Cintai Anak Kita Apa Adanya

(Tulisan Badar)

Ini adalah gambar hasil karya anakku. Wow, kan? Tapi tentu tak masalah buat saya. Toh, sikap terbaik orang tua adalah mendukung kreativitas anaknya, kan? Masalah justru muncul saat kreativitas dituang tanpa batas dan bukan pada tempatnya. Ya, seperti kolom pesan pada buku kenang-kenangan ini. Ketika semua murid TK di sekolahnya berusaha dengan susah payah mengisinya dengan pesan dan kesan, anakku satu-satunya murid yang mengisi kolom tersebut dengan gambar.

Apa yang bisa dan biasa kita lakukan dengan situasi seperti itu? Silahkan pilih:
  •        Marah karena anak membuat malu dengan tak mengikutinya dia terhadap instruksi guru,
  •        Kecewa karena sepertinya dia masih belum lancar menulis,
  •        Menyuruhnya berhenti bergambar dan fokus pada materi baca tulis, atau
  •        Senang karena anak kita memiliki potensi yang bisa dikembangkan?

Entahlah, saya sendiri bisa tersenyum, mungkin, hanya karena pernah menonton filmnya Amir Khan yang berjudul Every Child is Special dan film singapura dengan judul I’m not Stupid 2. Setidaknya, dalam film tersebut kita diajarkan untuk lebih bijak melihat masa perkembangan dan potensi anak kita.
Sikap yang kita berikan sebagai penyikapan terhadap segala tingkah anak haruslah mengacu pada dua aspek di atas.

Masa perkembangan

Sebagai orang tua, kita haruslah paham bahwa pada usianya, apa yang sewajarnya sudah bisa dilakukan anak kita. Misalnya, mampu menyebutkan nama objek di dalam gambar pada usia 2 tahun atau mampu menjaga adiknya bermain di usia anak sudah mencapai 4 tahun. Jangan sampai kita paksa anak kita yang baru satu tahun untuk mengikuti instruksi tangan kita di buku bergambar atau memarahi anak kita yang baru 3 tahun karena tak memperhatikan adiknya yang mengacak-ngacak makanan.

Mengenai masa perkembangan anak, saya pikir cukup jelas dan yang kita perlukan hanya pengetahuan tentang kemampuan apa yang seharusnya telah dimiliki oleh anak kita sesuai dengan tingkatan usianya. Informasi tersebut bisa kita dapatkan dari para pakar parenting atau dokter yang paham akan masa tumbuh kembang anak.

Potensi Anak Kita

Dok. Pribadi
Diakui atau tidak, banyak dari orang tua yang tak mau mengakui potensi / bakat anaknya hanya karena bakat tersebut bukanlah potensi yang mereka harapkan, atau para orang tua gagal melihat prospek yang menjanjikan dari bakat yang dimiliki Sang Anak.

Pernah suatu hari Pak Rudi tetanggaku bercerita. Anaknya baru meneruskan sekolah dari SMP ke sebuah SMK di kotanya. Sebagai orang tekhnik, dia cukup senang mendengar berita tersebut. Bidang yang digelutinya akan diteruskan oleh Sang Anak, pikirnya. Namun, apa dinyana dia kaget dan kecewa setelah bertanya pada Sang Anak. “Ngambil jurusan apa, De?” tanyanya. Anaknya menjawab, “Tata Boga, Pak.” Pa Rudi langsung mingkem.

Ya, kita kadang terlalu cepat memberikan pernyataan tak bijak seperti: “Jika kamu tak jadi PNS, hidupmu susah,” “Apa yang bisa diharapkan dari seorang petinju?” atau “Kalau matematika kamu 5, mau jadi apa nanti kamu, Nak?”

Banyak hal yang memang mendukung para orang tua untuk tidak memiliki jiwa yang besar dalam melihat potensi anaknya. Sistem pendidikan kita saat ini memang mulai mencoba untuk lebih bisa mengembangkan potensi anak didik. Namun, pada akhirnya, pengakuan di ujian akhir dan paradigma masyarakat tentang kecerdasan tetaplah terpatok pada kecerdasan logis-matematis dan linguistik saja.

Ya, sampai saat ini hanya 2 jenis kecerdasan itu yang dominan menjadi acuan untuk seseorang lulus ujian atau diterima pada tes masuk kerja. Padahal menurut Howard Gardner dalam Frame of Mind (1983), terdapat tujuh kecerdasan yang dimiliki manusia, yakni kecerdasan linguistik, kecerdasan logis-matematis, kecerdasan visual-spasial, kecerdasan kinestetik, kecerdasan interpersonal, dan kecerdasan intrapersonal.

Sayangnya, seiring dengan pandangan masyarakat yang telah dibentuk oleh gambaran kesuksesan orang lain, pengalaman orang tua sebelumnya, sulitnya fasilitas pengembangan, dan kurangnya informasi pendukung mengenai potensi yang dimiliki anak-anaknya, banyak dari buah hati kita yang mungkin seharusnya bisa tumbuh menjadi seorang dengan karya yang luar biasa berakhir dengan rutinitas yang sama sekali tak akan memunculkan kemampuan terbaiknya.

Dok. Pribadi
Semoga sebagai orang tua kita bisa lebih bijak melihat kemampuan anak kita dengan memperhatikan posisi dia di masa perkembangan dan potensi dominan yang dimilikinya. Dengan demikian, diharapkan anak kita dapat tumbuh menjadi seorang yang berhasil memunculkan potensi terbaiknya dan karenanya mereka bisa menjadi manusia bermanfaat bagi sekitarnya.

Khoirunnas anfauhum linnas.. wallahualam



Artikel Terkait:



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ketawa Karir

"Hirup Tong Kagok Ngan Tong Ngagokan!" Masih Mencoba Menyelami Colotehan Ustad Evie Effendi

3 Metode Pendekatan Penilaian Properti Beserta Kekurangan dan Kelebihannya