"Cikaracak Ninggang Batu Lila-lila Jadi Deklok," Penawar Hati Untuk Para Pejuang

pixabay.com


Entah mana yang benar. Sempat saya cek lewat mbah goegle bagaimana kebanyakan orang nulis peribahasa sunda di atas, dan ternyata yang muncul berbeda dengan kalimat yang saya tulis. Di kesemua hasil pencarian, akhir kalimatnya berbunyi, "laun-laun jadi legok." Apa sekarang udah ganti gitu, ya? Haha ....

Ah, biarpun! Saya mah akan teguh pendirian karena dari orok yang saya denger kalimatnya, "Cikaracak ninggang batu lila-lila jadi deklok." Apa karena beda daerah atau malah saya yang salah denger, tapi saya harap perbedaan ini tak lantas malah menjadi polemik di tahun politik yang penuh intrik. Cukup mereka saja yang fotonya ramai terpangpang di reklame yang terbentang, sibuk saling serang.

Toh, inti maknanya sebenarnya sama. "Lila-lila" dan "laun-laun", mengacu pada proses yang tidak sebentar. Kalaupun memang, secara bahasa, jika diartikan ke dalam bahasa indonesia dua kata dalam Bahasa Sunda ini memiliki arti yang berbeda (pen).

Lila-lila = Lama kelamaan
Laun-laun = Secara lambat

Penjelasannya kurang lebih, yang pertama cenderung melihat ke hasil dari sebuah usaha, sedangkan yang ke dua justru cenderung melihat pada proses usahanya. Lantas? Mana yang tepat, Gaes? Mmh.. Masa iya sih, saya bantah pendapat sendiri sebelum ada argumen mendasar dari para ahli lingustik bahasa sunda? Haha ....

Biar lebih adil, saya putuskan keduanya sama saja, ya! Tepat tidaknya penggunaan kata "lila" dan "laun" kita serahkan saja pada sprach gefült (rasa kebahasaan) masing-masing penuturnya.

Bagaimana dengan "deklok" dan "legok"? Kalo bagian ini saya berani jamin memiliki arti yang sama tanpa tapi. Dua kata tersebut mengandung arti tentang sebuah kondisi berupa cekungan atau lengkung ke dalam. Ok, case closed!

Lantas, setelah barusan berkutat dengan beda pilihan kata yang, sayangnya, mungkin cuma melibatkan saya, mari kita masuk ke bagian makna dari peribahasa tersebut secara utuh.

"Cikaracak ninggang batu lila-lila jadi deklok." Arti cikaracak dalam bahasa sunda berarti air yang menetes--biasanya diasosiasikan dengan air yang jatuh dari ujung-ujung genting saat hujan mulai reda. "Ninggang batu" sendiri berarti menimpa batu. Sekadar info, pada tipe-tipe rumah jaman dulu di tatar sunda, rumah biasanya dibatasi jejeran batu sebagai batas bangunannya. Posisi batu sendiri biasanya tepat berada di bawah ujung genting yang menutup rumah. Adapun untuk frasa "lila-lila jadi deklok", celotehan di beberapa paragraf awal sepertinya sudah cukup mewakili.

Jadi, peribahasa tersebut menerangkan bahwa tetes air yang menimpa batu yang keras lama-kelamaan dapat meninggalkan bekas bahkan membuat cekungan pada permukaannya. Maknanya, jangan sepelekan usaha. Kendati seperti tak bermakna, jika terus-terusan ditekuni, usaha kita pasti membuahkan hasil. Yakinlah! (Sambil berpelukan dengan air mata keluar dari kedua sudutnya; lambat mengalir menuruni pipi dan jatuh tak tertahan di lengkung rahang...hiks. Kok, jadi melow gini, ya?)

Satu kisah sebagai asosiasi dari peribahasa yang kita bahas, di Tasikmalaya sana, tepatnya di Kampung Malaganti, Desa Sukaharja, Kec. Sariwangi, Kab. Tasikmalaya, tersebutlah seorang kakek berusia 89 tahun yang dikenal dengan sebutan Abah Harun. Bagi warga sekitar yang didominasi petani, sosok Abah Harus bisa dikatakan sebagai pahlawan yang berhasil membawa pengaruh positif yang besar dalam kegiatan mereka bercocok tanam.

Pasalnya, lelaki yang kini berusia senja itu telah dengan gigih, sejak tahun 1965, membuka saluran air dari kaki Gunung Galunggung dengan cara membelah bukit berbatu yang membatasi aliran air menuju lahan pertanian warga.

Usaha yang dirintis Abah Harun sejak lebih dari 60 tahun lalu itu tentu tidak mudah, jika tak bisa disebut mustahil. Beliau yang dibantu oleh beberapa orang, membelah bukit, memecah cadas, atau memindah batu-batu besar, hanya dengan cangkul dan linggis alakadarnya. Karenanya, tak heran jika sebelumnya banyak orang yang menganggapnya gila. Lebih dari itu, perjuangan berat Abah Harun pun sampai harus menelan satu korban jiwa dari warga yang membantunya karena tertimbun material longsor.

Namun akhirnya, berkat kegigihan beliau menekuni usaha yang oleh banyak orang dianggap tak mungkin, kini 500 hektar sawah di dua desa tempat tinggalnya Abah Harun terpelihara dengan baik karena terus bisa terairi oleh saluran-saluran yang dibuka oleh Abah Harun dan warga yang membantunya. Masyaallah! Luar biasa!

Nah, jika Teman-teman mulai merasa gamang akan samarnya ujung yang hendak kita capai, gol yang ingin diraih, kuy, ah! Terus jaga terus asa yang pernah ada dan jangan berhenti belajar dan berkarya!
Tetes air yang lemah saja bisa mengalahkan batu yang keras, kan?

Papi Badar, 15102019

#Pepatahsunda #Inspirasi #nyawangrasa

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ketawa Karir

"Hirup Tong Kagok Ngan Tong Ngagokan!" Masih Mencoba Menyelami Colotehan Ustad Evie Effendi

3 Metode Pendekatan Penilaian Properti Beserta Kekurangan dan Kelebihannya