Di Balik Viralnya Es Koprol

flickr.com


Oleh: Cahaya Halimah
untuk September Bercerpen

Cahaya rembulan menerangi gelapnya malam, hunian yang tak tampak diterangi lampu menjadi hitam pekat disanding angin yang berhembus dingin, membuat bulu kudukku berdiri.

Begitulah suasana kampung kami. Penggusuran membuat bangunan hancur dengan sendirinya; menyisakan bata-bata yang tak ikut terkikis dan semak belukar yang menjadi penghuninya.

Mata batin yang kumiliki terkadang menembus mampu netra sewajarnya. Selalu ingin kuhempaskan, tetapi kehendak hanyalah tinggal kehendak.

Semisal saat ini, malam terang bulan menyisakan sebuah kenangan begitu kelam dalam memori. Entah kenapa, setiap bulan purnama ada saja kejadian yang tidak diinginkan terjadi.

Sabtu malam sebenarnya aku hanya ingin berteman dengan secangkir kopi. Seruput cairan hitam itu terus kunikmati dengan melihat indahnya kesempurnaan cahaya di angkasa sana.

Tiba-tiba suara klakson membuyarkan lamunan. Sepupuku datang. Seperti biasa, kami sering menghabiskan sisa tenaga bersama-sama meski hanya memainkan gadget masing-masing ujung-ujungnya.

"Tumben lu berani ke sini sendiri Dam!" ucapku.

"Eitdah, biasanya juga sendiri," sahut Adam dengan sedikit emosi.

"Hei Bro! habis dapat bonus sekali-kali traktir es yang lagi viral dong," ucap Adam kepadaku.

"ok, siap ...," Jawabku sambil menyalakan sepeda motor.

"Mau beli yang di mana nih?"

"Dekat kelurahan lama saja, di situ ramai banget, biasanya yang ramai tuh lebih enak."

"Seenak-enaknya es, tetap ajah dingin, he, he."

Mengendarai roda dua, berjalan di antara semak-semak, di bawah sinar rembulan dengan hembusan angin yang sejuk. Terkadang aroma tak sedap bahkan bau kentang rebus mampir di indra penciumanku.

Ternyata antrian begitu panjang, dengan menikmati sejuknya angin malam, ditambah sebatang benda yang jika dibakar menimbulkan asap berbau tembakau, dan bisa menyebabkan candu.

Meski bulu kudukku tiba-tiba berdiri, aku tak menghiraukan, memang sudah seperti kataku tadi, setiap tengah bulan ada saja kejadian yang ganjil. Rasa tak enak pun kembali menghantui.

"Lu tungguin di motor, gua aja yang ngantri," ucapku.

"ok."

Aku sibuk memainkan smartphone agar tidak terasa lamanya mengantri. Sesekali kulihat ke depan, hanya untuk mengecek tinggal berapa antrian.

Aku memilih langsung meninggalkan antrian, padahal tinggal empat orang tersisa dari 10 orang yang mengantri.

"Wah An, mana esnya! uda lama nunggu tiada hasil."

"Sudah buru nyalain motornya!"

Tanpa banyak tanya, Adam langsung menghidupkan mesin roda duanya.

Aku terus melihat ke arah tukang es tersebut, para pembeli terus berdatangan, antrian pun semakin panjang.

Suasana hening kian mencekam, wajah makhluk astral selalu membekas, terkadang terbawa ilusi bahwa makhluk tersebut ikut berbonceng bersama kami.

Kuhempaskan semua sugesti, lidah tidak berhenti bergeming memanggil nama-Nya, berharap tidak ada makhluk tanpa raga yang mengikuti kami.

"Aduh lemes gue Dam," ucapku dengan bulir-bulir peluh membasahi kaos merahnya.

"Jangan deh beli es di situ!"

"Kenapa sih, dari tadi gue tanya nggak cerita-cerita," tanya Adam sambil mematikan mesin motornya.

"Sumpah! gue ngeri dan jijik banget Dam liatnya."

"Emang ada apaan?"

***

Malam terasa begitu panjang, aroma binatang yang sudah mati dua hari kadang terbawa ke indra penciumanku.

Netra tak mampu kututup, meski rasa kantuk menyelimuti. Kami hanya menghabiskan malam yang begitu terasa panjang dengan tontonan komedi.

Meskipun mata batin ini sering terbuka, tetap diri tak mampu menghilangkan rasa takut sehabis melihatnya.

Pada akhirnya kami bisa berada di alam mimpi setelah fajar mencumbu bumi. Tidak terasa sabtu malam kembali menyapa, aku pun sudah melupakan kejadian itu.

Aku menyiapkan perlengkapan untuk besok, jadwal berlatih futsal. Hari ini kuhabiskan waktu bersama teman-teman, Adam pun tak pernah luput ikut bersamaku, bersenda gurau, merencanakan untuk membuat kejahilan kepada teman yang sedang merayakan hari jadinya.

Panas terik membuat tenggorokan begitu kering, imajinasi melepas dahaga dengan yang segar, tiba-tiba yang ultah membawakan beberapa makanan dan minuman.

Tanpa pikir panjang, aku dan Adam segera mengambil es yang terlihat begitu segar dan langsung membasahi tenggorokan yang kering, lalu aku tersadar.

"Hei bro, ini es viral koprolkan?"

Adam yang sedang asyik menyantap es, langsung menatap ke arahku, kami saling bertatapan penuh misteri.

"Iya, enak, kan? Gue kalau minum es ini ngga cukup satu," ucap Najib teman sekaligus tetangga yang sedang berultah.

"Elu beli di mana ini es?" Tanyaku kepada Najib.

"Di kelurahan lama."

Aku dan Adam langsung memuntahkan esnya, teman-teman yang lain bukan mempertanyakan tetapi malah mengejeknya.

"Haha, kalian berdua, perut udah buncit gitu, masih ngidam ajah!" Celetuk sinis dari salah satu temanku.

Seketika kejadian seminggu yang lalu berputar kembali. Jiwaku terbang melayang mengulang peristiwa ketika sedang mengantri.

Aku melihat di belakang penjual es ada makhluk tinggi besar--raksasa--badannya penuh dengan bulu panjang dan lebat, mata besar, merah, dan mulut penuh dengan gigi taring panjang.

Konon katanya makhluk tersebut sangat usil, suka menimpuk dan suka membuang air seni apabila manusia sedang lewat. Entah yang kulihat itu atas keusilannya atau mungkin, kelarisan es tersebut memang ada campur tangan oleh makhluk jelek itu?

Makhluk yang sering dikenal dengan genderuwo mengeluarkan cairan dari tubuhnya tepat di dalam es viral koprol. Menjijikan!

Ingin langsung kuceritakan kejadian ini kepada teman-temanku, akan tetapi apakah ceritaku bisa dipercaya oleh mereka atau akan hanya membuatku menjadi bahan bully-an mereka?

Biarlah kisah ini kusimpan dan menjadi suatu pembelajaran untukku agar tidak berusaha dengan cara yang tidak baik meskipun hasilnya bisa membuat banyak pembeli. Hal itu tidak akan membawa keuntungan berarti.

Aku tidak menginginkan jajanan yang antrinya melebihi batas kewajaran. Meski sedang viral, karena ternyata hanya berjarak 100 meter ada penjual es yang sama, dan terlihat tidak ada antrian.

Itulah sedikit kisahku, pengalaman hidup yang tidak bisa aku hilangkan dari memori ini meski aku tidak menginginkan mata batin itu terbuka, ini sudah seperti warisan keluarga. Karena konon, dari 9 bersaudara di keluargaku, salah satu anak dan cucunya pasti ada yang bisa melihat makhluk astral tersebut.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ketawa Karir

"Teu Nanaon Ngan Nanaonan?" Mencoba menyelami Celotehan Ustad Evie Effendi

Prinsip-Prinsip Penilaian Aset / Properti