsi awal.
Tapi ingat, asumsi tersebut bukan modal
utama untuk ditunjukan dalam berasikap. Menahan diri sampai ada info lain yang
menguatkan, sepertinya lebih bijak untuk dilakukan. Itu yang pertama.
Kedua, saat asumsi masih prematur, perlu
waspada extra di sana. Propaganda
akan berpengaruh besar pada akhirnya. Entah itu predikat dan gelar besar atau
kebaikan yang pernah kita rasakan. Yang pasti, fokus pada kepentingan dan tetap
rasional bisa dimaksimalkan sebagai usaha kita tetap adil dalam menilai
seseorang.
Ya, jangan sampai
kita abaikan seorang sudra yang berpesan jangan makan kelewat malam. Giliran
kegemukan tiba, baru saja kita tersadar dan bilang, "yang ngomong bukan
dokter, sih!" Cape, deh! Kok contohnya gitu
banget, ya?
Ok, itu saja. Selamat
siang, Bloggers! Salam..
Papi Badar,
Bandung, 06082018
Artikel pernah di publish di akun plukme Andris Susanto
Komentar
Posting Komentar