Idealisme Riwayatmu Kini

Betapa di masa terdidik dan bernaung di agungnya istana bernama kampus, Idealisme dijunjung sebagai predikat sakral yang musti tersemat di dada setiap insan yang mengaku bernama mahasiswa. Setiap ucap dan sikapnya harus suci dari kepentingan yang mengacu pada rupiah dan kenyamanan pribadi sesaat tanpa memikirkan kepentingan rakyat, bangsa, dan negara.
Di masa itu, sikap pragmatis dilabeli sebagai dosa besar yang mustahil ditebus dengan kifarat puasa 40 hari sekalipun.
Sudahlah.. Mari kita minum teh dan sejenak terbahak melihat pemandangan nyata saat ini.
Kutengok dengan takjub, secara masif seorang teman mengupas segala kebatilan seorang pejabat publik.
Eh.. Selang beberapa hari, kontras, disanjungnya Sang Pejabat bak pahlawan yang pulang dari medan perang. Menang lagi!
Hmm… Cukup tertawakan saja, tak perlu dibahas apalagi di-bully. Itulah sikap realistis (bukan lagi pragmatis) yang harus dia ambil. Parameternya bukan komitmen apalagi moral. Tatanan nilai tak memiliki nominal dalam pecahan mata uang.
Tengok lagi yang lain, itulah orang yang konon lantang menentang segala kebijakan kampus dan pemerintah yang tidak populis. Eh, ternyata sedang mesem di bingkai foto selfinya. Nyaman di dalam lingkaran birokrasi yang ditentangnya sambil sesekali upload berita humanis yang ditautkan dari portal wajib kalangannya sendiri.
Tak ada idealisme yang abadi; Yang abadi hanya kepentingan. Kalaupun ada, dia pasti mati dalam keterasingan atau tumpul di gemerlapnya persaingan manusia berebut dunia.
Ketika dunia tak lagi bisa dihadapi dengan cara sederhana seperti waktu masih doyan aksi, tingkatan paham yang digemgam harus lebih dari idealisme.
Harus lebih dari idealisme karena terbukti idealisme sudah terlalu sering kalah oleh kepentingan yang berlindung pada sampul realitas. Dan sikap realistis sendiri saat ini tak pernah murni sebagai kenyataan yang harus diambil tanpa ada alternatif pilihan. Realistis hanya kata lain dari pragmatis.
Harus lebih dari idealisme saat kepentingan telah mampu menyingkirkan kejujuran demi diraihnya keuntungan dan atau menghancurkan takaran keadilanan untuk suksesnya pemenangan sebuah posisi yang tengah diperebutkan.
Lantas, paham apa yang lebih kokoh dari idealisme?
Paham itu tak lain adalah keyakinan. Lugasnya lagi, keimanan.
Huff… maaf jika Anda kecewa. Jawabannya seolah tak spektakuler saat dikembalikan kepada hal yang mau tak mau erat dengan agama. Kaum pemikir seolah tak dihargai saat buah nalarnya dibentrokan dengan agama yang menurutnya hanya berisi dogma.
Tapi cobalah berbesar hati dan renungkan sejenak.
Terlalu banyak orang yang berani menjual idealismenya demi kepentingan. Tapi takkan ada orang beragama menukar keyakinannya demi dunia. Syaratnya, dia benar dalam beragama. Bukankah itu berarti jika benar dalam beridealisme seseorang tak mungkin menjualnya demi kepentingan. Tidak! Karena di satu titik, idealismenya harus mengikuti realitas atau musnah di dalamnya.
Seseorang yang dengan keras melawan pemerintah, di saat kelompoknya berkesempatan, dia tetap akan ambil bagian di barisan pemerintahan dengan cita-cita mewujudkan idealismenya. Dan dengan entengnya dia berujar, idealisme kita tidak hilang, hanya berubah bentuk. Hmm.. adakah yang berani bilang keyakinannya tidak hilang, hanya berubah bentuk.
Kelemahan lain dari idealisme adalah tak adanya kompensasi. Jika kalah tak ada hadiah untuknya. Berbeda dengan agama! Selain tak memiliki dispensasi, jika seseorang harus kalah dengan tetap beragama, dia masih punya keyakinan akan balasan keindahan, kebaikan, dan kemuliaan yang justru sangat mereka rindukan.
Dan mohon maaf lagi jika saya harus mengutip potongan sabda Nabi,
"Berimanlah kepada Allah dan berteguhhatilah!"
Keyakinanlah yang berada di urutan pertama, lalu "berteguhhatilah" yang bisa diartikan pertahankanlah idealisme. Karena hanya dengan keyakinan idealisme bisa diwujudkan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ketawa Karir

"Teu Nanaon Ngan Nanaonan?" Mencoba menyelami Celotehan Ustad Evie Effendi

Prinsip-Prinsip Penilaian Aset / Properti