Mimbar Akademik PR 13042006_Mahsiswa di Lini Tengah



Mahasiswa di Lini Tengah
Oleh : Andris Susanto

Si Gue : “Eh, HP geu dah ganti. Lho!”
Si Eloe : “Yang bener, Loe? Secara1, yang kemarin kan masih bagus”
Si Gue : “Ya dong. HP tipe terbaru gitoeh, lengkap ama video camera dan Mp3 player.”
Si Eloe : “Wah, keren. Ngomong-ngomong, kecengan loe apa kabar?”
Si Gue : “Tahu ah. Biarin aja kali, stock gue kan masig banyak. He..he..”

Itulah sepotong percakapan antara Si Gue dan Si Eloe yang sedang nongkrong di depan gedung kuliah sambil menunggu dosen yang telat datang. Dari segi bahasa, bukan masalah ketika dua anak muda tersebut menggunakan bahasa sendiri yang tidak akrab di telinga masyarakat pada umumnya. Toh, bahasa selalu berkembang sesuai dengan Zaman yang diikutinya. Namun, bagaimana jika kita cermati isi dari percakapan tersebut dan mengaitkan dengan penutur yang berpredikat sebagai mahasiswa. Apakah itu gambaran ideal dari seorang mahasiswa ?
Saya sadar bahwa tak ada hak bagi saya untuk menjustifikasi bagaimana seharusnya cerminan diri dari seorang mahasiswa. Mahasiswa bisa saja menjelma menjadi seorang anak nongkrong yang bingung melihat aktivis kampus yang sering berantem, seperti pandangan Usep Saefulloh di Pikiran Rakyat (23/3). Padahal, mereka memperjuangkan masalah yang sama, katanya. Atau bisa saja muncul sebagai aktivis kampus yang juga pusing melihat teman-temannya yang cuma bisa nongkrong. Namun, yang pasti kedua-duanya memiliki alasan kuat perihal aktualisasi diri yang mereka pilih, mudah-mudahan.
Bukan masalah ketika mahasiswa suka nongkrong, nonton ataupun ngeband. Hal tersebut wajar untuk kalangan mahasiswa yang masih tergolong sebagai anak muda. Apalagi, jika di balik segala aktualisasi diri tersebut mereka tetap bisa menunjukan eksistensinya sebagai mahasiswa, seperti dalam tulisan Agustinus Ari Sutriesno di Pikiran Rakyat (6/4). Perpaduan ini bisa dijadikan jawaban kongret anak nongkrong untuk para aktivis kampus yang sok revolusioner. Sehingga pandangan miring mereka terhadap anak nongkrong pun bisa berubah.
Jika uraian tadi bisa dijadikan solusi atas kegundahan anak nongkrong, bagaimana dengan para aktivis kampus? Karena, tak dapat dipungkiri lagi kondisi mereka sekarang memang cukup memprihatinkan. Sehingga wajar jika banyak kritik yang menyesalkan terkotak-kotaknya gerakan mereka serta adanya aroma politis yang kental dalam gerakan tersebut. Bagi para aktivis, saya kira sekaranglah saatnya untuk sadar bahwa pergerakan mahasiswa haruslah bercorong kepada satu tujuan yang sama. Yaitu, kesejahtraan rakyat.
Melihat banyak artikel yang sarat dengan istilah dan tulisan yang bisa membuat dahi berkerut, disini saya ingin memberikan pandangan lain yang lebih ringan berupa analogi yang mudah-mudahan dapat dipahami oleh anak nongkrong maupun  maupun aktivis kampus.
Pergerakan bangsa yang sering dibahas oleh para aktivis tak beda dengan sebuah tim sepak bola. Perpaduan yang sinergis antar lini belakang, tengah, dan depan, akan membentuk sebuah tim yang tangguh dan siap menjemput berbagai kemenangan.
Sejenak mengenang ke belakang, mari kita lihat kembali bagaimana kesebelasan Menchester United (MU) meraih treble Winner2 di penghujung milenium ke dua. Di tahun 1999 mereka berhasil menjadi juara piala FA, Liga Inggris, dan Liga Champion. Kesuksesan mereka tidak terlepas dari kerja sama apik para pemain yang menempati posisinya masing-masing. Jaap Stam, Dennis Irwin, Mickael Silvestre, dan West Brown dangan disiplin mengamankan lini pertahanan, David Beckham, Roy Keane, Paul School, dan Ryan Giggs, kompak bermain di lini tengah, dan di lini depan duet Andy Cole-Dwight York siap menjawab dukungan rekan-rekannya dengan menciptakan gol-gol kemenangan.
Masuk ke skema permainan sepak bola tadi, mahasiswa yang heterogen berada di lini tengah. Hal ini dikarenakan mereka bukanlah ujung tombak penentu kebijakan negara. Lini depan lebih cocok diperankan oleh pemerintah karena mereka adalah eksekutor yang akan menentukan nasib bangsa. Sedangkan lini belakang adalah pertahanan terakhir yang menggambarkan posisi rakyat. Keamanan lini belakang turut ditentukan oleh dua lini di depannya. Jika lini depan dan tengah tidak mampu bermain cantik dan dengan mudah di obrak-obrik lawan, maka lini belakanglah yang kerepotan.
Mahasiswa yang terbagi-bagi ke dalam banyak golongan, harusnya bisa padu membentuk lini tengah yang tangguh. Jika secara umum kita membagi mahasiswa ke dalam tiga golongan, yakni: kiri, kanan, dan tengah, maka itu tak beda dengan Giggs di sektor kiri, Beckham di sektor kanan, dan Keane serta School di sektor tengah. Jika mereka bersedia bekerja sama dengan baik, kemenangan yang selalu diimpikan bukanlah hal yang mustahil untuk diciptakan. Ini terbukti pada zaman keemasan mereka. Bahkan, banyak kalangan saat itu menyebutkan bahwa MU adalah tim yang memiliki lini tengah terkuat di dunia.
Sayangnya, alih-alih seperti MU di tahun 1999, mahasiswa saat ini seperti lini tengah Real Madrid pada dua musim terakhir. Tim raksasa dari Spanyol ini bertabur bintang di lapangan tengah. Betapa tidak, nama-nama seperti Zinedine Zidane, David Beckham, Luis Figo, dan Thomas Gravessen merupakan jaminan mutu yang tak perlu diragukan lagi kemampuannya. Namun, mereka ternyata tidak mampu bekerja sama dengan baik dan hanya sibuk mengamankan posisinya sebagai pemain inti. Walhasil, kendati masih mampu bertengger di papan atas, mereka tak berhasil merebut satu pun tropi juara.
Sepertinya, sekarang mahasiswa harus sedikit rendah hati dan sejenak merenung. Analogi tadi bisa dijadikan pelajaran tentang makna kabersamaan. Dari analogi tersebut hanya tersisa dua pilihan. Apakah kita akan mempertajam perbedaan dan berkompetisi untuk menunjukan bahwa golongan saya yang paling benar, atau sadar bahwa keberadaan mahasiswa yang beragam adalah kekayaan yang semestinya bisa dimanfaatkan untuk kepentingan bersama dan menunjukan eksistensi mahasiswa.  Hidup Mahasiswa!
Penulis adalah Mahasiswa Program Pendidikan Bahasa Jerman dan Pecinta Sepak Bola.


1 Padahal (menurut bahasa gaul yang berkembang di beberapa kalangan anak muda)
2 Meraih tiga gelar juara dalam satu musim kompetisi

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ketawa Karir

"Teu Nanaon Ngan Nanaonan?" Mencoba menyelami Celotehan Ustad Evie Effendi

Prinsip-Prinsip Penilaian Aset / Properti