Apa Dosa? (Cerpen)

Regret, sumber: ecr.co.za

Setelah dua hari lalu hujan turun merata di setiap jengkal kota, sore ini memang belum ada tanda-tanda dia akan kembali menyapa.

Sungguh, di era serba cepat ini, udara pun bisa ikut memanas dengan instan. Baru ditinggal hujan sebentar saja, suhu udara sekarang sudah gesit meninggi tanpa mampu dihambat rindangnya pohon dan sejuknya air sungai yang mengalir. Lah, memang keduanya sudah jarang ada di sumpeknya tata ruang kota, kan? Di sini, tanda-tanda kasih sayang alam sudah lazim diganti oleh berjajarnya gedung bertingkat dan deru dari beribu kendaraan penghasil bising dan debu.

Sejurus panas di luar, suhu udara dalam ruangan pun mulai menghangat lebih dari biasanya. Termasuk di ruanganmu--salah satu ruang tertutup di lantai tiga tempatmu bekerja. Tapi, aneh saja jika sekarang hal itu membuatmu begitu kegerahan.

Ruang kantormu terbilang bagus dengan segala fasilitas yang memadai ada di sana. Jadi, kalo untuk sekadar gerah, udara sejuk dari tiupan AC di samping kanan ruangan posisi di atas lemari berkas, harusnya cukup untuk menangkal kenaikan hawa yang sudah melewati batas suhu kamar. Tapi sial, kini yang kau rasa justru berbeda.

"Panas amat, padahal sudah di-setting 20 derajat?" gumanmu sambil meraih remot AC dan menurunkan suhunya sampai di angka 18° celcius.

Kembali duduk menatap layar PC yang tipis, bebanmu malah kian menebal, setebal gumpalan asap kelabu yang berasal dari kobaran dasyat terbakarnya syahwat dunia yang disulut oleh dalil haram atas payahmu mengepul rupiah pada awalnya. Sedang akhirnya, sesak dan pengap kau rasa mengumpul dari dada hingga kepala.

"Konyol! Aku tak mencuri, menipu, apalagi memeras orang. Bukankah mendorong orang untuk berkembang dengan memberikan mereka pinjaman itu budi baik para pemberi utang?" gumanmu membela diri. "Kalo soal bunga dan penalti sesekali, itu kan semisal fee budi baik tadi," lanjutmu malu-malu.

Merebah, menjatuhkan diri ke sandaran kursi, kembali kau menerawang apa yang telah dilakoni diri. Sembilan tahun berkarir di sebuah korporasi belabel bank pemerintah dengan nyaris tanpa cela, untukmu, selaksa tak ada yang perlu dicemaskan apalagi disesali.

Memulai karir sebagai staf marketing ritel yang harus blusukan mencari debitur kelas teri; kini, kamu telah nyaman duduk di kursi Head of Corporate Marketing Kantor Wilayah yang rajin miara kakap, barakuda, tuna, sampai spesies paus sperma. Tentu saja, semua itu beriring dengan segala pencapaianmu dalam segi materi. Rumah di kawasan elit kotamu, mobil pribadi keluaran terbaru, sampai istri yang jauh lebih enak dilihat daripada rupamu, adalah bukti tak terperi dari menterengnya sebuah prestasi. Ya, paling tidak, itu semua berjalan sempurna sampai pertemuan dengan ustad Arif dua hari lalu tak bisa kamu hindari.

Jika saja Dani, satu-satunya stafmu yang alim itu tidak terus saja membujukmu, derasnya hujan harusnya cukup untukmu mangkir dari undangan kajian di mesjid Al Hidayah malam itu.

Menyebalkan untuk kau dengar, sambil bercanda, kala itu Dani mematahkan argumenmu soal hujan dengan mantap berujar, "Pak Agus, di Palestina itu hujan peluru, loh! Masa cuma hujan air aja Bapak ciut! Hehe ...." Kamu menyerah mendengarnya.

Selanjutnya, meski desas-desus perkara riba bukan kali pertama sampai di telingamu, penuturan langsung dari seorang bergamis putih, berjenggot tipis dengan gaya bicaranya yang tenang itu, terasa memukul telak di ulu hatimu.

"Riba itu akan membuat orang-orang yang memakannya seperti orang yang kesetanan. Tak jelas arah, tak tenang langkah, dan jauh dari yang namanya berkah. Di akhirat kelak, tak ada tempat yang layak bagi mereka selain neraka yang panas," jelas Ustad Arif malam itu.

Berimbas kuat, pembahasan ayat ke 275 dari surat ke dua di kitab suci agamamu yang sudah lama tak kau sentuh itu berhasil bertengger kuat sampai di detik kamu terduduk kini.

Seperti tanpa solusi, kamu berpikir keras mencari irisan antara larangan dan toleransi yang mungkin bisa dipakai untukmu membela diri. Daftar alasan pun mulai kamu cari demi usaha lolos dari dakwaan ustad yang baru sekali kamu temui itu.
Akalmu terus saja menimbang, "Ini kan demi keluarga. Ya, kebutuhan hidup, tepatnya! Ah, bukankah mencari nafkah adalah kewajiban? Kewajiban yang bahkan dengannya, ada penggugur dosa yang tak bisa digugurkan oleh sholat, puasa, atau sedekah? Aku harus tetap kerja!"

Ralat, dirimu kembali teringat ucap Sang Ustad kala menambahkan, "Ada jual beli yang Allah telah halalkan. Karenanya, tak ada alasan untuk tidak meninggalkan riba yang menyengsarakan." Argumen kerjamu sebagai jalan mencari nafkah dengan mudah dimentahkan.

"Tapi, apakah sesederhana itu untukku beralih haluan? Lantas, aku harus meninggalkan dunia kerja dan memulai usaha tanpa pengalaman sama sekali? Bunuh diri! Bagaimana dengan istriku yang mulai hobi jajan tas? Anak-anakku yang baru masuk sekolah di tingkat paling dasar?" Tanya-tanya itu seolah menjadi benih masalah besar yang tak kunjung menemu jalan keluar untukmu.

Lelah bersandar, kini, tanganmu yang mulai menggapai-gapai kepalamu. Meremasnya kuat dengan harap beban itu sedikit tercabik dan minggat keluar sana. Tapi tidak, hanya beberapa lembar rambut saja yang ikut tertarik, menambah luas area botak yang terletak tepat di atas lebar jidatmu. Meski itu cuma sedikit.

Pangkal masalahnya sebenarnya sederhana, kamu mulai tergoda dengan apa yang di luar sana disebut hijrah. Walau kamu terus berusaha mencari pembenaran, sisa iman membuat hatimu memberi ruang untuk tetap saja mempertanyakan dan menunggu jika saja kesempatan baik itu datang. Bagaimanapun, jaminan Tuhan yang akan memberikan kecukupan jika kamu meninggalkan apa yang Dia larang, belumlah dirasa cukup untukmu sekarang.

Ralat lagi, jiwamu kembali berontak dan teriak, "Dani! Semua gara-gara dia!" Sempat menganggap dia adalah jawaban atas segala gundah yang datang, buntu akhirnya membuatmu mulai mencari sebab, tepatnya kambing hitam, atas segala kekalutan yang menimpamu. Kamu mulai gila karena dikejar perasaan berdosa.

Tapi, vonis itu menurutmu sangatlah pantas. Lagian, posisi Dani memang lebih diuntungkan sehingga iri di hatimu sempat muncul saat dia dengan santainya menyerahkan surat pengunduran diri ke bagian SDM seminggu yang lalu.

Selain belum menjabat apa-apa karena baru mau dua tahun gabung di kantormu, bapaknya Si Dani yang juragan minyak goreng curah skala propinsi, tentu, tak akan membuat dia linglung hanya karena tak lagi menerima gaji bulanan. Dia bisa saja jualan minyak keliling. Keliling kota dalam propinsi mirip bus Hiba, Bandung--Sukabumi, yang bisa di setiap kerumunan berhenti, maksudnya. "Curang!"

"Lalu, apa maksud dia mengajakku ikut pengajian segala?" lanjutmu bingung. Bolak-balik logika antara siapa yang lebih dulu meminta, berbelit kusut memenuhi otakmu. Runyam, tabel excel yang memuat action plan awal tahun pun kamu tutup demi sedikit hawa tenang berkenan datang menyapa jiwa.

Mulai bisa mengendalikan diri, istigfar setengah sadar akhirnya bisa kau lafalkan searah tarikan nafas panjang yang kau ambil dan hembuskan. "Tidakkah ini jalan yang Tuhan tawarkan? Aku harus berani mengambil keputusan," bisik hatimu mencoba membuka ruang untuk akal mau berdamai. Kamu mulai berpikir bahwa perhelatan antara logika dan iman dalam dirimu harus segera diselesaikan.

Tiba-tiba bibirmu mengulum senyum, memberi kesan baik di wajahmu yang sedari tadi terpampang tanpa ekspresi. Lembar-lembar asap yang mengumbar kelam pun perlahan memudar. Ada energi baru dalam dirimu yang mencoba memupuk yakin akan adanya potensi lain dalam dirimu. Potensi yang mungkin bisa membuatmu bertahan tanpa harus mempertahankan posisi di ruang nyaman yang kini kamu tempati. Semoga!

"Masakanmu selalu enak, Pah!" Rupanya kalimat yang selalu kamu dengar di setiap akhir pekan itu yang baru saja berhasil memecah kebuntuan pikiranmu. Mengapa tidak, bukankah bisnis kuliner dewasa ini sangat menjanjikan? Meski kamu sangsi mengingat hanya nasi goreng yang biasa kamu sajikan; dan bisa jadi, pujian itu mampir hanya karena istrimu lebih piawai memilih tempat makan daripada bikin tumisan, apa lacur, hanya ini sisa celah yang layak kamu coba. "Deal! Ah, ternyata jawabannya sesederhana itu!" kamu bersorak dan mulai tertawa dalam hati, sampai akhirnya ada ketukan terdengar di pintu ruanganmu.

"Ya, masuk!" ucapmu memberi izin. Setelah pintu dibuka, ternyata sosok Dani yang muncul dengan wajah kalem penuh misteri.

"Assalamu'alaikum, Pa Agus!"
"Hey, waalaikumsalam. Ada apa, Dan?" jawabmu jaim sarat wibawa.

Untung saja Dani datang di saat pergulatan batinmu mulai mereda. Lima menit saja dia masuk lebih awal, kamu mungkin sudah melumat stafmu yang kini tinggal menunggu SK keluar ini. Lebih santai, kini kamu kembali mengenali Dani sebagai seseorang yang mencoba menyelamatkan dirimu sebelum dia kabur menyelamatkan diri.

"Ini, Pak Agus. Kajian minggu depan Bapak masih bisa ikut?" tanyanya dengan nada ragu.
"Loh, emang kenapa?" Kamu malah balik nanya. Bingung sekaligus khawatir Dani merasa bersalah telah menawarkan hal yang dia rasa salah, kamu pun melanjutkan, "Materinya saya suka, kok! Nggak apa-apa, Dan! Saya juga mulai berpikir ke arah sana."
"Alhamdulillah. Bagus kalo gitu, Pak!" Dani sumringah mendengar jawabanmu. "Tapi, apa nggak repot kalo bapak sudah di Jakarta?" lanjut dia.

Kali ini, giliran bingung plus kaget yang datang di benakmu. Menyelidik, kamu pun balik bertanya, "Maksudmu?"
"Lah, Bapak belum tahu?"
"Belum tahu apa, Dan?"
Sadar kamu memang belum tahu, Dani mulai menjelaskan apa yang dia tahu, "Tadi saya ke ruang SDM nanyain proses resign saya, Pak."
"Terus?" tanyamu tak sabar.
"Mmh ... saya malah dapet kabar Bapak promosi jadi kepala divisi."
Kaget bagian dua, spontan kamu berkata, "Apa? Alhamdulillah ... eh!" Kamu pun kikuk salah tingkah dibuatnya. Ah, cerita soal hijrahmu sepertinya butuh episode tambahan.

Papi Badar
Bandung, 09022019
#cepen #cerpenandris #riba #dosa #cerita

Komentar

  1. Ternyata tidak semudah itu, Ferguso ... Fiyuuhh, sampai larut bacanya, bravo Papi Badar 😊👏

    BalasHapus
  2. Krisan apa ya? Tulisan Papi badar mah udah bagus. Gak usah dikrisan...

    Ini.. pengalaman pribadi ya?

    BalasHapus
  3. Haaah? Terharu... Kalian datang juga 😁
    Makasih banget...

    BalasHapus
  4. Bobo siangnya jd failed neh 😁

    BalasHapus
  5. Baru bisa baca karya papi badar

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasih, Bu Ester... 😁
      Maaf blm punya kompasiana 😅

      Hapus
  6. ingin mendapatkan uang banyak dengan cara cepat ayo segera bergabung dengan kami di f4n5p0k3r
    Promo Fans**poker saat ini :
    - Bonus Freechips 5.000 - 10.000 setiap hari (1 hari dibagikan 1 kali) hanya dengan minimal deposit 50.000 dan minimal deposit 100.000 ke atas
    - Bonus Cashback 0.5% dibagikan Setiap Senin
    - Bonus Referal 20% Seumur Hidup dibagikan Setiap Kamis
    Ayo di tunggu apa lagi Segera bergabung ya, di tunggu lo ^.^

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ketawa Karir

Prinsip-Prinsip Penilaian Aset / Properti

3 Metode Pendekatan Penilaian Properti Beserta Kekurangan dan Kelebihannya