Nggelemi Kahanan, Part1


Akhir-akhir ini saya banyak terkagum dengan pencapaian orang lain yang tetiba telah menjabat ini, punya itu, atau menjadi seseorang dengan strata lebih dari sebelumnya. Masyaallah!

Minusnya, tentu, saya sendiri tak paham proses yang mereka jalani dan hanya tahu ketika mereka sudah berada di tangga kesuksesan seperti sekarang ini.

Terlepas hal tersebut, yang lebih minus lagi, saya berpikir, kok diri sendiri seperti berada di titik yang sama? Nah, ini yang berbahaya. Bahaya karena berpotensi menyimpulkan diri tak mampu berkembang, berbuat lebih, sulit untuk bersyukur, dan bahkan menyesali keadaan.

Akhir sya'ban dan awal ramadhan adalah masa yang akan selalu saya kenang. Momen di mana pernah saya merasa kembali ke titik nol bahkan di bawah dari itu. Tiga tahun lalu pada periode tersebut, anak ke dua kami lahir, istri kembali ke rumah setelah 10 hari dirawat, dibarengi kondisi finansial kami yang minus tadi. Selanjutnya, mungkin ini kali pertama kami melewatkan puasa dan lebaran tanpa makanan wah, perayaan mewah, dan baju baru. Hal yang tak perlu didramatisasi karena ini bukan acara tali kasih apalagi salah satu episode dari drakor yang menguras air mata.

Terlebih, alhamdulillah semua terlewati dengan izin-Nya. Kekurangan tertutupi, syarat rukun pun terpenuhi tanpa harus menyisakan kewajiban yang harus dilunasi di kemudian hari. Pamer? Kurang referensi, jika itu pesannya.

Maksud saya, contoh, jika di awal ada tanya soal langkah kita yang tersendat sementara mereka jauh melesat, kenapa tidak kita kembali merefleksikan jalan hidup kita sendiri--tidak menghukumi keadaan, dan menghargai setiap pencapaian diri sendiri.

Satu konsep yang mesti kita amini, sebelum menentukan langkah apapun, kita harus “nggelemi kahanan” atau menerima keadaan. Pahami posisi kita dan iyakan saja dulu. Tak perlu berdalih apalagi menyangkal. Kita akan tahu apakah kita maju atau mundur karena kita paham di mana kita berdiri saat ini, bukan? Bukan karena apa yang dipertontonkan sekitaran.

Selanjutnya... kita bahas di bagian dua.

Intinya, terjemahan lain dari “Nggelemi Kahanan” tadi tak lain: “Saiki, neng kene, ngene, aku gelem.” Berdamailah dengan keadaan dengan ikhlas menerima bahwa dengan kondisi saat ini, di sini, seperti ini, aku mau.

Menurut filosofi jawa konsep ini penting untuk menjadi pegangan sehingga kita tetap bisa mensyukuri keadaan dan seimbang dalam pencapaian, karena kemajuan sendiri tak bisa hanya sebatas materi sementara mental spritual kita mundur.

Selamat bersahur...

Papi Badar, 14 april 2021/02 Ramadhan 1442.

Referensi materi: ceramah Fachrundin Faiz, Nggelemi Kahanan, Ki Ageng Suryomentaram.

#Nggelemikahanan #fachrudinfaiz #kiagengsuryamentaram #filsafatjawa #motivasi


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ketawa Karir

Prinsip-Prinsip Penilaian Aset / Properti

"Teu Nanaon Ngan Nanaonan?" Mencoba menyelami Celotehan Ustad Evie Effendi