Makmum

Moslem Pray, pixabay.com

Author: Sri Sundari
Untuk September Bercerpen

“Di dekat rumahmu ada pohon kelor, kan?” tanya Fany. Kedua matanya bulat membelalak, mulutnya menyedot-nyedot udara karena kepedasan.
Aul mengangguk, sambil membenahi jilbabnya yang miring. Rumah Aul memang dikelilingi tanaman karena ayahnya suka berkebun.

“Kalau begitu tidak usah khawatir, mereka takut sama daun kelor,” lanjut Fany sambil membuang plastik bekas cilok ke tempat sampah.
Ucapan Fany yang terakhir sedikit membuat Aul lega, tapi dia masih ketakutan sampai akhirnya, kebersamaan mereka pun dipisahkan dentang bel istirahat selesai. Fany masuk ke ruang kelas tiga B sedangkan Aul kembali masuk ke kelas tiga A untuk mengikuti pelajaran selanjutnya.

Menjelang maghrib Aul melihat ke arah jendela kamar, di luar sana daun kelor bergerak-gerak terkena gerimis yang lumayan besar. Angin menyeruak masuk, membuat kamar Aul menjadi dingin. Lantunan puji-pujian terdengar dari pengeras suara di masjid. Waktu untuk kembali sholat terasa begitu cepat sementara PR matematikanya saja belum selesai dikerjakan semua.

Aul membuang nafas berat, tapi dia harus melaksanakan kewajibannya sebagai seorang muslim.  Dalam rehat sejenaknya, tiba-tiba dia terkejut melihat gagang pintu kamarnya bergerak, pintu pun terbuka sedikit. Ayahnya melongokkan kepala.

“Banyak angin, Nak, tutup jendelanya! Ayah berangkat ke masjid, ya. Aul di rumah saja, perempuan tidak apa-apa sholat di rumah.”
Aul mengangguk. Tapi dalam hatinya dia ingin sekali ikut, menjadi makmum di masjid tentu akan lebih menenangkan hatinya. Apalagi ibunya sedang tidak ada di rumah --menengok kakeknya yang sedang sakit di luar kota. Untung saja ada Bi Surti.

“Biii … Bibi! Bi Surtiii …!”Aul memanggil asisten rumah tangga paruh waktu di rumahnya.

“Bi Surti sudah pulang, Aul. Ayah berangkat, yaa!” Ayahnya berteriak dari teras.

Aul tersentak kaget. Dia mengejar ayahnya ke teras, tapi ayahnya sudah bergegas menjauh dengan payung melindunginya; menghilang dibalik pohon pucuk merah yang pendek dan rindang itu.

Aul tidak tahu kalau Bi Surti pulang, berarti kini dia sendirian di rumah.
Dengan mendekapkan kedua tangannya ke dada, Aul melihat ke sekeliling halaman rumahnya yang penuh dengan bermacam tanaman. Hujan membuat suasana lebih temaram, dingin, dan mencekam. Dia menyalakan lampu teras lalu berwudhu di kran depan rumahnya.

Wudhunya terhenti ketika ada suara seperti ranting terinjak dari samping rumah. Aul tidak berani melihatnya, cepat-cepat dia selesaikan wudhu dan bergegas masuk ke dalam rumah.

Gadis  kecil itu mendengarkan suara adzan dari ruang tengah, mukena putih sudah menyelimuti tubuhnya. Gerimis berhenti berbarengan dengan Adzan berhenti, lalu sepi, yang terdengar hanya suara titik-titik sisa air hujan dari talang rumahnya, suara jangkrik, dan detak jam dinding. Tidak berapa lama, terdengar suara burung kecil di samping rumahnya yang ditumbuhi pohon kelor, menciak-ciak memecah kesunyian.

Kata orang, maghrib adalah waktu peralihan, digunakan makhluk halus untuk berkeliaran. Walaupun di samping rumahnya banyak pohon kelor, tapi kan hanya di halaman samping.

Belakang rumahnya ada kali, hanya terhalang benteng dan kebun pisang. Di seberang kali itu ada kuburan lama, katanya kuburan orang cina yang dulu tinggal di sana.

Aul berdo’a semoga saja malam ini tidak ada kunang-kunang, kata Fany kunang-kunang itu kukunya orang yang sudah meninggal. Aul tidak percaya, tapi tetap saja, dia jadi takut kalau melihat kunang-kunang.
Samar-samar dia mendengar suara lemari dibuka. Jauh sekali, entah dimana. Juga gemericik air dari kran. Aul harap itu hanya tetesan sisa air hujan.

Jantung Aul dag dig dug, merasakan sekelilingnya semakin mencekam. Dia lihat ke atas, cicak di langit-langit ruangan menggerak-gerakkan ekornya, kedua matanya seperti sedang menatap dirinya. Aul menunduk, tidak berani melihat cicak itu. Takut penjelmaan! Nyamuk berdenging di dekat kupingnya juga tidak berani dia halau, takut penjelmaan juga. Aul menutup kupingnya, tidak ingin mendengar suara-suara aneh yang mungkin saja suara makhluk halus.

Dia belum berani beranjak dari sofa, tubuhnya kaku, takut untuk melihat kanan kiri. Aul terus saja menunduk, untung saja dia masih ingat sama Allah. Sambil memejamkan mata dibacanya surat al-fatihah dan ayat kursi dengan bergumam. Hari ini dia takut sekali, Aul keringetan padahal di luar hujan. Ayahnya tidak mungkin cepat kembali, maghrib baru mulai.

Angin kencang menebak daun pintu. Kreeeett …  Brukk!
Pintu depan berderit, terbuka sedikit lalu menutup lagi. Aul tersentak, langsung beranjak merapatkan badannya ke dinding.

Tiba-tiba pintu kamar mamanya terbuka pelan-pelan, seseorang keluar dengan kain putih.
 “Aaaaaaaa!!” Aul memekik, cepat berjongkok sambil menutup wajahnya.
“Aul? Ada apa? Sini!”
Aul mendengar suara mamanya. Pelan-pelan dia membuka tangan di wajahnya, ternyata itu memang mamanya, memakai mukena putih.

“Mama? kapan pulang?”
“Mama sudah pulang dari jam empat, langsung istirahat. Kamu lagi belajar tadi, jadi tidak Mama ganggu.”
Aul merengut, lalu menerobos masuk ke kamar mamanya. Pantas saja Bi Surti pulang, pikirnya.
“Aul tidak mau sholat sendirian, Mam.”
“Lho, kenapa? Aul kan sudah bisa bacaan sholat.”
“Aul takut ada makmum.”
“Makmum?”
“Iya, makmum dari alam lain.”

Mamanya Aul menggelengkan kepala, lalu merangkul gadis kecilnya.
Iya, ini semua memang gara-gara Fany yang menceritakan film makmum. Kakak Fany baru menonton film horor dan menceritakannya kepada Fany. Lalu Fany menceritakan kembali kepada Aul. Aul penakut, tapi penasaran juga. Jadi, dia membiarkan Fany bercerita sampai ahirnya Aul terbayang-bayang sendiri.

“Itu hanya film, sayang. Dengan membaca taawudz dan bismillah saja mereka lari. Ayo sholat di kamar Mama saja! Mama juga sengaja keluar untuk mengajak Aul sholat berjamaah.” Aul tersenyum lega.
“Mam, nanti dibelakang juga tanami pohon kelor, ya,” ujar Aul.
“Boleh, pohon kelor itu salah satu tanaman obat juga. Bagaimana kalau kita bikin apotek hidup. Berarti bukan hanya pohon kelor, tanaman obat lainnya juga.”
Aul mengangguk senang, besok dia akan memagari rumahnya dengan pohon kelor.

**

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ketawa Karir

"Teu Nanaon Ngan Nanaonan?" Mencoba menyelami Celotehan Ustad Evie Effendi

Prinsip-Prinsip Penilaian Aset / Properti