Santuy, Kuy! (Cerpen)

pixabay.com


Oleh: Sri Sundari untuk September Bercerpen

“Ayo atuh, Dede! Mau apa nanti Mama beliin.” Yuli membujuk Ari anak bungsunya agar mau makan nasi.
“Gak mauuuu ….” Ari malah berlari menjauh, merapatkan tubuhnya ke tembok dapur. Wajahnya ada dalam tanda-tanda mau menangis, bibirnya manyun.

Yuli menyerah lagi. Sudah berbagai cara dilakukannya untuk membujuk Ari agar mau makan nasi sampai anak itu juga bingung mau minta apa lagi. Soalnya, semua keinginan Ari sudah Yuli penuhi. Dari makanan biasa sampai yang aneh di mulut, mainan murah sampai mahal juga sudah dia punya. Tapi tetap saja, nasi tak pernah ada yang bisa mendarat di mulutnya--bujukannya saja yang habis-habisan; menguras kata juga biaya. Untung saja dia belum minta smartphone, playstation teranyar atau drone. Kalau minta itu, tentu Yuli lebih repot.

“Sini, Teteh suapin! Ria, bantuin pegang Dede, yu! Ayo, Deee … nguing nguing ….” Ira mengajak Ria mengejar Ari. Mereka menakut-nakuti adiknya dengan sesendok nasi. Ari makin menjerit-jerit karena dikepung kakak-kakaknya yang usil. Dia memang anak lelaki satu-satunya, semua orang di rumah itu gemas ingin menggodanya. Akhirnya, Yuli jadi repot sendiri menghentikan mereka yang jadi kejar-kejaran di dapur, mengusik ketenangan Anhar yang sedang menikmati hari liburnya di kamar.

“Apa lagi sih, Mam?” Anhar juga akhirnya harus turun ranjang mendengar jeritan khas anaknya, dia datang untuk menggendong Ari. “Ai Mama teh kumaha, sudah tahu Si Dede tidak mau makan nasi, masih saja maksa? Teteh dan Kaka juga jangan gitu dong, kasian adiknya, tuh lihat sampai ingusan begini,” tegur Anhar, nada suaranya terdengar pelan, lembut menghembus nyaris tak terdengar seperti suara motor bebek keluaran terbaru. Dia khawatir tegurannya membuat istri dan anak-anaknya merasa bersalah, nanti malah pada manyun. Disekanya bawah hidung Ari dengan tisyu.

“Ari emang lagi pilek, Har. Jangan dikasih minum dingin-dingin dulu! ” teriak ibu mertua Yuli dari ruang tengah, sedang melipat baju.
“Ooh, Ari jangan minum es dulu ya! Dengerin kata Nenek barusan!” kata Anhar, Ari mengangguk.

Ira dan Ria yang umurnya tidak berbeda jauh itu, segera bergelantungan di tangan kanan dan kiri bapaknya. Masih menggoda Ari yang kini tertawa-tawa dari atas gendongan Anhar. Mereka memang sangat dekat dengan Sang Ayah.

Yuli terdiam, disuapkan sesendok nasi berkuah sayur bayem ke dalam mulutnya sendiri. Anhar tersenyum.
“Enak juga gitu, sayang kalau dibuang. Mubadzir!” kata Anhar lagi. Senyum genit bersarang di kumisnya meskipun tubuhnya bergoyang kanan kiri digelantungi anak-anaknya.

Yuli keki, lezatnya sayur bayem tidak membuat hatinya adem. Terlebih, dia tahu mertuanya menyimak dari ruang tengah. Beliau sudah dua hari ada di rumahnya, berkunjung untuk menengok cucu-cucunya.

Dibiarkan anak-anak dan suaminya pergi ke dalam, dia jadi bisa leluasa meluapkan emosinya dengan menghabisi makanan di piring. Melar melar, dah! Pikirnya.

Yuli bingung, anak bungsunya berbeda dengan kakak-kakaknya, tidak doyan makan nasi, padahal dia dan suaminya orang Indonesia tulen. Lahir di jawa bagian priangan. Tidak ada keturunan negara lain. Asli penyantap makanan pokok orang Indonesia, nasi. Apa alasannya, dia juga tidak bisa bertanya mendetail kepada Ari yang baru berumur tiga tahun itu. Setiap ditanya, anak itu malah bengong, lalu memegang-megang bibirnya yang sedang dipakai bicara seperti dia memegang-megang mulut ikan mas yang suka dibelinya di tukang sayur.

“Mie lagi aja?” Ibu mertuanya melongokkan kepala dari pintu tak berdaun yang menghubungkan ruang dalam dengan dapur, mengagetkan Yuli yang sedang mengolah mie basah di dapur. Kalau tidak kepepet dia tidak memberi Ari mie instan, gitu-gitu juga dia emak yang melek internet.

“Habis gimana lagi, Mah? Si Dede pengennya makan mie. Ini mie basah kok, aman.” Yuli membela diri.

Mertuanya masuk lagi ke dalam tanpa sepatah kata pun.
Tidak mudah untuk Yuli bersikap biasa saja ketika melihat sikap mertuanya seperti itu. Baru datang saja sudah melemparkan dumelan, sok kebarat-baratan lah, teu leukeun lah, buang-buang duit lah, kalah sama anak lah. Kalau tidak mengingat itu adalah ibunda suaminya, yang sudah bertaruh nyawa membesarkan dan mendidik belahan jiwanya itu, Yuli sudah tidak tahan ingin kabur mencari sekolah kepribadian biar dia bisa perfect di mata mertuanya itu. Apa daya, terpaksa ditelannya itu semua, seperti menelan tahu sumedang tanpa cengek. Hambar!

Tapi tetap saja, Yuli juga manusia. Ada griming-griming tak sedap di hatinya yang akhirnya dia luapkan pada suaminya yang sedang mengutak-atik laptop di kamar.

“Gimana atuh, Pah, apa Si Dede kita bawa ke orang pintar saja?” Yuli mengajukan usul yang membuat dahi Anhar terangkat membawa serta kacamatanya naik beberapa mili.

Usul Yuli muncul dari saking putus asanya dia. Konsultasi ke dokter sudah Yuli lakukan dan kata dokter juga tidak apa-apa tidak makan nasi--yang penting asupan gizinya terpenuhi.

“Emang Si Dede kesurupan, Mam?”
“Ihh, kalau diajak ngomong teh.” Yuli mendorong bahu Anhar yang duduk membelakanginya.
“Si Dede memang maunya begitu. Mama ngga capek mikirin itu saja setiap hari?”
“Tapi Mama ngga enak, Pah.”
“Enak kok, gurih-gurih nyoyy,” ledek Anhar sambil menjawil dagu Yuli. Yuli merengut, tidak pedulikan ledekan suaminya.
“Papah mah enak, tidak disalahkan.”
“Memang siapa yang menyalahkan Mama?”

Yuli berbaring di ranjangnya, mumpung anak-anaknya lagi diajak main sama neneknya keliling komplek dia bisa manfaatkan untuk istirahat sebentar sekalian mencurahkan uneg-uneg.

“Tidak mengucapkan langsung juga tahu atuh Pah, orang menganggap Mama tidak leukeun membiasakan si dede makan nasi dari dulu.” Sengaja Yuli tidak menyebutkan siapa orangnya, demi ketentraman hati Anhar, karena orang itu adalah ibunya.

Yuli tidak mau mereka berselisih lagi seperti dulu, delapan tahun yang lalu mertuanya itu blak-blakan menyalahkan Yuli soal jarak kelahiran Ira dan Ria yang berdempetan, terpaut dua tahun saja. Mertuanya bilang, tidak bisa mengurus diri, bagaimana bisa mengurus anak banyak. Anhar jadi ceramahi ibunya sendiri. Meskipun dengan cara halus, tapi Yuli yang jadinya tidak enak sendiri, pengaduannya menjadi penyebab semua itu.

“Itu kan hanya perasaan Mama saja. Jangan diambil hati. Santuy dong, Mam! yang penting kan Si Dede sehat.” Anhar berlagak jadi anak alay. Dia menutup laptop, menguap.
“Santuy santuy, makan mie terus tidak sehat, Pah,” ketus Yuli.
“Kata siapa? Orang-orang di negara lain juga makanannya bukan nasi sehat-sehat saja. Lagian kan Mama mengolahnya lagi, dengan menambahkan telor, sayuran. Kalau mie instan, bumbunya dikurangi. Bahkan ngulek bumbu sendiri kalau lagi rajin, hehee. Mama juga yang bilang tidak melulu ngasih Si Dede mie setiap hari. Susu dan roti dia doyan, tempe tahu juga. Kadang juga kan Mama bikinin dia kue, jus, euuh … itu, apa tuh yang sering Mama bikin, yang pakai daging giling dan ditusuk-tusuk itu …?”
“Sempolan,” jawab Yuli, menyebutkan makanan yang resepnya dapet mungut dari youtube itu.

“Nahh iya, sempolan. Pizza-pizza-an, bolu, molen, siomay, kentang goreng dan apa saja yang Si Dede suka.”
Yuli menggeser badan karena Anhar ikut menggelar badan di sampingnya. “Mama jadi kreatif, kan. Papah dan teteh-tetehnya jadi ikutan makan, deh,” lanjut Anhar, sambil menutupkan lengan ke wajahnya.
“Tapi tetep saja, Mama malu.Tidak pandai membujuk anak. Rasanya nyesel dulu pas Si Dede mulai lepas empasi tidak leukeun ngenalin dia sama nasi, menuruti terus maunya. Sekarang mulai terasa, jajannya menghabiskan jatah belanja.”
“Mamaa, setiap anak itu punya karakter masing-masing. Kita tidak bisa memaksakan kehendak. Asal tidak merusak akidah, dan kita bisa memberi dia makanan alternatif, biarkan saja. Alhamdulillah kan, si dede sehat, enerjik, pinter, tidak beda sama kakak-kakaknya yang doyan nasi.”

Yuli terdiam, suaminya paling bisa membuat hatinya seperti habis menelan sop buah, adem. “Mama juga jangan sampai lupa bersyukur, lihat saja keadaan kita sekarang. Sejak Si Dede lahir, kita tidak pernah keteter uang untuk membeli makanan untuknya. Allah itu maha adil, Dia berikan kita anak yang lucu beserta rejekinya yang melimpah. Alhamduli ….”
“Llah …,” gumam Yuli, mirip anak SD yang sedang diajari gurunya.
Yuli jadi sedih, tidak terasa ada yang mengganjal di tenggorokannya, ingin menangis.

"Astaghfirulloh! aku kok jadi lupa bersyukur," batin Yuli.
Dia sangat rasakan semua itu memang benar. Sejak kelahiran Ari, rejeki seperti tidak pernah berhenti mengalir meskipun harus dikeluarkan lagi untuk makanan-makanan anaknya itu yang terbilang lumayan menguras pengeluaran.

Karena tidak makan nasi itu dia tidak pernah membiarkan kehabisan stok susu, buah-buahan, cemilan-cemilan enak dan sehat, baik yang dibikin sendiri maupun beli. Sedangkan ketika membeli, juga tidak bisa hanya untuk  Ari doang. Kakak-kakaknya juga pengen ikut makan. Malahan, harus lebih banyak lagi kerena dirinya juga doyan.

Yuli jadi ingat keadaan rumah tangganya sebelum Ari lahir. Rumah masih nyicil, kendaraan juga nyicil, gaji bulanan suaminya sebagai PNS masih golongan rendah banyak potongan. Pengeluaran harus ekstra hemat. Ketika Ari lahir Anhar sudah beberapa kali naik golongan, satu persatu cicilan lunas, gaji bulanan jadi utuh, ditambah lagi datangnya SK tunjangan sertifikasi yang lumayan meggembungkan tabungannya setiap semester. Belum lagi, bimbingan belajar yang dirintis Anhar bersama temannya semakin kesini semakin banyak peminat. Lumayan, bisa memberi penghasilan lebih dan tak bikin was-was lagi anak-anaknya kurang jajan dan pakaian.

Yuli meresapi kata-kata suaminya tadi, santuy. Bahasa anak milenial itu membuatnya sadar, hari ini dirinya hanya kurang santai menghadapi ibu mertuanya. Anak-anaknya adalah titipan dari Allah, dengan segala karakter dan rejekinya masing-masing, kenapa dia harus gusar dengan memaksakan kehendak hanya demi terlihat sempurna di mata mertuanya? Anggap saja itu bentuk perhatian ibu mertuanya kepada keluarga kecil mereka.

Dipandangi suaminya yang sudah berhenti bicara, pelan-pelan mendengkur dalam tidur siangnya. Yuli jadi pengen mengecupnya, tapi takut ketahuan dan malah jadi berabe. Dia tinggalkan saja Anhar di kamar, karena dari depan sudah terdengar celoteh anak-anaknya yang baru pulang.

Ibu mertuanya terlihat kesal. “Susah nih, Neng! Dia keukeuh pengen ini,” katanya dengan nada tinggi sambil menunjuk es krim yang sedang dijilati Ari dengan senang hati. Padahal, tadi pagi dia sendiri yang bilang kalo Ari sedang pilek. Kedua kakaknya merengut karena hanya dibolehin jajan kacang garing seorang satu.

“Ya begitulah Mah, cucu Mamah yang satu itu,” jawab Yuli, tersenyum santai tanpa mau menyalahkan mertuanya yang tidak bisa membujuk cucunya untuk tidak makan es krim. Mimik wajah ibu mertuanya terlihat merasa bersalah.

"Santuy kuy, Mah!" Batin Yuli.

Komentar

  1. Balasan
    1. Bingung pilih gambar, Ambu...haha

      Hapus
    2. Hehe sy kurang fokus dipict, kalau ngg liat komen ini ngg perhatiin

      Hapus
    3. Komen cerpennya atuh, Teh? πŸ˜€

      Hapus
  2. Mbak Sun emang selalu keren bikin cerpen ����

    BalasHapus
    Balasan
    1. Next... Cerpen bahasa inggris dari Mbak Renita😁

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ketawa Karir

"Teu Nanaon Ngan Nanaonan?" Mencoba menyelami Celotehan Ustad Evie Effendi

Prinsip-Prinsip Penilaian Aset / Properti