Bisnis Kebijaksanaan

pixabay.com

.
Beberapa tahun lalu, seorang costumer pernah berseloroh kepada saya bahwa pasca revolusi industri, berlombanya orang mengembangkan teknologi, disusul kinclongnya dunia komunikasi, ke depannya bisnis yang paling menjanjikan itu adalah bisnis kebijaksanaan. Iya gitu?
.
Sejenak saya dibuat teringat ucapan ibu saya setiap kali anak-anaknya males mengaji, "Mumpung masih ada yang ngajarin. Nanti, akan ada masanya meski kamu punya emas satu tembikar pun tak akan ada yang bersedia ngajarin mengaji." Iya gitu masa itu segera datang? Pikiran saya sempat mencoba membuat korelasi antara dua pernyataan tersebut.
.
Kembali ke konsumer tadi, asumsi dia kala itu bertolak pada kisah suksesnya para pengembang motivasi, trainer managemen, atau konsultan beragam persoalan (misal: parenting, pendidikan, pernikahan, bahkan agama), yang mulai banyak bermunculan. Beralasan sih... siapa yang tak kenal Mario Teguh, Bong Chandra, Merry Riana, atau Ippho Santosa. Bahkan, sekali waktu saya pernah berkunjung ke salah satu rumah di kawasan Bandung Utara untuk kepentingan appraisal--rumahnya tiga lantai plus basement yang kala itu diisi tiga mobil mewah--saya yang sebelumnya sama sekali tidak kenal dengan Sang Pemilik hanya bisa terkagum menyaksikan pencapaian beliau setelah tahu bahwa yang bersangkutan berprofesi sebagai motivator. Artinya apa, untuk setingkat motivator yang nggak well know saja, or mungkin saya saja yang kurang gaul, ternyata bisa sampai sebegitu tajirnya. Kok bisa?
.
Ya, tentu saja bisa. Kebijaksanaan itu benda yang tak tergambar harganya (intangible). Karenanya, saat benda tersebut ditransformasi ke bentuk rupiah, hasilnya bisa beragam--bahkan terkesan suka-suka. Bisa satu juta, 10 juta, 100 juta, atau bahkan priceless kayak tulisan ini. Wkkk... ge'er, emang berfaedah? Haha... semoga.
.
Pendek kata, ok lah bisnis kebijaksanaan  memang menjanjikan. Menerka hubungan kausalitasnya, bisa jadi, semakin hari memang semakin banyak orang yang membutuhkan petuah. Hehe. Hanya saja, untuk ukuran paling menjanjikan, saya pikir bisnis kebijaksanaan masih belum menempati rating teratas. Banyak sektor yang tak kalah menggiurkan untuk bisa menjanjikan rupiah yang melimpah. Bahkan untuk kondisi sekarang, saya malah menganggap sektor atau bidang yang paling menjanjikan itu adalah popularitas. Nggak percaya?
.
Kenal dong sama Atta Halilintar? Kenal? Ashiaap! Ria Ricis atau Via Vallen? Untuk dua nama awal, otak kita pasti otomatis mengidentifikasi keduanya sebagai yutuber or konten kreator. Ya, tak bisa dibantah memang di sanalah sumber pundi mereka. Saya tak tahu pasti nominal penghasilan keduanya dari ber-eksis ria di apliksi unggah video tersebut, namun banyak yang menyebut sampai ratusan juta perbulan. Wow banget buat saya!
.
Sedang Via Vallen, kendati dia memang biduan berkualitas bagus, bisa dipastikan perolehannya dari youtube pun tak kalah bagusnya. Tengok saja video cover lagunya tak jarang lebih populer dari video para pelantun aslinya.
.
Dari fenomena tersebut, tergambarlah jelas bahwa aspek popularitas memiliki peranan penting dalam mendobrak viewers yang kemudian bisa diuangkan. Tapi, itu juga butuh perjuangan, kan? Ya, iyalah!
Hanya saja, saat tingkat popularitas itu terlampaui, rupiah akan senantiasa setia hadir menemani tanpa peduli seberapa tak pentingnya konten yang mereka buat. Dengan bahasa lain, popularitas telah menjadi modal utama dalam menghidupkan mesin penghasil uang mereka. Lihat saja, setiap orang terkenal saat ini, pasti mempunyai akun unggah video yang telah di-monetisasi.
.
Lebih dari itu, jalan penghasilan lain setelah berlabel populer adalah permintaan endorse produk yang dipastikan membludak dengan uang masuk kantong jua-lah yang jadi konsekuensinya. Sedang untuk harga kuli endorse per-postingan sendiri, tetep bisa bikin isi kepala kita mendidih. Coba saja tanya sama Rafi Ahmad atau Ayu Tingting soal berapa harga endorse yang biasa mereka terapkan. Tentu saja jauh panggang daripada api dengan endorse ala istri saya yang hanya berupah contoh produk atau voucher belanja.
.
Jadi singkatnya, di jaman ini, popularitas memang sangat dapat dijadikan modal untuk meraup keuntungan.
.
Oiya, contoh lainnya bisa kita temui di hasil pemilu kemarin. Jika tanpa ada aral melintang, para caleg or calon kepala daerah yang kadung populer, dipastikan, lancar meraih kursi yang mereka rebutkan. Hehe... maaf! Hanya saja, bagi para pemenang di edisi ini, pembuktian ke depannyalah yang harus diprioritaskan; karena modal popularitasnya sendiri hanya dapat berbicara banyak di masa kampanye dan rapat pemenangan. Atau... abaikan saja lah ya, soal anggota dewan sama pilkada-nya mah. Takut salah opini! Haha...
.
Terakhir, berkaca pada uraian di atas, bisnis kebijaksanaan ternyata tak dapat juga banyak bicara tanpa syarat popularitas terpenuhi.
.
Coba kita jujur, pernah nemuin konten biasa saja tapi banyak sekali yang nengok bahkan sampai rela membagikannya? Atau sebaliknya, bersusah kita mengarang indah tapi yang menanggapi tulisan kita tak lebih dari hitungan jari sebelah tangan? Yup, bagi saya, tak heran jika harus mendapati hal yang demikian. Sejatinya popularitas bisa menghasilkan turunan yang kita kenal dengan "public trust". Wow, kan?
.
Jadi harapan saya, kalaupun iya popularitas itu menjanjikan, sangat elok jika kemudian para insan populer tersebut dapat juga berperan menyampaikan nilai kebijaksanaan dalam segala aktivitasnya--bukan cuma bisa nengokin unboxing rumah mewah, kendaraan super, atau drama pamitan.
.
Ah, sudah terlalu banyak drama di dunia ini, Icis!
.
Papi Badar, 13102019

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ketawa Karir

"Teu Nanaon Ngan Nanaonan?" Mencoba menyelami Celotehan Ustad Evie Effendi

Prinsip-Prinsip Penilaian Aset / Properti