Nggelemi Kahanan, Bagian 2

Janji itu hutang. Sebelum dipenuhi, dia akan tetap menjadi kewajiban yang belum kita tunaikan. Tulisan ini adalah konsekuensi dari embel-embel “bagian 1” yang nguntit di judul tulisan sebelumnya. Trik juga sih, sebenarnya. Trik biar saya terpaksa nulis lagi. Karena kalau nggak dipaksa, seringnya malah kalah sama rebahan.

Baik, seiring dengan pesan soal “target” yang muncul di salah satu komen; yup! “Nggelemi Kahanan” bagi sebagian orang mungkin dianggap konsep yang statis, mandeg, atau nggak maju.

Konsep menerima keadaan terkesan bertolak belakang dengan pandangan masyarakat modern yang mengutamakan progres. Hidup itu harus linear atau terus menunjukan kemajuan. Padahal tidak seperti itu.

Nggelemi Kahanan tak bisa diartikan menolak kemajuan atau melarang orang untuk berkembang dengan cukup menerima keadaan dirinya saat ini. Untuk yang beragama islam ada yang namanya konsep tawakal. Nah, sebagai mana kita tahu, tawakal bukan serta merta membiarkan diri dalam keterpurukan dengan dalih berserah kepada ketetapan Allah SWT. “Ikatlah untamu, lalu bertawakallah kepada Allah,” begitu yang Nabi ajarkan.

Keharusan menerima, bahkan menyukai kondisi kita saat ini—saiki, neng kene, ngene, aku gelem—dimaksudkan agar langkah kita ke depan lebih terukur. Setelah kita menerima keadaan, diharapkan kita dapat lebih paham apa yang seharusnya diperbaiki, dikejar, atau dikembangkan.

Karenanya, selanjutnya ada istilah: “Tadah, Pradah, Ora Wegah.” Prinsip inilah yang harus kita pegang dan jalankan selanjutnya.

Pertama, tadah. Tadah itu tidak meminta apapun. Maksudnya bukan tidak punya keinginan, tapi tidak banyak menuntut. Menerima dan mensyukuri apa yang ada; yang kita punya. Konteksnya, tentu setelah selesai kita usahakan dengan usaha terbaik. Jika memang harus ada yang dikejar terkait rasa keadilan, ya tuntaskan dulu!

Setelah tadah, selanjutnya kita harus pradah. Mau repot. Repot dengan menyumbangkan pikiran, tenaga, harta, ilmu, untuk perbaikan diri dan sesama. Jadi, nggak ada hubungannya dengan malas dan pasif. Justru, dengan potensi yang dimiliki, kita dituntut menghasilkan kebaikan meskipun itu capek, repot, atau kehilangan. Itu namanya pradah. Lah, kok jadi PR banget, ya?

Kalau yang sempat nonton spiderman, tentu tahu quote di akhir film pertamanya: “Di balik kekuatan yang besar selalu ada tanggung jawab besar yang menyertainya.” Artinya... panjang. Maaf, ntar malah keburu imsyak!

Terakhir, ora wegah. Ya itu tadi, tidak malas. Tidak enggan, segan, menunda-nunda, atau memilih-milih untuk berbuat kebaikan. Lakukan yang terbaik dan serahkan hasilnya kepada yang Di Atas sebagaimana komen saudariku kemarin. Mantap! Kok tahu apa yang belum saya tulis, ya? Hehe.

Jadi, Nggelemi Kahanan itu tidak hanya rebahan seperti yang saya singgung di atas. Leyeh-leyah, atau wegah.

Mengerti banyak konsep kebaikan, tahu beribu hikmah kebijaksananaan, jika tidak diterjemahkan dalam kehidupan sehari-hari ya belum terpuji. Terpuji itu ya tadah, pradah, dan ora wegah.

Masyaallah! Semoga kita bisa mengamalkannya!

Konsep Nggelemi Kahanan yang dikembangkan Ki Ageng Suryomentaram sendiri merupakan turunan dari falsafah Cokro Manggilingan. Pandangan hidup masyarakat jawa yang memaknai bahwa kehidupan ini ibarat roda (cakra) yang berputar (manggilingan), tak ada senang selamanya, dan tak ada susah seterusnya.

Papi Badar, 16 April 2021 / 04 Ramadhan 1442.

Quote Ki Ageng Suryomentaram,

“Menerima pemberian itu secukupnya, tak usah terlalu banyak, nanti malah tumpah tak karuan.”

“Di atas bumi atau di kolong langit ini tak ada barang yang pantas dicari, dihindari, atau ditolak secara mati-matian.”

Referensi Materi:

- Ceramah Fahrudin Faiz, Nggelemi Kahanan, Ki Ageng Suryomentaram.

*diposting juga di fb, andris susanto.

#falsafahjawa #fahrudinfaiz #nggelemikahanan #cokromanggilingan #motivasi


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ketawa Karir

Prinsip-Prinsip Penilaian Aset / Properti

"Teu Nanaon Ngan Nanaonan?" Mencoba menyelami Celotehan Ustad Evie Effendi