Keadilan di Atas Toleransi

(sekedar corat-coret nunggu magrib)

“Ibuu……, sini dulu!” Dua kali kudengar Badar teriak memanggil istriku.
“Badar, kalau teriak lagi Ibu marah!” Istriku memberikan jawaban tegas yang langsung membuat anakku diam.
Aku terkejut dengan jawaban istriku. Agak terganggu dengan kejadian tersebut, aku pun menegur istriku.
“Bu, kok jawabannya gitu? Kasian kan anaknya jadi diem,” tanyaku meminta konfirmasi.
“Pih, aku dah bilang ke Badar buat tunggu, ibu mau ambil wudlu. Tapi badar nggak mau tahu dan malah teriak-teriak. Ya udah, ditegasin aja,” jawab istriku.
“Lagian, sesekali itu harus, kok! Kita sudah terlanjur diajarkan yang besar harus mengalah sama yang kecil. Demi Adik, Kakak wajar disalahkan dan mesti mengalah. Padahal, tidak seperti itu seharusnya. Bisa jadi, justru adiklah yang salah. Karenanya, kita harus tetap menempatkan mereka secara adil,” lanjutnya.
“Baiklah, mungkin tinggal caranya aja yang harus dipikirkan lagi,” sambil mikir, aku menanggapi jawaban panjang istriku.

Tak sengaja, percakapan sore itu membuatku berpikir ulang soal isu dan praktek toleransi yang lagi ngehits di negeri ini. Bahkan, dari meroketnya isu ini, berulang aksi dilakukan dan tak terhitung akun maupun status media sosial ikut menyoal baik itu yang sekedar meramaikan, memanasi, atau yang mencoba menjadi pahlawan kebhinekaan. Seru, lah!

Toleransi itu harus, dan kerukunan adalah kebutuhan. Semua sepakat itu dan tak perlu ada perdebatan soal itu.

Lantas, apakah itu toleransi? Sudahkah toleransi tercipta di negeri ini?

Makna toleransi sendiri sebenarnya tak ribet sama sekali. Yang pernah makan pelajaran PMP atau PPKn pasti tahu bahwa pada dasarnya toleransi adalah sikap menghargai, menghormati, dan memberikan kebebasan kepada orang lain untuk menjalankan keyakinannya. Toleransi belum pada soal tolong-menolong apalagi keharusan satu pihak untuk membantu mewujudkan keinginan pihak lainnya.

Secara umum, sikap saling menghargai telah berjalan semudah kita menjawab soal PMP yang jawabannya sudah pasti yang paling panjang atau yang ada kata “kecuali” pada kalimat pilihannya. Anehnya, selang beberapa tahun bahkan mungkin hanya selang beberapa bulan terakhir, justeru mudah sekali orang-orang saling menuduh intoleran satu sama lain. Sedikit saja gesekan, toleransi dan kerukunan seolah langsung terancam.

Kondisi ini sebenarnya membuat saya penasaran untuk mencari tahu siapa yang sebenarnya paling toleran dan intoleran. Namun, saya pikir hal ini tak perlu ditanyakan lagi karena jawabanya akan bersifat kualitatif, sulit diukur, dan sangat debatable. Jika keukeuh ditanya, perdebatan dan saling klaim penderitaan dipastikan tak akan pernah beres kalaupun sampai lebaran monyet tiba.

Eit.. tunggu dulu! Jawaban siapa yang paling intoleran jelas, loh! Coba saja kita lihat penelitian setara institute yang melansir kota-kota paling toleran dan intoleran di tahun 2015.

Menilik hasil riset tersebut, indikasi dari peneitian tersebut intinya adalah kondisi terganggu atau minimal merasa tidak nyamannya kaum minoritas berada di tengah-tengah kaum mayoritas. Dan siapa kaum mayoritas itu?

Ya, apa hendak dikata. Jika harus diperjelas, riset tersebut menyebut umat islam kurang memiliki toleransi terhadap umat lain.

Ok, kita hargai saja hasil penelitiannya seraya berhusnudzan bahwa hasil tersebut objektif, ilmiah, dan dapat dipertanggungjawabkan. Namun, yang juga harus kita cari tahu di sini adalah kenapa juga yang kita temui akhir-akhir ini lebih banyak berupa provokasi terhadap kaum muslim?
Kenapa semakin banyak berseliweran orang yang berani menghina dan melecehkan islam, khususnya di media sosial?
Kenapa para pihak berwenang lebih peduli terhadap kaum minoritas?
Jujur dan jawablah. Apakah Anda ingin bilang saya mengada-ngada atau media sosial yang lebay dan doyan menyebar hoax?

Jika demikian, lantas kenapa Aboe Bakar Alhabsy sampai bertanya kepada Kapolri soal kenapa polisi bertindak lebih tajam ke umat islam?

Lanjut lagi, kenapa Dedy Corbuzier yang non muslim sampai merasa perlu meyakinkan kepada kita bahwa islam itu indah! islam itu baik! Islam bukan moster yang tak akan membiarkan non muslim seperti Dedy hidup di tengah-tengah mereka! Kenapa, jika bukan karena dia merasa perlu meluruskan pandangan salah orang tentang islam.

Berangkat dari sana, mungkinkah label intoleransinya umat islam sekedar stereotype yang kadung melekat dan terus diulang-ulang untuk kepentingan tertentu saja?
Entahlah, terlepas benar dan salah anggapan tersebut. Paling tidak saya ingin mengajak kita dan pemerintah untuk lebih objektif dalam menuntut sikap toleransi terhadap berbagai pihak.

Seperti obrolan ringan keluarga saya di awal, jangan paksakan toleransi condong dibebankan terhadap pihak mayoritas atau ‘superior’ saja. Seorang Kakak dilarang semena-mena terhadap Adiknya bukan berarti Sang Adik selamanya selalu benar dan tidak boleh disalahkan. Itulah pelajaran tak tepat kita turun-temurun yang mengharuskan yang lebih tua, lebih besar, atau lebih kuat, selalu mengalah pada yang lebih muda, lebih kecil, atau yang lebih lemah.

Intinya, semoga dari sekarang, kita, khususnya pemerintah mampu lebih objektif dan adil dalam menuntut semua pihak untuk mewujudkan kerukunan hidup di negara ini. Percayalah, mayoritas di sini takkan latah seperti mayoritas di belahan dunia lain jika tidak diusik.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ketawa Karir

"Teu Nanaon Ngan Nanaonan?" Mencoba menyelami Celotehan Ustad Evie Effendi

3 Metode Pendekatan Penilaian Properti Beserta Kekurangan dan Kelebihannya