Ketawa Karir

Ahmad Adhiatma Azhar, my little cute boy (my own doc.)


"Hahaha...." Seolah merespon kicau muray di depannya, sambil menutup mulut dengan sebelah tangannya, bayi yang baru bisa belajar jalan itu tertawa. Cukup keras untuk ukuran usianya.
"Ah, Si Adhi mah seurina maksa (tertawanya maksa)," sahut Pa Ajat, tetanggaku yang tak lain adalah pemilik burung tersebut. Kami berdua pun tertawa melihat tingkah balita tersebut.

Adhia, putra ke dua-ku memang kerap kali melepas tawa seperti itu. Kita bisa saja melihatnya biasa sebagai polah lucu anak-anak seusianya. Tapi tidak dengan istriku. Dia menyebut tawa bocah itu sebagai tawa karir. Duh... lebay amat sih ibumu, Nak! Hahaha.

Aku sendiri awalnya tidak begitu peduli. Tapi, melihat sikap Adhia yang sering melihat respon orang terlebih dahulu sebelum dia bereaksi, sepertinya, anak ini memang senang memanipulasi situasi. Masyaallah ya, anak satu setengah tahun saja sudah belajar berdiplomasi! Wkkk... bapaknya ikutan lebay.

Tapi wajar loh, aku kagum. Dia kan anakku! Hehe... bukan. Tentu saja bukan karena itu. Menakar sikap yang tepat untuk kita berikan kepada orang lain sesuai dengan apa yang orang tersebut harapkan, atau paling tidak membuat mereka nyaman, itu tidak mudah, loh. Saya sendiri masih harus belajar untuk itu.

Btw, ketawa karir apaan, sih? Dengan bahasa sendiri, ketawa karir saya sebut sebagai reaksi dalam sebentuk tawa yang sengaja dilakukan untuk menghargai atau menyenangkan orang lain. Bukan benar-benar ingin tertawa.

Berbohong dan hanya untuk menyenangkan orang lain? Sama dengan menjilat nggak, sih?

Saya pastikan bukan. Penjilat harus berusaha lebih dari sekadar tertawa karir dalam usaha dia menjilat. Sedang ketawa karir, sebagai seseorang yang sudah lama menjabat sebagai karyawan tetap--istiqomah, tetap di situ-situ saja--semua makhluk yang dalam hidupnya sempat merasakan menjadi bawahan, pasti pernah melakukan ketawa karir di depan atasan atau koleganya. Itu adalah keniscayaan. Mirip keberadaan cabe di samping gorengan, lah.

Bahkan, kadang ketawa karir harus dilaku karena itu telah menjadi etika yang mesti kita tampakkan untuk membuat orang lain merasa nyaman. Nah, kalo ini, tak beda sama merica di semangkok sup hangat siap santap. Nyesel deh, kalo nggak ada!

Perlu diketahui juga, ketawa karir bukanlah kunci dalam kita berinteraksi dengan orang lain, termasuk atasan. Kunci utama dalam suksesnya kita berinteraksi atau menjalin hubungan sosial, tetap saja, terletak pada bagaimana cara kita memahami perasaan orang lain. Untuk kemudian memberi respon atas pemahaman tersebut. Nah, tertawa karir sendiri hanyalah satu di antara cara lainnya. Atau bisa jadi, itu hanya teknik yang paling dasar.

Menunjukan bahwa kita paham akan perasaan atau apa yang membuat orang lain (lawan kontak) nyaman, bisa juga kita lakukan dengan gestur yang senada, mendengarkan tanpa menyela, dan yang paling hebat adalah dengan memberikan feedback yang tepat dan mengena. Kita tinggal atur kapan cara-cara tersebut tepat untuk digunakan.

Sedang dari beberapa cara merespon tadi, memberi feedback inilah yang paling sulit dari respon lainnya. Kenapa? Karena dalam urusan ini, kita butuh pengetahuan plus jam terbang yang sangat cukup. Masukan saja, jika teman-teman sempat dan merasa perlu, bisa dipelajari lagi soal komunikasi persuasif dan positive mental attitude untuk hasil luar biasa kita dalam berinteraksi dengan orang lain. Lah, kok malah meleber?

Bebasin aja! (Iklan...wkkk) Kan, kalo mau itu mah. Nggak usah maksa! Minimal buat sekarang, coba aja dulu berlatih bagaimana dan kapan teman-teman harus melakukan ketawa karir yang pas. Karena salah penempatan, ntar malah dianggap meledek orang atau bahkan dianggap mengidap pseudobulbar affect kayak Si Joker, loh! Haha.... 

Papi Badar
Bandung, 02012020

Komentar

Postingan populer dari blog ini

"Hirup Tong Kagok Ngan Tong Ngagokan!" Masih Mencoba Menyelami Colotehan Ustad Evie Effendi

3 Metode Pendekatan Penilaian Properti Beserta Kekurangan dan Kelebihannya