Mimbar Akademik PR 28092006_Agama Bukan Ideologi, Coy!
Agama Bukan Ideologi, Coy!
Oleh : Andris Susanto
Pada tanggal 30 september, 39 tahun lalu, bangsa Indonesia
dikejutkan oleh sebuah peristiwa yang menggegerkan. Peristiwa yang selanjutnya
dikenal dengan G30SPKI itu, benar-benar melukai hati rakyat indonesia sekaligus
mempertegas pandangan bangsa terhadap haramnya ideologi yang dianut oleh pelaku
gerakan tersebut.
Akhirnya, komunis, yang disepakati sebagai idelogi
terlarang itu pun, sampai sekarang diharamkan hidup di negeri ini. Bahkan belum
lama ini, deklarasi Papernas (Partai Persatuan Pembebasan Nasional) di Solo
didemo sampai akhirnya urung dilangsungkan karena diduga berlandasan komunis.
Namun, berbicara tentang ideologi, kini muncul fenomena
yang lebih mengerikan. Di dunia saat ini, telah terjadi perluasan makna kata
ideologi. Politik global yang di aktori oleh Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya
telah menobatkan salah satu agama sebagai sebuah idelogi yang menakutkan. Dengan
kedok memerangi terorisme -terlebih pasca runtuhnya gedung WTC pada 11 september
2001- islam kian disudutkan sebagai idelogi penghasil terror.
Padahal, jika kita telaah kembali makna kata ideologi,
jelas kata tersebut berbeda makna dengan agama. Menurut KBBI (Kamus Besar
Bahasa Indonesia), ideologi adalah kumpulan sistem yang dijadikan asas
pendapat, cara berpikir satu orang atau golongan, paham, teori, dan tujuan yang
merupakan program Sospol. Dari sana,
dapat kita simpulkan bahwa ideologi berporos pada hasil pemikiran manusia. Dan
itu sangat berbeda dengan agama.
Agama bukan sekedar ideologi. Agama adalah aturan hidup
(rule of life) yang mutlak,
konsekuensi dari sebuah pilihan, perihal yang bukan merupakan cara berpikir
atau menentukan pilihan, dan yang pasti agama bukanlah buah pemikiran manusia
seperti halnya ideologi.
Dan masih ada satu fakta yang tak dapat dipungkiri
sekaligus menggelikan tentang perbedaan ideologi dengan agama. Fakta tersebut
bersandar pada kenyataan dimana pada prakteknya, di Indonesia, orang yang
beridelogi apa pun masih mengaku beragama. Terlepas mungkin itu hanya sekedar
pelengkap dari data di kartu identitas saja. Hal tersebut wajar karena memang
ada perbedaan derajat antara ideologi dan agama.
Berangkat dari uraian di atas, seharusnya kita lebih
bisa menempatkan segala sesuatu sesuai dengan proporsinya. Tetapi sayangnya,
kesalahan persepsi di atas tak hanya dilakukan oleh Amerika dan kawan-kawan
saja. Pandangan negatif terhadap agama yang dianggap mencampuri urusan dunia,
telah menyebar ke mana-mana bak virus
flu burung. Bahkan dalam skala yang relatif kecil, penolakan terhadap
pengaplikasian nilai-nilai agama telah lama terjadi di negeri ini.
Di tahun 70-an sampai 90-an awal, masyarakat kita pada
umumnya terkesan sensitif dan protektif untuk masalah yang menyangkut agama
dalam keseharian. Sebagai contohnya, di masa itu sempat ada larangan berjilbab
di sekolah-sekolah umum dan masyarakat cenderung memandang aneh terhadap orang
yang berjilbab lebar, lelaki berjanggut atau mereka yang memakai celana di atas
tumit.
Untuk permasalahan-permasalahan tersebut, sekarang
keadaannya memang jauh lebih baik. Namun dalam hal pemikiran, sampai saat ini
ketakutan dari sebagian golongan terhadap agama, khususnya islam, masih saja
terjadi. Padahal jelas, jika dirunut dari akar masalahnya hal tersebut tidaklah
beralasan. Selain perbedaan makna seperti dipaparkan di atas, agama yang
senantiasa mengajarkan kebaikan bukanlah sesuatu yang layak dicurigai
keberadaannya. Jika itu yang terjadi di tataran masyarakat umum, maka cerita
yang tak jauh berbeda berkembang juga di dunia Kampus.
Kampus yang dikenal sebagai tempat berkembangnya berbagai
ideologi, juga menganggap agama sebagai salah satu kontestan dari kompetisi
ketat antar aliran pemikiran. Kalaupun pada kenyataannya itu benar-benar
terjadi, anggapan tersebut benar-benar disayangkan. Bagaimana tidak, jika kita
analogikan agama sebagai permata dan ideologi sebagai batu, hal itu tak beda
dengan mengambil batu untuk memecah permata yang telah kita genggam. Kenapa?
Karena ideologi tak setara dengan agama. Ideologi hanya hasil dari daya pikir
orang yang sebelumnya telah mengaku beragama. Adapun orang yang pola pikirnya berdasar
pada agama, itu hanya semata dia ingin mengamalkan agamanya.
Orang beragama bisa saja berideologi apapun sepanjang
itu tidak merusak kehidupan beragamanya. Lihatlah Muhammad SAW, kecintaannya
terhadap sesama, baik yang seagama ataupun bukan, membuktikan bahwa dia seorang
sosialis. Tetapi disisi lain, sebagai pedagang, dia tentu memegang faham
kapitalis. Semua sah-sah saja jika sesuai dengan proporsinya.
Kesimpulan yang dapat kita ambil dari pembahasan di atas
adalah; Pertama, sah-sah saja
seseorang mengaku berideologi apapun selama ideologi tersebut tak bertentangan
dengan ajaran agama yang dia anut; Kedua,
Agama adalah batang dan ideologi hanyalah cabang, kita harus tahu mana yang
inti dan mana yang hanya merupakan bagian. Jangan disamakan! Ketiga, berpegang teguhlah pada tali
agama masing-masing sehingga kita akan tahu batasan pengagungan kita terhadap
produk nalar manusia.
Sebagai penutup, ada satu hal yang perlu kita renungkan.
“Haruskah permasalahan ideologi dan agama terus diperuncing?” Pertanyaan
tersebut tidak perlu dijawab jika kita benar-benar mengerti makna mendasar dari
dua hal yang dipertentangkan tadi. Saat ini, sikap bijaklah yang semestinya
kita pupuk bersama. Karena dengan kebijakan kita akan dapat membedakan keduanya
dan menciptakan kedamaian diantara perbedaan tersebut. Terakhir, semoga di
bulan suci ini, kita bisa menjalani hari dengan damai dan memaknainya dengan
berbuat kebaikan. “Selamat menjelang Ramadhan, Saudaraku!”
Penulis adalah Pembelajar yang Berkuliah di
Program Pendidikan Bahasa Jerman FPBS UPI
Komentar
Posting Komentar