Aku dan Dia (Cerpen)
pixabay.com |
Karya: Nia Kurniawati
Hobiku, duduk di sudut ruang tanpa penerang sambil menatap sekeliling. Dinding, atap, dan lantai, bergantian. Tak ada yang lain, hanya jam dan cicak yang bercengkerama denganku. Jam, detiknya membuatku berdendang sambil mengeleng-gelengkan kepala, mengehentakkan kaki, menyesuaikan iramanya. Sedangkan cicak, decakannya menghinakan. Selalu kubalas dengan pandangan benci, ludahan, dan sumpah serapah. Meski benci, sosoknya sering kucari saat mata tak menangkap sosoknya. Karena sejatinya, dia juga temanku.
Sekian malam berlalu, mataku menangkap sebuah siluet, "Hai, hantukah kau?"
Bayang itu tak menjawab. Dia serupa aku, hanya duduk memeluk lutut. Membenamkan wajahnya dalam-dalam, dan sesekali bahunya terguncang. Lalu diam, kemudian menengadahkan wajahnya, menatap atap sambil tersenyum, atau menyeringai?
Rambutnya lurus sebahu, dibiarkan tergerai. Badan tipis. Mengapa dia sangat mirip denganku? Siapa dia?
"Hai, kau datang dari mana? Mengapa tiba-tiba bisa ada di kamarku?"
Lagi, bayang itu diam. Tak menjawab atau menoleh.
"Setidaknya beritahu aku, siapa namamu?"
"Kurang ajar! Apa kau ingin mengatakan aku gila, hah?" Maki kami bersamaan, saat tiba-tiba cicak menginterupsi percakapan.
Kami bersitatap, lalu tertawa bersama. "Ternyata menyenangkan, ya, punya teman selain jam dan cicak." Lagi, kami berucap bersamaan.
"Ah, ternyata aku masih punya teman.”
Dia beringsut mendekat, aku juga. Kini kami berdampingan, bahunya menempel pada bahuku.
“Kau belum menjawab pertanyaanku.” Aku memgawali percakapan, setelah ribuan detik terlewati dalam diam.
“Apa pentingnya sebuah nama dan asal usul?”
“Setdaknya nama. Agar aku tidak memanggilmu, Hei.”
Dia menoleh, “Panggil saya aku sesukamu, aku sudah melupakan namaku sendiri.”
“Hening?”
“Terserah!”
Aku suka hening, aku bebas berekspresi dalam keheningan. Dan hening satu-satunya hal yang tak pernah meninggalkanku. Karena itulah, dia kupanggil Hening.
“Sejak kapan kau ada di kamarku?”
“Sejak kau padamkam bohlam itu dengan bukumu.” Pandangannya mengarah ke arah bohlam yang menempel di plafon atap, yang hanya tinggal kepalanya saja. Tubuhnya hancur berserakan terkena lemparan bukuku, saat melempar cicak yang tak henti mengejek, beberapa bulan yang lalu.
“Mengapa aku baru melihatmu malam ini?”
Hening tak menjawab, dia beringsut menjauh.
Dia benar-benar mirip denganku, tak suka terlalu banyak ditanya.
Kami bersama dalam hening. Bukan! Kami bersama dalam buaian detik jam.
Dari lubang ventilasi, kulihat gelap mulai pergi. Terang mulai mengekspansi ruangan. Kutatap Hening.
“Tenanglah, aku takkan meninggalkanmu seperti lelakimu atau mereka. Aku akan selalu di sini, bersamamu.”
Hening menjawab pertanyaan, yang belum aku ajukan, hebat! Tapi dari mana dia tahu kisahku?
“Aahhh ...!” Aku menggaruk kepala yang gatal. Mungkin kutu sedang membuat rumah baru. Masa bodo!
Lalu, kusadari, Hening sudah tak terlihat.
Terang akhirnya telah benar-benar menguasai ruangan.
Aku menatap tempat Hening terakhir terlihat.
“Aku di sini.”
Suara hening muncul dari dalam kepalaku,“Sebenarnya kau ini apa, Hening?”
Lama, tak ada lagi jawaban. Tapi aku senang dan tenang. Apa pun dia, itu berarti dia benar-benar akan selalu bersamaku. Tidak seperti mereka.
Akhirnya, untuk pertama kalinya setelah belasan bulan, aku berani menantang terang. Keluar kamar tanpa takut dan ragu, karena Hening akan selalu bersamaku.
Selesai.
- cerpen lain di blog ini.
Terima kasih apresiasinya, Kang. 😊
BalasHapusSama2, Teh Nia 😀
Hapus