Daun Jatuh Tak Pernah Membenci yang Naik
Sepertinya, memang
benar apa yang disebut temanku kemarin pagi, kebanyakan
prolog bukan saja membuat tulisan tidak efektif, tapi juga minim faedah... Haha.
Rencananya, waktu itu saya hanya hendak mengutip satu ungkapan di film Hindustan
yang bertajuk 3 Idiot, karena terlalu
ngalor ngidul, jempol malah mengantar pikiran ke sedikit uraian tentang
film-filmnya Aamir Khan. Tapi, lumayan lah, kan jadi ada dua artikel yang
terposting. Hore!!!
Baiklah, kita
potong saja prolognya daripada tujuan tak kunjung tertuliskan. Di sebuah scene
yang menampilkan pengumuman ujian, keberhasilan Rancho mendapat predikat
terbaik ternyata tak selalu berbuah kebahagiaan di hati temannya. Dalam situasi
seperti itu, muncul qoute yang keren menurut saya. Dalam bahasa sendiri, kurang
lebih bunyinya seperti ini, "Kita bersedih saat teman kita menjadi pecundang
tapi lebih sedih saat kita lihat dia muncul sebagai pemenang."
Jleb! Bukankah itu yang biasa kita rasa? Bukan, bukan dia, mereka,
atau teman saya, seperti yang sering kita kutip dalam cerita "sok bijak"
di postingan kemarin lusa. Paling tidak, sekali sempat pasti perasaan itu ada
sebagai buntut dari ego manusia. Terlebih jika kita menjadi bagian dari kompetisinya
Sang Juara. Hanya keluasan hati yang akhirnya bisa menyingkir nafsu manusia
untuk menerima dan kembali ke arah logika.
Ya, logika.
Logika yang berkata ada lebih usaha pada diri Sang Juara. Entah itu lebih banyak
proses ditempa, lebih lama waktu diguna, atau paling tidak, dia punya sedikit
lebih kuasa. Tetap saja, kuncinya ada nilai lebih yang kita tak punya. Lantas,
kenapa mesti ada sedih apalagi benci muncul di hati kita.
Di sinilah puncak
pergulatan antara nafsu dan logika tercipta. Wow! Nafsu dengan segala
argumentasinya yang tak pernah puas atas hasil yang ada, akan selalu hadir
menggugat dan menuntut tanpa ingat bahwa hanya ilmu yang harus dituntut. Eh ....
Tahan nafas
sejenak, mungkin, dengannya kita bisa sedikit menurunkan tensi dan mereda rasa
tak enak untuk tidak semakin meledak. Hanya saja, jika nafsu tetap meraja, akal
hanya akan kita minta untuk menjajal dan mencari rasionalisasi tentang harusnya
kita yang lebih layak dikenal.
Jelas, ini adalah sebuah kondisi yang sangat mengenaskan. Harusnya, logika bisa segera difungsikan sebagaimana
fitrahnya kembali, menyadar hati untuk lebih bisa bijak menafsir segala kondisi, menetralisir sedih, dan membungkam benci. Bukankah daun jatuh tak pernah membenci yang naik?
Ya, sejak dulu bukan hanya teman kita yang bisa naik daun. Hebatnya, sampai
saat ini tak pernah ada cerita daun membenci orang yang naik. Ada? Bisa jadi.
Tapi, meski pun
pada nyata ada daun yang membenci yang menaiki, mereka tak pernah menggugat dan
meminta untuk diganti. Bukti, sampai kini, bingkai kesuksesan seseorang tetap
saja naik daun. Bukan mercy apalagi angkot, kan?
Daun sangat paham akan fungsinya. Dia hadir sebagai penopang, yang dengannya, para kampium bisa mantap singgah di
empuknya singgasana. Lalu, apa yang didapatnya? Jangan salah, dia selalu
disemat dan tak lepas dari diri Sang Juara. Suatu ketika, memang dia bisa saja
lelah atau bahkan jatuh ke tanah. Tapi, apa dia benci? Tentu saja, tidak.
Dia jatuh untuk menumbuhkan penerus lainnya, menjemput juara selanjutnya.
Lantas, kapan dia maju sebagai juara sebenarnya? Ah, apalah makna juara jika
yang dinaikinya juga cuma daun. Ya, kan?
Papi Badar,
Bandung, 08082018
Repost dari plukme
#prosais #naikdaun #daunjatuh
Komentar
Posting Komentar