Mimbar Akademik PR 16112006_Menyikapi Kunjungan Bush



Menyikapi Kunjungan Bush
Oleh : Andris Susanto

Sudah beberapa minggu ini, kota Bogor berbenah diri. PKL yang biasa memenuhi trotoar, seperti halnya di kota-kota lain di negeri ini, ditertibkan. Aparat kemanan dari berbagai kesatuan hilir mudik memantau dan memastikan kota ada dalam keadaan aman. Sementara berbagai kegiatan pun tampak di Istana Bogor yang biasanya digunakan untuk kegiatan kenegaraan. Ada apakah gerangan?
Dengan adanya perapihan yang tidak seperti biasanya, tentu akan ada perhelatan akbar yang akan digelar di Kota Hujan tersebut. Perhelatan itu tak lain adalah kunjungan Presiden Amerika Serikat George Bush Jr. yang pada 20 November ini diagendakan akan mampir selama 6 jam di Indonesia.  Bahkan untuk keperluan acara tersebut, keasrian Kebun Raya Bogor harus “dirusak” dengan dibangunnya dua landasan helikopter (helipad).
Bukan itu saja, imbas dari kunjungan tersebut akan semakin terasa pada hari pelaksanaan. Untuk menjamin keamanan selama kunjungan, rencananya jaringan telepon seluler di Bogor akan di blokir  dan menurut Kepala Satuan Lalu Lintas Polresta Bogor AKP Faizal, pada 20 November 2006, jalur lalu lintas seputar Istana Bogor harus disterilkan dari kesibukan lalu lalang kendaraan selama 10 jam.
Hal tersebut jelas akan merugikan banyak pihak. Ribuan supir angkot kehilangan pendapatan, anak-anak yang bersekolah di sekitar kawasan Istana Bogor kehilangan sarana transfortasi, karyawan-karyawan kantor bisa kehilangan jam kerja, dan aktivitas warga kota pada umumnya akan terhambat.
Melihat persiapan yang luar biasa seperti itu, sedianya yang datang adalah seorang petinggi yang mampu memberikan kontribusi positif  terhadap kehidupan bangsa ini. Sehingga kedatangannya, layak kita terima dengan harga kunjungan yang diberitakan memakan biaya sebesar 6 miliar rupiah. Lalu siapakah Bush?
Sebagai Tamu Negara, Presiden AS yang tengah berkuasa ini memang berhak mendapat perlakuan sebagaimana mestinya. Namun, dengan penyambutan yang super sibuk seperti sekarang perlu kita pertanyakan, apakah seorang Bush layak mendapatkannya?
Di sisi lain, Bush juga bukanlah seorang yang memiliki reputasi baik dalam sejarah dunia, khususnya kaum muslim. Selain sebagai orang yang mempopulerkan sebutan “teroris” terhadap kelompok keras muslim, dia juga berandil besar akan terbunuhnya ribuan kaum muslim tak berdosa di Afganistan dan Irak.
Sehingga tak heran, ketika sekarang muncul banyak demontrasi massa yang dilakukan berbagai Ormas Islam dan mahasiswa menolak kedatangan Bush terkait sikap-sikap arogan AS yang kian menjadi di masa pemerintahannya. Hal itu diakui oleh rakyat AS sendiri. Semisal, bayak penentangan terjadi ketika AS menginvasi Irak dan kalahnya Partai Republik (Partai yang selama ini mendukung Bush) dari Partai Demokrat yang merupakan bukti mulai lunturnya kepercayaan warga AS terhadap Bush.
Terlepas dari baik buruknya reputasi seorang Bush, kita juga harus berempati terhadap kondisi bangsa yang memprihatinkan sekarang ini. Kerusuhan yang masih sering muncul, kabut asap yang belum juga lenyap, kekeringan yang melanda beberapa daerah, dan luapan lumpur Lapindo yang sampai sekarang urung surut, adalah permasalahan-permasalahan yang layak didahulukan penyelesaiannya. Jika kita mau berpikir praktis, alangkah lebih baik dana 6 miliar yang dikeluarkan untuk keperluan kunjungan Bush dialihkan untuk usaha penuntasan masalah-masalah di atas.
Sayangnya, ternyata mental inlander masih melekat kuat di dada para petinggi kita. Hal ini terbukti, dengan persiapan besar-besaran yang dilaksanakan sekarang. Mental pribumi yang menganggap agung bangsa asing kembali muncul dan siap memberikan apapun yang dimiliki untuk membahagiakan Sang Tamu tanpa tahu apakah dia juga bersedia membahagiakan kita.
Untung rugi secara materil memang bukanlah sebuah persoalan esensial untuk acara kenegaraan seperti yang akan kita jelang tanggal 20 November ini. Karena sukses atau tidaknya acara tersebut akan berdampak kepada citra negara kita. Namun, sikap berlebihan juga bukanlah hal yang terpuji.  Bahkan lebih jauh lagi sikap kita yang selalu tunduk justru bisa menimbulkan pandangan rendah dan tidak berani bersikap dari bangsa lain.
Kalaupun Indonesia bukan negara Muslim, sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia, negara ini harusnya mampu menunjukan solidaritasnya terhadap penderitaan kaum muslim yang terus disudutkan oleh kebijakan-kebijakan luar negeri AS di bawah pimpinan Bush.
Berkaca pada fakta bahwa Presiden telah mengundang Bush dan tanggal pelaksanaan yang tinggal hitungan hari, dalam menanggapi agenda kunjungan Bush ke Indonesia, saya pikir untuk sekarang kurang bijak jika sikap kita diarahkan kepada kata penolakan kendati wacana penolakan harus terus didengungkan untuk dijadikan pertimbangan pemerintah di kemudian hari. Sehingga kelak, mereka bisa lebih tepat dalam melangkah dan lebih cerdas dalam menentukan prioritas.
Penulis Adalah Pembelajar di Program Pendidikan Bahasa Jerman FPBS UPI

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ketawa Karir

"Teu Nanaon Ngan Nanaonan?" Mencoba menyelami Celotehan Ustad Evie Effendi

Prinsip-Prinsip Penilaian Aset / Properti