Menunai Janji (Cerpen)

(Dok.Pribadi)


Memandang taman tol dari balik jendela bus selalu memberiku kesenangan tersendiri. Ada tenang yang dihantar hampar hijau rerumputan; ada harap, ratap rindu kan tergenap sesampainya aku di tempat tujuan--kampung halamanku. Tapi itu versiku. Aku tak tahu apa yang ada di benak perempuan di sebelahku. Apakah akan sama atau tidak? Biarlah.

Sedari tadi perempuan yang tak lain adalah istriku itu hanya terduduk di jok bus yang kami tumpangi. Dia belum bercakap apapun selain mengingatkan Asad, anak kami, untuk menghabiskan sarapannya.

"Makasih ya, udah mau ikut," ucapku kepadanya guna memecah keheningan.
"Iya, masa aku biarkan Aa pergi sendiri. Aku juga sayang sama Bibi!" jawabnya pelan sambil tersenyum.
"Syukurlah!" lirihku dalam hati. Tak peduli apa itu senyum tulus atau bukan, paling tidak, pengakuan tersebut membuat perasaan tak enak di hatiku sedikit berkurang.

Sebelumnya, kepergian kami ke Cianjur memang harus melalui proses diskusi panjang kali lebar dengan beragam macam alasan yang istriku utarakan. Tugas tulisannya yang belum kelar lah; nunggu gajian biar bisa rental mobil sendiri lah; atau kenapa tidak sekalian pergi di silaturahmi jelang ramadhan nanti saja; menjadi soal yang satu per satu harus aku mentahkan demi mendapatkan persetujannya.

"Tidak bisa, De! Bagiku ini masalah janji, aku harus menjenguk Bibi minggu ini. Kalo kamu nggak bisa ikut, ya nggak apa-apa!" Kalimat itu akhirnya menutup pembicaraan kami tadi malam. Istriku terdiam.

***

"Jadi, hari ini nggak akan ke sini, A?" Tanpa jeda pertanyaan itu langsung meluncur setelah bibiku menjawab salam sapa yang aku ucapkan demi menerima panggilan telepon beliau.
Bingung karena lelah dengan yang telah dan masih harus kuselesaikan hari itu, aku hanya bisa beralasan, "ini baru selesai maulud-an di mesjid, Bi. Masih cape, mau istirahat dulu. Mana kerjaan rumah masih banyak lagi!"
"Oh ... tadinya Bibi pengen ketemu. Kalo lagi sakit pengennya selalu ada temen ngobrol, A," jawabnya dengan nada lemas.
"Yaah, gimana atuh? Maaf ya, Bi!" Aku malah jadi semakin bingung harus bagaimana.
Mencoba menghibur dan berharap beliau bisa menerima udzur-ku untuk tidak menjenguknya, aku akhirnya menambahkan, "minggu depan deh, Bi. Inshaallah Aa jenguk Bibi!"
Sejenak terdiam, sepertinya beliau bisa memaklumi kondisiku. Paling tidak, itu yang aku dengar dari ucapannya. "Ya udah ... nggak apa-apa, A!"
"Gimana kondisinya sekarang, Bi?" tanyaku mengalihkan pembicaraan.
"Nggak ada perubahan A, masih sama saja!" Suaranya terhenti untuk menahan isak.
"Jangan gitu ah, Bi! Semangat, bentar lagi juga mau operasi, kan? Bibi pasti sembuh! Sing yakin!"
"Iya ... masih nunggu dokternya pulang dari Bali. Do'ain aja ya, A!"
"Inshaallah, tentu saja Aa terus do'ain Bibi."
"Ya udah ... makasih ya, A! Assalamu'alaikum!"
"Waalaikumsalam warahmatullah, Bi!"

Fix, aku tak bisa menemuinya hari itu. Minggu sore, sepekan yang lalu. Aku hanya meneruskan dudukku di teras rumah dan kembali menyesap kopi yang terjeda oleh perbincanganku dengan bibi.

Bibi adalah adik ke dua paling akhir dari ibuku yang tujuh bersaudara. Pangais bungsu, begitu orang sunda menyebutnya.

Sekira dua tahun terakhir, beliau tetirah di rumah adiknya di Jatinangor. Tak jauh dari rumahku yang terletak di Cibiru, sebenarnya. Namun, pertimbangan anak ke orang tua memang kadang berbeda. Jika tak luang-luang amat, rasanya berat untuk bisa menjenguknya di setiap akhir pekan. Padahal, jika aku berniat, tentu saja bisa.

Entahlah, apa ini hanya terjadi dengan diriku atau lumrahnya memang begitu? Sebagai seorang ayah dan suami, kini aku seperti memiliki cukup alasan untuk tidak terlalu risau dengan kondisi sanak saudaraku lagi. Kecuali memang diminta; kesadaran untuk menyapa duluan, apalagi sengaja datang mengunjungi mereka, terasa menjadi barang mahal yang tak bisa lagi dilakukan dengan tanpa dipaksakan. Selalu harus ada alasan!

Pun demikian, tidak juga aku sampai tidak peduli sama sekali. Tentu saja tidak! Terlebih, Bibiku yang satu ini pernah sangat berperan di perjalanan kehidupan keluarga besar kami. Beliau pernah menjadi tumpuan harapan di banyak kesulitan hidup yang harus kami hadapi.

Ditinggal kakek yang meninggal di usia relatif muda, sedang nenek pun tak bekerja, bibiku berhasil membuka jalan kesuksesan buat satu-satunya pamanku yang menjadi pns; tamat membiayai kuliah adik bontotnya yang kini beliau tumpangi, dan tak jarang, beliau juga dimintai tolong kakak-kakaknya yang sedang mengalami kesulitan. Lugasnya, beliau sering menjadi tempat kami semua meminjam uang.

Masanya memang sudah berlalu. Itu hanya kisahnya dulu; saat beliau masih bersuamikan seorang bintara polisi. Kendati iya, sebenarnya, waktu itu pun hidupnya tak seutuhnya indah.

Harus rela diperistri duda beranak dua, mungkin, hanya kecukupan dan kemampuan membantu saudara-saudaranyalah yang membuat beliau relatif mampu untuk bertahan dalam kurun yang cukup lama.

Lalu, hampir satu dasawarsa berumah tangga tanpa dikaruniai keturunan, dengan sabar dan penuh kasih sayang bibiku rela membesarkan dua anak tirinya. Meski terlihat biasa saja, mengurusi anak-anak suami yang bukan darah daging kita sendiri dengan tulus, tentu bukanlah hal yang sederhana. Ada cemburu yang harus dikesampingkan, ada sesal yang mesti dilawan di dalam hatinya. Terlebih, kenyataan suaminya sudah memiliki dua anak dari pernikahan sebelumnya baru bibiku ketahui setelah mereka berumah tangga. Hebatnya, dengan langkah tegap, semuanya mampu beliau jalani.

Sayang, lama-kelamaan bibiku goyah juga. Mengetahui suaminya suka kawin cerai dan semakin seringnya dia pergi berhari-hari tanpa alasan pasti, beliau pun mulai tersiksa secara perlahan. Tak tahan, akhirnya mereka berpisah juga.

Kami semua turut prihatin namun tak ada daya untuk berbuat lebih dari sekadar urunan perasaan prihatin tadi. Kendati gurat kesedihan jelas tergambar dari wajah putih bibiku, sayangnya, kami tak bisa menawarkan bantuan lain untuk ikut menghapus rasa kecewa beliau. Segala kebaikan yang pernah beliau beri, hanya bisa kami balas dengan ikut berempati.

Bercerai dengan suami pertamanya, Bibiku memilih pulang ke rumah nenek. Rumah kenangan tempat kami semua dibesarkan. Tak berharap lebih, kembali ke sana, beliau hanya mengidam kehidupan yang lebih tenang dan bahagia meski dengan cara yang sederhana.

Tak dinyana, nasibnya malah semakin suram seusai bercerai. Ujian demi ujian  datang silih berganti bagai antrian yang berjejer menanti giliran untuk beliau lalui.

Beberapa tahun berselang, bibiku kembali diperistri oleh seorang duda. Bedanya, yang ini telah berusia. Anak-anak tiri bibiku dari suami barunya pun sudah pada dewasa. Kabar buruknya, umumnya, mereka memandang beliau dengan penuh prasangka tak baik. Sekadar mengincar harta dan tak bersungguh mencintai ayahnya menjadi sangka yang tertanam pada benak kebanyakan mereka; sampai-sampai, untuk hal-hal domestik di rumah tangga bibiku yang harusnya bersifat privat dan teknis pun menjadi pusat perhatian dari anak-anak tirinya. Alhasil, di rumah tangganya yang ke dua ini, bibiku malah lebih tersiksa.

Beruntungnya, di tengah tak eloknya sikap anak-anak tiri yang harus bibiku hadapi, masih ada suami yang sangat mencintainya. Ayah dari anak-anak tirinya tadi. Beliau selalu membela bibiku, memenuhi segala kebutuhannya, dan sesekali memanjakannya dengan memberi beliau hadiah. Tapi, lagi-lagi itu tak berlangsung lama.

Di tahun ke dua pernikahan mereka, Sang Suami mengalami kecelakaan yang cukup parah. Mengalami pendarahan hebat di kepala, suami ke dua bibiku itu harus masuk ICU selama tiga minggu dalam kondisi tidak sadar.

Berangsur pulih, dia akhirnya bisa keluar dari rumah sakit. Sayang, kondisi suami bibiku tak sepenuhnya kembali normal. Ingatannya banyak yang hilang, sifatnya jadi kekanak-kanakan, dan dia menjadi sangat tempramental. Perubahan yang terakhir inilah yang sering kali membuat bibiku hampir menyerah.

Kerap menerima kekerasan dan mulai sakit-sakitan, keluarga besarku akhirnya sepakat mengambil kembali bibiku dari rumah suami ke duanya. Meski statusnya menggantung, demi kebaikan, bibiku akhirnya dibawa tinggal di rumah kakaknya di Banten.

Beberapa bulan di Banten, alasan supaya lebih mudah berobat akhirnya memaksa bibiku untuk kembali berpindah tempat tinggal. Selanjutnya, beliau pun tinggal di rumah adiknya di Jatinangor.

Tak terasa, masa dua tahun lebih pun berlalu sejak bibiku pertama datang ke Jatinangor. Beliau tinggal di sana sampai minggu lalu.

Tinggal bersama adik bungsunya, sebenarnya, cukup memberi angin segar dan kegembiraan buat beliau. Ada rutinitas mengantar jemput keponakannya sekolah, belajar menjahit, atau sesekali, beliau juga masih bisa pergi ke pasar untuk belanja beberapa keperluan rumah. Aktivitas-aktivitas itu cukup mengisi kekosongan di hari-hari sepi yang harus beliau lalui dalam sakitnya yang belum juga membaik.

Bukan tanpa usaha berobat, sebagai keluarga, kami semua berusaha semampunya mendorong kesembuhan untuk sakit yang diderita oleh bibiku. Baik itu secara medis maupun alternatif. Bahkan bagiku sendiri, karena ikhtiar-ikhtiar itulah kedekatan dengan beliau jadi lebih terjalin sekarang-sekarang ini.

Memang iya, untuk sekadar rutin menjenguk, terkadang ada saja alasanku untuk tidak menunaikannya. Namun, di beberapa kesempatan sebelumnya, aku masih bisa menyempatkan membantu dalam usaha pengobatan beliau dengan ikut mengantri mendaftarkannya berobat dari pagi buta atau mengantar beliau ke tempat pengobatan alternatif.
Sekali sempat, kami berdua pernah melakukan perjalanan panjang yang melelahkan--untuk kepentingan berobat, tentunya. Bermotor di bawah gerimis yang sesekali membesar, aku mengantar bibi dari Jatinangor menuju Pacet yang lebih kurang berjarak 30 Km tanpa tahu alamat pasti yang dituju--sebuah balai pengobatan alternatif yang baru kami dengar dari mulut ke mulut.

Lamanya perjalanan waktu itu membuat kami luang untuk berbagi cerita. Terlebih, kami sempat berteduh di warung kopi di daerah Sapan karena hujan yang terus membesar di sabtu pagi kala itu.

Di sana, berkisahlah beliau bagaimana beratnya hari-hari yang mesti dilaluinya pasca perceraian dari pernikahan pertamanya dulu. Menurut penuturannya, situasi semakin tak menentu saat nenek harus berpulang meninggalkan kami. Dengan keberanian dan kelugasannya berkomunikasi, nenek memang menjadi sosok pembela di keluarga kami yang paling bisa diandalkan.

Seperti biasa, selama kami berbincang, tak ada andil yang bisa aku berikan selain mendengarkan dan membesarkan hati beliau untuk terus bersabar dan tetap semangat.

Tak dapat disangkal, meski sederhana, momen-momen seperti itulah yang membuat ikatan di antara kami menjadi semakin kuat. Hingga akhirnya, berasa dosa besar jika janji menjenguk beliau minggu ini sampai tak bisa aku tunaikan.

***

Hari hampir dzhuhur saat aku sekeluarga turun dari angkot yang menjadi angkutan penyambung dari terminal bus ke kampung halamanku. Selesai sholat, aku merasa tak nyaman untuk tinggal berlama-lama di rumah orang tuaku. Kami pun segera menuju tempat bibiku.

"Assalamu'alaikum, Bi! Aa datang, Seperti janji minggu lalu, Aa datang hari ini untuk menjenguk bibi," sapaku sebagai awalan.
"Maaf ya, Aa nggak nyangka Bibi mau pulang secepat ini. Semoga kini Bibi bisa lebih tenang dan dapat menemukan bahagia yanh sesungguhnya! Al Fatihah ..." tutupku di samping pusara beliau sambil memegang erat tangan istriku.

Papi Badar©
Bandung, 27-03-2019

Komentar

  1. 😭😭😭😭😭

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sekalinya ketemu di cerita sedih, ya. Makasih udah mampir, Teh ReshaπŸ˜ŠπŸ™

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ketawa Karir

Prinsip-Prinsip Penilaian Aset / Properti

3 Metode Pendekatan Penilaian Properti Beserta Kekurangan dan Kelebihannya