"Ternyata Dia Bukan Jodohku," Sebuah Pernyataan yang Masih Belum Saya Pahami

Moslem Couple, pinterest.com

Waktu itu, Kang Dul (bukan nama sebenarnya) menghampiriku dengan raut muka lelah dan tak bergairah.
Setelah duduk di sampingku, tiba-tiba dia berkata, "Ternyata dia bukan jodohku."
Sedikit kaget, saya alihkan pandang padanya dan bertanya, "Maksudnya, Kang?"
"Iya, Sarah istriku, ternyata dia bukan jodohku."
"Kok bisa gitu, Kang?" Penasaran membuatku kembali bertanya.
"Kemarin saya nganter saudara berobat ke orang pintar, sekalian aku bertanya soal segala kesulitan hidup yang terus saja ada. Menurutnya, semua terjadi karena aku menikah dengan orang yang sebenarnya bukan jodohku,"
Semakin saya kaget mendengar jawaban Kang Dul.
"Kang, kok percaya sama orang yang baru kenal? Yang Kang Dul rasa selama ini emang gimana?" Masih terus saya penasaran.
"Entahlah." Kang Dul terdiam seolah mulutnya enggan untuk berkata-kata lagi.

***

Bagi saya sendiri, jelas ini adalah ihwal yang membingungkan jika tak perlu disebut tak masuk akal. Seseorang yang sudah menikah belasan tahun, sudah dikaruniai tiga anak pula, tiba-tiba bilang bahwa pasangannya bukan jodohnya. It doesn't make sense!

Benar, bukan sekali Kang Dul mengeluhkan soal kondisi keluarga. Bahkan pernah juga dia ngomel perkara beda paham antara dia dan istrinya. Namun, jika sampai pada kesimpulan salah jodoh, baru kali itu dia berucap.

Bukan niat menyalahkan, husnudzan saya, kesimpulan tersebut telah melewati banyak pertimbangan dan pengalaman kurang nyaman sampai akhirnya memunculkan keraguan di hatinya. Pun dengan masukan Si Orang Pintar tadi, pola yang dia pakai saya tebak sekadar mengikuti jalan pikir Kang Dul sendiri yang diwartakan melalui gurat wajah dan keluh yang dia sajikan.

Lepas dari persoalan Kang Dul, saya harap, untuk siapa pun yang terjangkau oleh tulisan ini, haha... mirip pengumuman di TOA masjid, untuk tidak menyimpulkan bahwa pasangan yang mendampingi kita sekarang bukanlah jodoh kita. Apa itu sebab mudahnya muncul perselisihan, pun kesusahan hidup yang terus berdatangan.

Saudaraku, ketika akad telah diucapkan, ijab telah dilewatkan melalui jabat suami dan ayahnya isteri, perkara jodoh atau bukan seharusnya sudah selesai dipertanyakan.

Apa yang mesti berlaku setelah menjadi pasangan adalah menyederhanakan perbedaan. Bukankah sampai bisa berpasangan pun karena adanya perbedaan? Kalo sesama kan, konslet! Wkkk.

Lanjut lagi, apa yang seharusnya diikhtiarkan ketika sudah menjadi pasangan adalah bagaimana kita bersama bisa menghadapi kesulitan, bukan saling menyalahkan. Bukankah kita berpasangan agar bisa lebih meneguhkan? Lebih kuat, dan bukan malah saling melemahkan?

Sesempit apa pun masa yang ada sebelum janji bersama diikrar, harusnya cukup untuk kita meyakinkan diri apa bisa atau tidak bahtera itu dinaiki sekaligus dinikmati sampai banyak gelombang tak sampai membuatnya gagal membawa kita ke indahnya pulau impian. Apalagi jika masa pra-ijab sendiri memakan waktu berbulan sampai bertahun dengan alibi saling mengenal atau nabung dana nikahan. Terlalu, jika buah persiapan hanya menyisakan sebentuk penyesalan.

Tapi, dia memang bukan jodohku! Firman Tuhan Menerangkan, wanita keji untuk lelaki keji dan wanita baik untuk lelaki baik.

Hati-hati menginterpretasi hal ini. Betul, An Nuur ayat 26, menyoal tentang itu; Tapi, semampu apa sih kita menilai tingkat baik dan buruknya seseorang? Itu yang pertama.

Kedua, manusia dengan segala potensi yang ada pada dirinya dan impul yang ada di sekelilingnya, selalu berpeluang untuk meningkatkan kualitas kebaikan ataupun terjerumus masuk pada kenistaan.

Memilih lebih moderat, saya memandang, tak soal seseorang start dari titik mana sebelum dia berpasangan. Di jalannya mereka melalui kebersamaan, proses itulah yang menentukan apakah satu diantaranya menjadi lebih baik atau malah terpengaruh oleh keburukan dari pendampingnya. Yang pasti, akhirnya pasangan tersebut akan menjadi setara dalam derajat baik dan buruknya. Maha Benar Allah dengan segala Firman-Nya.

Faalmaha fujuraha wataqwaha.. Setiap manusia dikaruniai fujur (kefasikan) dan taqwa (ketaatan), usahanya sendirilah yang akan membawa dia ke arah penyucian diri atau malah mengotorinya.
Jadi, berhentilah merasa menjadi figur yang lebih baik dari pasangan kita. Saya menyerukan hal itu kepada yang merasa dirinya lebih baik dari pasangannya―karena pernyataan, "dia bukan jodoh saya," biasanya keluar dari mereka yang kecewa dan menilai ada yang kurang pada diri pasangannya. Introspeksi dan lihatlah lebih jernih lagi, bukan hanya terhadap dia, tapi diri kita sendiri yang, di beberapa kesempatan, masih memerlukan keberadaannya. Ya, paling tidak untuk nama di kartu undangan nikahan dulu lah, ya! Dan sialnya, itu memunculkan banyak turunan kebutuhan lainnya ternyata. Haha.. Ngaku, ah!

Masih ada alasan lain? Tak cinta, karena sekadar ikut inginnya orang tua atau guru ngaji yang sodorkan biodata?

Bahasan di atas cukup jadi jawabnya. Sekecil apa pun, pasti ada masa dan kesempatan untuk kita dulu (sebelum akad) menyela. Asal kuat alasan dipunya, tak harus kita malu atau ragu berkata.

Lagian, seyakin apa kita dengan cinta. Jangan-jangan sekedar karena rupa dan harta?

Kawan, rupa itu hanya kulit dari suka, jauh dari yang namanya cinta. Sekali aja kelilipan mata, tuh arjuna tak ada bedanya sama mandra. Apalagi soal harta, yakin besok lusa bapaknya nggak diciduk kapeka?
Sudahlah, waktu telah berlalu, menggugat yang telah lalu tak lebih dari yang namanya angan semu.

Sekarang, saat kita telah resmi sebagai pasangan, fokus kita adalah jalani hari mendatang. Banyak alasan untuk saling menguatkan dan banyak cerita untuk kita bisa abaikan perbedaan. Tugas sebagai pasangan bukan lagi mencari celah untuk dipersalahkan, lengkapi tanpa diminta, dan tutupi tanpa harus menunggu terbuka. Melangkahlah dengan sabar bersama, resapi sekecil apapun pesonanya, ingatkan jika ada salah dirasa, dan syukuri; rasa cinta itu pasti ada, dan sayang itu tinggal menunggu pembuktiannya saja.

Semoga menjadi keluarga yang sakinah mawadah warahmah! Eh, siapa yang nikahan, ya? Haha..

Itu saja, billahi fi sabililhaq, wassalamualaikum..
Semoga bermanfaat!

Papi Badar, 11102019
Rewrite dan Repost dari  plukme Andris Susanto

Tulisan lainnya tetang keluarga, klik

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ketawa Karir

"Hirup Tong Kagok Ngan Tong Ngagokan!" Masih Mencoba Menyelami Colotehan Ustad Evie Effendi

3 Metode Pendekatan Penilaian Properti Beserta Kekurangan dan Kelebihannya