Cerita Sebelum Tidur, "Papi Badar"

Icon Papi Badar, dok.pribadi

Tiba-tiba terbersit ingin ngisi blog dengan tulisan ringan. Alasannya sih biar bisa rutin update; padahal, nggak bisa jamin juga!

Malas itu nggak kenal usia apalagi caleg RI dari pe'es'i nomer urut satu dapil Bandung. Wew! Meski dulu pas kuliah hampir tiap hari muter lagu nidji, mending mendadak lupa deh, pas ada poto mirip vokalis tuh band cengengesan di spanduk or apk lain di kotaku yang tercinta ini!

Lah, kok malah bahas pileg. Astagfirullah ... lindungi hamba dari tipu daya pencari nafkah di gedung parlemen ya Rabb! Aamiin ....

Baiklah, apa yang ingin saya obrolkan kali ini adalah terkait dengan nama pena "papi badar".

- Nama pena?
- Iya.
- Situ Penulis?
- Mmh ... sekadar status dan blog pribadi, mungkin.
- Tragis!

Tapi nggak apa, ya ... hehe Maaf jika tak berkenan, walaupun saya juga tak paham kenapa kamu harus keberatan. Masa cuma gegara saya pake nama pena aja harus keberatan? Gimana kalo saya pake vellfire yang anti air plus tahan panas? Bayangkan coba, bagi yang mampu.

Kalo maksa harus dijelasin (anggap saja ada), keputusan saya memakai nama Papi Badar sendiri berawal saat masih aktif posting untuk plukme. Tahu plukme? Ya itu, platform semisal blog tapi senyaman sosial media. Nggak usah dicari. Plukme lagi maintenance, katanya.

Jadi ceritanya, karena sudah sering saat bertegur sapa sering ada perkeliruan terkait gender, usia, dan status dalam keluarga, maka saya berpikir untuk langsung pertegas saja di setiap tulisan.
Kenapa harus Papi Badar? Nggak Abu Badar atau Ayah Badar, misalnya? Karena saya terpapar isu anti arab! Haha ... kagak, ah! Bagi saya, soal isu kearab-araban atau tidak berwawasan nusantara untuk hal terkait soal nama itu sebuah kekonyolan yang nyata.

Kata Abu tak selamanya bagus sebagaimana yang tersemat kepada Abu Ubaidah bin Jarrah, misalnya.
Sejarah Arab sendiri mencatat adanya Abu Jahal dan Abu Lahab yang keburukannya tak akan tertandingi walau oleh Abu Janda yang ngaco sekalipun. Itu yang pertama.

Adapun untuk alasan ke dua, tentu saja karena keren. Keren dong, kayak Kang Bahar gitu. Preman berwibawa itu pun dipanggil Papi oleh anak-anaknya. Asa teu kudu?

Sedangkan untuk alasan ke tiga, kenapa harus Papi Badar, itu tak lain disebab keinginan saya untuk mengampanyekan soal tak dipengaruhinya kualitas seseorang oleh nama yang mereka semat. Bukankah Shakespeare pun bilang bahwa sekuntum mawar akan tetap harum meski namanya bukan mawar? Jadi, jangan khawatir! Saat kamu bernilai, siapa pun namamu, orang tetap akan mengenalimu dari kualitas yang kamu tunjukan.

Tak soal orang menamaimu tukang parkir, loper koran, atau sekadar kuli bangunan. Jika berkualitas, orang tetap akan mengenalmu sebagai tukang parkir yang teladan, loper koran yang alim, atau kuli bangunan beristri empat, misalnya. Eh .... Ya, gitu pokonya mah!

Tak paham, kan? Iya, saya aja udah mulai agak pusing ini. Segitu saja dulu, ya! Asli ngantuk. Kita saling do'akan saja semoga saya diberikan kekuatan untuk terus posting cerita sebelum tidur ini dan kamu diberi keikhlasan untuk menyimaknya. Aamiin ....

Sampai jumpa di cerita lainnya. Makasih 😘
Papi Badar
Bandung, 28012019

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ketawa Karir

Prinsip-Prinsip Penilaian Aset / Properti

3 Metode Pendekatan Penilaian Properti Beserta Kekurangan dan Kelebihannya