Tips Menulis, Nulis, Yuk! Sebuah Prolog
Dok.pribadi |
Sebelum maret 2006, mungkin saya tak pernah berpikir untuk bisa menempatkan tulisan di sebuah media massa yang oplahnya mencapai dua juta eksemplar per hari pada waktu itu. Seolah mendapat anugerah tak terkira, hari kamis, 26 Maret 2006, artikel pertama saya dimuat di rublik Mimbar Akademik, Harian Pikiran Rakyat--koran regional jawa barat. Sungguh luar biasa untuk ukuran seorang mahasiswa yang berasal dari kampung, gaptek, dan kurang referensi bacaan seperti saya. Lebih keren lagi, tulisan berjudul "Tawakal atau Tak Paham"--tulisan yang dimuat tersebut--hanya merupakan tulisan percobaan ke dua yang saya kirimkan. Artinya, saya tak harus berkali-kali berusaha untuk mengadaptasi isi dan gaya tulisan yang diminta oleh redaktur rubrik tersebut.
Tak ayal, pasca peristiwa tersebut semangat menulis pun semakin meningkat, dan alhamdulillah di tahun tersebut beberapa artikel saya berhasil dimuat. Masih di Rubrik Mimbar Akademik Harian Pikiran Rakyat, lainnya di Rubrik Suara Mahasiswa, Harian Sindo (kalo tidak salah nama rubriknya).
Sayangnya, selang tahun berikutnya dan tahun-tahun berikutnya lagi, kegiatan menulis saya malah turun sampai titik terendah dari semenjak saya mengenal indahnya dunia menulis. Kurangnya waktu belajar, diskusi, bahkan membaca, dikarenakan aktivitas baru saya sebagai karyawan swasta yang tidak mendukung kegiatan-kegiatan tersebut, disinyalir sebagai alasan utamanya. Pun demikian, alasan lain yang tak kalah penting sebenarnya datang dari diri saya sendiri. Malas. Ya, saya tidak kreatif untuk mencoba jenis tulisan baru selain artikel yang sudah biasa saya buat. Alhasil, ketika peluang di ranah artikel berkurang karena semakin ketatnya persaingan di jenjang profesional--bukan mahasiswa lagi, saya yang tak siap dengan perubahan predikat diri, mulai tersisih jauh dari kata produktif dalam menghasilkan karya tulis.
Beruntung, di akhir Desember 2016, seorang teman membuka peluang untuk saya mencoba menulis pada salah satu rubrik bertema dakwah di harian inilah koran. Alhamdulillah, sampai awal 2019 beberapa artikel saya lolos untuk dimuat di sana.
Salah satu tulisan saya di Inilah Koran. (Dok.pribadi) |
Mmh... kok malah kayak curhat, ya? Mana serius pula bahasanya! Kurang lebih lah, ya! Sekarang, mari kita masuk ke tema sebenarnya. Haha .... Ya Allah! Empat paragraf, 288 kata, 2.075 karakter, cuma prolog atau tepatnya cuap-cuap? Maaf ya Gaes ... sebenarnya di sini saya hanya ingin mengajak teman-teman yang masih ragu dalam membuat tulisan untuk segera mengambil pena dan menulis; jangan takut salah, jangan kuatir jelek! Kita tak akan tahu benar tanpa pernah salah, kita tak akan bisa menghasilkan tulisan bagus tanpa membuat yang jelek sebelumnya. Baik yang salah ataupun jelek itu diposting (dimuat jika dikirim ke media) atau tidak, seorang penulis pasti pernah membuatnya.
Dan jangan kira untuk para penulis yang sekarang namanya moncer itu sekali kotret langsung keren maksimal, meski lama dan tensi prosesnya beragam, revisi, edit, bahkan rombak total, pasti sudah biasa mereka lakukan. Eits! Jangan salah tangkap, ya! Maksud saya, untuk mulai menulis jangan sampai patah arang hanya karena hal-hal lumrah seperti itu atau malah turun semangat karena yang sudah berpredikat penulis saja masih suka salah. Jangan pernah takut untuk mencoba! Karena kalau mencoba saja sudah takut, dijamin, sampai kiamat kurang satu hari pun kamu tak akan pernah menulis. Kok disisain satu hari? Iya, satu harinya buat kamu nyesel sampe guling-guling. Haha ....
Terlebih sekarang, di mana media untuk kita menulis (baca: menerbitkan tulisan) tersebar luas tanpa harus terpatok pada media cetak seperti dulu, kita semestinya bisa memanfaatkan fasilitas tersebut. Kirim saja terus sebelum tulisan kamu berhasil dimuat (mabok-mabok tuh editor). Dengan catatan, harus ada perkembangan di tiap kali kita mengulang mengirimkan naskah atau tulisan. Jika masih tak masuk kriteria dimuat juga, ya tinggal posting sendiri, toh! Gampang, kan? Tak ada salahnya kok, dengan kita memulai menulis di media sosial pribadi terlebih dahulu. Tak ada yang dirugikan, dan tak perlu ada yang protes nggak jelas. Lah, akun sendiri ini! Satu yang pasti, saya ulang, harus ada perkembangan atau perbaikan dalam tulisan kita. Dengan demikian, yakin deh, akan ada hasil dari kegiatan kita menulis. At least, jika bukan benefit secara finansial, ya ... minimal like or komen dari netizen yang maha greget-lah.
Cuma like or komen? Eh, jangan salah! Tanpa nama besar, tongkrongan wah, atau bahan bullying, netizen kita itu high class reader, loh! Mereka kadang itung-itungan untuk sekadar sedekah baca apalagi buat ngasih respon. Ups ... curhat 2. Udah, ah! Stop dan balik ke soal nulis.
Jadi, inti tulisan yang melebar--memanjang ke sana ke mari ini sebenarnya cuma sesederhana kalimat, "nulis, yuk!" Parah, ya? Kan cape muter-muter cuma dapet dikit. Receh, lagi! Ya maaf, mungkin itulah bukti bahwa saya juga memang belum bisa disebut penulis. Bukti lain, saya baru pede nulis cerita setelah ditakdirkan bertemu dengan teman-teman di plukme friends, loh! Pokoknya, terima kasih nggak abis-abis buat teman-temanku di sana, deh!
Salah satu tulisan saya di plukme. (Dok.pribadi) |
Tau alasannya saya kikuk nulis cerita? Gini, setelah ditelaah dan direnungkan secara mendalam dalam tempo yang terlalu lama, ternyata salah satu faktor utamanya adalah, saya nggak pede nulis dialog. Ya, saya takut salah nempatin titik atau koma, huruf besar atau kecil, dan lain hal, termasuk tepat tidaknya dialog tag di depan atau akhir tanda kutip. Bener-bener nggak usah kalau temen-temen pernah baca Dilan bikinannya Pidi Baiq, orang ribet bikin paragraf percakapan, dia dengan entengnya cuma pake strip buat penanda dialog. Laris, lagi! Sebel!
Itu kali ya, yang diistilahkan dengan "harus tahu ilmunya". Nah untuk itu, ke depannya, jika semangat masih ada, saya yang juga masih belajar ini akan mencoba membagi tips tentang menulis. Semoga dikuatkan dan disempatkan, ya! Dan untuk sementara ini, saya cukupkan saja dengan ajakan, "Nulis yuk!" Anggap saja ini sebuah prolog! Haha...
Wealah... 11 paragraf, 887 kata, 5.897 karakter, masih jua prolog? Ckck ....
Papi Badar, 30102019
Terkait, Tips Menulis, Jeli Menempatkan "di"
keren tipsnya. tips menulis; "yuk, nulis!"
BalasHapusSetelah saya baca dan renungkan... Saya nggak nemu tips konkret sama sekali dalam tulisan ini, Mas Dalle
Hapus😂
Makasih udah mampir🙏
Makasih curhatannya ... jadi semangat nih.
BalasHapusAyo... ayo, Teh Nia!😀
HapusJejak dulu mas Andris, Nyambi nih
BalasHapusIya, Bu Ester. Makasih dah mampir 😊
Hapus