Mimbar Akademik PR 23032006_Tawakal Atau Tak Paham
Tawakal Atau Tak
Paham?
Oleh : Andris Susanto
"Orang bilang tanah kita tanah surga, tongkat kayu dan batu
jadi tanaman…"
Sepenggal lirik yang sempat tersohor dari Koes Ploes
menggambarkan betapa kaya dan suburnya negeri kita. Namun dalam perjalanannya, negeri
ini seperti tenggelam dalam keprihatinan dan keterpurukan. Anak bangsa sekarang
ini seperti hidup di tanah kering kerontang dan miskin sumber daya alam. Jamrud
Khatulistiwa hanyalah kisah yang menyisakan kesengsaraan bangsa pribumi dan
gelak tawa bangsa asing. Tengoklah
bagaimana kekayaan alam Papua dikuasai oleh PT Freeport
dan Blok Cepu yang dikelola oleh ExxonMobil Oil Indonesia yang notabene adalah
perusahaan Amerika. Masih banggakah kita dengan kekayaan yang belum juga bisa
kita nikmati?
Miris memang ketika kita harus bercerita tentang
kondisi yang melanda Indonesia
pada saat ini. Tapi apa hendak dikata, fakta tak dapat disangkal dan dengan
terpaksa kita harus jujur bahwa negeri ini masih meminta para pewarisnya untuk bersabar
dan bertahan dalam kekurangan. Harga barang kebutuhan yang mahal, harga bahan
bakar minyak yang terus naik, tingginya angka pengangguran, lemahnya penegakan
hukum, biaya pendidikan yang tinggi, sampai susahnya mendapatkan layanan
kesehatan, adalah rangkaian permasalahan bangsa kita yang belum juga menemui
titik terang. Siapakah yang
bertanggungjawab atas segala penderitaan ini?
Jika mencari siapa yang salah dan bertanggungjawab atas
semua ini, tentu akan sulit karena setiap orang memiliki daya resisten tinggi
untuk beralibi dan melakukan pembelaan atas apa yang telah dilakukannya. Yang
paling mudah sekarang adalah melihat dan berkata jujur tentang siapa yang jadi
korban atas segala ketimpangan yang ada di negeri ini?
Rakyat kecil yang harus mencari alternatif bahan bakar
karena mahalnya harga minyak tanah, nelayan kecil yang sampannya kalah bersaing
dengan pukat harimau para pencuri ikan, korban-korban ketidakadilan karena
hukum masih dapat dibeli, para pengangguran yang hanya bisa bingung karena memiliki
tingkat pendidikan yang rendah, anak-anak buta huruf yang tidak dapat mengakses
pendidikan karena tak memiliki biaya (Angka buta huruf mencapai 18 juta jiwa
untuk anak usia 10 tahun ke atas), dan rakyat kecil yang hanya dapat mengerang
dalam sakitnya karena tidak kuasa untuk berobat ke dokter, adalah contoh-contoh
nyata dari sekian banyak penderitaan yang ada di negeri tercinta ini. Tidak
adakah usaha untuk membebaskan diri dari penderitaan-penderitaan itu?
Tidak ada orang yang menginginkan dirinya tertindas.
Begitu juga dengan Bangsa Indonesia.
Bangsa ini bukan belum pernah berteriak dan berjuang melawan penindasan. Mulai
dari era 1945 yang disebut-sebut sebagai titik kulminasi, era 1966 yang
memunculkan Orde Baru, era 1998 yang melahirkan Zaman Reformasi, sampai era
sekarang yang merupakan lanjutan Zaman Reformasi yang belum juga tuntas, bangsa
ini senantiasa bangkit melawan ketidakadilan. Namun sayangnya, perjalanan
Bangsa Indonesia
bak keluar dari mulut harimau masuk ke mulut buaya. Setelah terbebas dari satu
kesengsaraan, kita seperti terbelenggu oleh kesusahan yang baru. Dan yang
paling mengenaskan, rakyat seperti terbiasa hidup dalam penderitaan. Tawakalkah
mereka? Ataukah mereka tidak paham untuk
mengidentifikasi apa itu penderitaan?
Contoh riil dari asumsi di atas adalah ketika kita diterpa
Krisis Moneter sekira tahun 1997. saat itu hampir semua barang kebutuhan
mengalami lonjakan harga. Apakah setelah itu harga kembali turun? Tidak! Tapi
yang terjadi kita seperti berusaha paham dan memaklumi keadaan tersebut. Dan
kehidupan pun berjalan kembali seperti biasa. Contoh terbaru adalah rangkaian
kenaikan BBM yang beimbas pada kenaikan tarif angkutan dan harga barang
kebutuhan.. Beribu mahasiswa turun ke jalan menentang kebijakan kenaikan
tersebut. Namun apa yang terjadi kemudian? Hanya beberapa saat pasca kenaikan
per 1 Oktober gelombang perlawanan itu kembali menyurut malahan akhirnya kita
terkecoh berebut dana konpensasi yang sungguh tidak dapat dijadikan solusi dari
kenaikan BBM tersebut. Apakah itu yang dinamakan dengan teori, "nasi telah
jadi bubur"?
Berkaca dari kenyataan di atas, kita tahu bahwa ada
yang salah dalam mentalitas dan pola pemahaman
bangsa ini. Bagaimana tidak? Jika kita sadar akan apa yang kita miliki,
mungkin keadaan bisa lebih baik dari sekarang ini. Memang kini tak ada guna lagi
untuk menudingkan kesalahan kepada pihak manapun. Namun, perlu kita tinjau
kembali makna tawakal jika itu dijadikan alasan kenapa kita bertahan dalam
kondisi buruk seperti sekarang ini. Mengutip apa yang dikatakan Emha Ainun Najib.
"Bangsa kita memiliki daya tahan yang luar biasa dalam menghadapi
penderitaan. Seburuk apapun keadaannya, Rakyat Indonesia selalu bisa bertahan dan
menjalani kehidupan seperti biasanya." Menerima segala yang menimpa kita,
mungkin itu makna tawakal yang dipahami oleh bangsa ini. Padahal tawakal sendiri tidak sama
dengan pasrah atau dengan serta-merta menerima apa yang menimpa kita. Tawakal
hanya berlaku pada hasil dari sesuatu yang sebelumnya telah kita upayakan
secara maksimal. Jadi bukan kerendahan hati yang menerima tanpa adanya
perjuangan keras sebelumnya. Kalo bukan
tawakal, jadi apa yang kita lakukan selama ini? Dan mengapa?
Jika kita buka kembali sejarah, 350 tahun bukan masa
yang singkat dan itu akan sangat cukup untuk membentuk karakter suatu bangsa.
Pembiasaan tertindas telah menciptakan satu mentalitas lembek di negeri ini.
Ingat! Kata "rendah" bisa sangat kontradiktif maknanya jika
disandingkan dengan kata "diri" dan "hati". Masa penjajahan
telah merubah mental bangsa ini menjadi bangsa yang rendah diri dan
merasa kecil di hadapan bangsa lain. Masihkah
kita memiliki harga diri?
Derajat manusia tidak dinilai oleh besarnya uang yang
dimilikinya. Semua orang juga mengakui persamaan derajat dengan adanya
standarisasi Hak Asasi Manusia. Yang perlu kita lakukan sekarang hanyalah
berpikir bagaimana caranya kita bisa terbebas dari mentalitas rendah yang
rupanya telah terlalu lama membelenggu kehidupan Bangsa Indonesia. Menurut Kwik Kian Gie,
kita telah dihinggapi mental inlander. Mental kuli yang tidak memiliki
keberanian sedikit pun, yang menghamba ketika berhadapan dengan orang bule.
Jelas setelah kita runut akar permasalahannya, sekarang
kita tinggal mengangkat akar tersebut sebelum terlanjur kokoh memggenggam bumi
tercinta ini. Namun, pembangunan faktor penunjang perbaikan negeri harus terus
digalakan. Seperti: peningkatan mutu pendidikan, pembenahan sektor ekonomi, dan
pembersihan para penyelenggara negara dari kebiasaan korupsi yang sudah cukup
lama meradang, diharapkan bisa kembali merekontruksi tatanan kehidupan Bangsa Indonesia. Satu
hal yang tak kalah penting, kita juga harus terbiasa bersikap krisis dan sering
melontarkan kalimat tanya seperti yang tertera dalam satu iklan. "Tanya
kenapa?"
Penulis
adalah Ketua BEM FPBS UPI
Dimuat
di Rubrik Mimbar Akademik Pikiran Rakyat 23032006
Komentar
Posting Komentar