Apakah kita "Kolot", "Koloteun", "Kokoloteun", atau "Kokolot Begog"?

pixabay.com

Bagi saya, budaya sunda--terlebih terkait bahasa--selalu menyisakan rasa penasaran tersendiri untuk ditelisik. Bisa jadi karena pesonanya menarik, kedalaman filosofisnya yang unik, atau emang saya saja yang kurang usik? Entahlah--hampir sejam ngantri cek kesehatan buat kelengkapan perpanjangan SIM emang tak bisa banyak usik.

Karena akhir-akhir ini sedikit berkurang waktu leluasa saya buat curat coret, saya sempatkan saja ngantri sekalian iseng bikin tulisan. Mayan, daripada manyun!

Sibuk? Bukan, jangan suudzan! Bagaimanapun, dengan banyak hal yang juga harus dilakoni, saya harus "koloteun" untuk bisa adil membagi waktu dalam porsi yang tepat, akurat, dan berimbang, serupa tagline sebuah portal berita. Dengan kata lain, saya harus lebih dewasa membagi konsentrasi untuk semua amanah yang mesti dijalani. Cieeee... haha.

Kalo sekadar buat menggugur kewajiban saja, memang bisa, sih. Kita bisa telponan sambil review laporan, bisa ngelonin anak sambil fb-an, atau rapat sambil cengengesan baca WA yang tak karuan. Bisa. Jelas, bisa saja semua beres dikerjakan dengan label sekadar gugur kewajiban.

Tapi, maaf-maaf ya, yang kita jamah adalah urusan manusia, loh! Hubungan kita bukan hanya dengan secarik kertas atau beragam barang mainan yang ramai dengan riang gemericiknya. Sejatinya, kontak kita adalah dengan manusia yang memiliki rasa sehingga mereka harus dilayani dengan sepenuh hati dan segenap jiwa--bukan hanya hasil kerjaan, perhatian mesti bisa kita hadirkan di sana.

Nah, di sanalah kita harus paham dalam memberikan predikat diri atas arti hadirnya kita di tengah lingkungan yang kita singgahi. Apakah kita memang kolot, koloteun, atau cuma kokolot begog? Istilah apa coba, ya?

Jadi gini, dalam bahasa sunda, kata "kolot" memang banyak turunannya. Untuk makna kata dasarnya sendiri, "kolot" berarti tua atau berumur. Tapi, itu hanya merujuk pada bilangan usia. Tidak ada nilai tambah dalam kata kolot selain telah berkesempatannya kita hidup lebih lama.
Adapun untuk kata yang menunjukan kematangan dalam berpikir dan bersikap, kata "koloteun" yang sederhananya bisa disebut sepadan dengan kata dewasa, adalah pilihan kata yang tepat dalam bahasa sunda. "Koloteun" tak tergantung pada usia ya, Gaes! Bisa jadi, anak kemarin sore pun sudah bisa berpikir jangkep dan bijak dalam bersikap.

Bagaimana dengan frase "kokolot begog", nah kalo ini beda lagi kondisinya. "Kokolot begog" menunjukan orang muda bahkan mungkin anak-anak yang berlagak seperti orang tua. Misal, seorang anak SD kelas 1 dengan lugas bicara sama bapaknya lewat panggilan telpon.

"Pah, kok lama amat? Masih di mana?"
"Masih di rumah makan klien, De. Bentar, ya!"
"Ih, cepetan. Jangan sampe aku lama nunggu! Menunggu itu membosankan, tahu!"

Sekilas, omongan anak itu terdengar seperti orang yang lebih tua dari usianya, kan? Jelas, ini bukan karena dia dewasa. Sedewasanya dia bicara, Si Anak tak akan paham bagaimana harusnya Sang Bapak berstrategi agar tender pengadaan tusuk gigi yang diikutinya dapat mulus dia menangi. Si anak hanya "kokolot begog", bukan "koloteun".

Lantas, menilik definisi di atas, masuk kategori yang manakah kita? Sekadar "kolot" karena usia, "koloteun", atau hanya "kokolot begog" yang kadang mengundang lucu, tapi malah bikin jengkel kalo sudah langgar aturan? Bingung? Gimana kalo "kokoloteun", saja? Hehe... kokoloteun tak perlu dimasukan sebagai pilihan, ya? Karena ini bukan menunjukan sifat.

"Kokoloteun" itu merujuk pada penyakit yang serupa noda hitam di area wajah. Apesnya, "kokoloteun" sering diasosiasikan dengan gambaran kesusahan hidup yang dijalani pemiliknya. Mitos atau fakta, ya? Jika iya, mungkin, dengan menjalani hidup lebih ceria, perawatan, plus banyak piknik, kokoloteun bisa teman-teman hindari. Hehe.... Tapi ingat, jangan sampe malah jadi bubudakeun, ya! Haduh... apa lagi, ini? Dah, ah... Antrian dah mau habis!

Papi Badar
Bandung, 12092018 (Repost plukme)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ketawa Karir

"Hirup Tong Kagok Ngan Tong Ngagokan!" Masih Mencoba Menyelami Colotehan Ustad Evie Effendi

3 Metode Pendekatan Penilaian Properti Beserta Kekurangan dan Kelebihannya