Kasih Ibu Sepanjang Jalan, Kasih Anak Sepanjang Galah (prosais)

pixabay.com

Entahlah, tangisan itu tiba-tiba meledak. Tanpa rencana, tanpa sekenario, apalagi diniat gimmick penaik citra, peningkat kagum orang semata.

Hati ini tak kuasa membohongi sesal yang kian memenati dada, "Kenapa di saat Bunda merintih dalam sakitnya, sebagai anak tertua, aku tak bisa berbuat apa-apa?"

Kesal malah ikut merasuk dalam kalut yang berkecamuk. Kini, pertanyaan lain justru datang menyapa, "Mengapa tak pernah kau rela berkata di setiap derita hadir menyapa?" Jawab yang ada selalu hanya sebentuk kalimat sederhana; sebatas tidak apa-apa, tak ingin anaknya cemas dan repot karena dirinya.

Pendek saja! Namun, ungkapan singkat dari muaranya kasih setiap manusia itu selalu cukup menyayat hati pendengarnya. Bagaimana bisa beliau menyisa sangka, di tak terhentinya do'a--upaya mewujud bahagia untuk anak-anaknya--beliau tak pernah tega izin menyela, mewarta sakit yang dirasanya, hanya sebab ... tak hendak mengusik tenang darah dagingnya meski itu sesekali saja.

Padahal, jika pun hendak diucap, rintihnya hanya kadang di ribuan tangis siang-malam bocah-bocahnya. Sungguh, tak sebanding 'tuk disanding; dikata susah, sungguh bukan tingkatannya.

Namun uniknya, sikapnya seolah nyata; setafsir apa yang bisa putra-putrinya tera; sebual balas budi untuk yang pernah Ibunda beri; dan sedusta penuhi asa dari segala yang belumlah bundanya rasa. Apa yang bisa ananda reka sebatas sisa dari segala perkara yang ada di lembar episode barunya.

Tidak! Tidak Ibu, dirimu layak dinomor satu! Baktiku untuk sosokmu tak beda dengan wajibnya hujan menghujam di keringnya bumi yang rindu akan sejuk rengkuh tetesan banyu. Tapi nyatanya, tetap saja, semua terhenti pada simpul ber-wasta "harusnya".

Aku ingin, tapi sekarang sepertinya ...,
aku datang jika urusanku bisa selesai pada waktunya,
istriku sedang repot, mungkin besok lusa jika ...,
ada, tapi sekarang aku perlu untuk ...,
sudahlah.

Mencari lengang mencurah kasih untuk ibunda di sana tak ubah memilah tarif telefon di harga yang paling murahnya. Syaratnya sarat, aturannya ketat. Maqam anak untuk ibunya setingkat atasan dijumpa ratap bawahan yang meminta sedikit luang waktunya. Sulit dicari, susah didapat sesuai dengan porsinya.

Kasih anak berbatas jelas. Lebih parah,  seringnya, batas itu sendiri sekadar buah dari kedangkalan logika kita, anaknya. Sedang kasih ibu ..., sudahlah. Sungguh, tak sebanding 'tuk disanding; dikata beda, memang seperti itu bukti adanya.

Untuk malam-malam yang tak pernah bisa cukup baginya lelap, untuk indah hari yang tak sempat diisinya bersolek diri, dan untuk setiap rizki yang tak pernah seorang ibu makan sendiri, masih tak bisakah kita memaksa luang tuk datang memberi senang di kesempatan kita yang jarang?

Memeluknya, menawar lelah menimang kita, untuk lalu ... menyempat diri memohon ikhlas atas segala susah yang tak henti telah kita bebankan di pundak dan pikirannya.

Papi Badar
Bandung, 24112018 (repost plukme)

Selamat menikmati akhir pekan dengan menyapa orang tercinta!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ketawa Karir

"Hirup Tong Kagok Ngan Tong Ngagokan!" Masih Mencoba Menyelami Colotehan Ustad Evie Effendi

3 Metode Pendekatan Penilaian Properti Beserta Kekurangan dan Kelebihannya