Penerbangan Pertama (Cerpen)

Ilustrasi Penerbangan, pixabay.com

Author: Elisabeth Florata Daeng
Untuk September Bercerpen

"Dita, ada lowongan pekerjaan nih, bidangnya sesuai dengan jurusan D3 kamu. Mau coba?" ujarku kepada Dita sahabatku. Kebetulan, dia baru saja sidang dan sedang menunggu wisuda bulan Oktober ini.

"Wah, Manajemen Perkantoran, pas banget. Gak masalah gitu belum ada ijazahnya?"

"Ok, aku hubungi dulu teman yang menginformasikan ini ya?" ujarku.

Tak berapa lama, aku pun menghubungi Dita kembali.

"Dita, gak masalah ijazah belum keluar. Siapkan CV dan essay tentang dirimu aja. Besok wawancara, ya! Aku kasih alamatnya via WA. Besok jangan telat, datang jam 9 pagi, ok?"  Aku pun menutup panggilan dan mengirimkan alamat untuk interview besok. 

Esoknya, tepat jam 12 Dita berkunjung ke kostanku. Sepertinya, dia akan menceritakan pengalaman hasil wawancara tadi. Aku pun membuka pintu dan mempersilakannya masuk.

"Nana, aku diterima, tapi ditempatkan di anak cabang perusahaannya. Tebak, ke mana cobak aku ditempatkan?"

"Wah, selamat ya! Alhamdulillah kalau keterima. Ngomong-ngomong kamu ditempatkan di mana? Ehm, masih Jawa Barat, kan?"

"Bukan, ayo tebak! Luar pulau Jawa pastinya."

"Ehm ... Pulau Kalimantan kah? Kalimantan Timur? Ibukota yang baru?" tebakku mulai penasaran.

"Bukan, Pulau Sumatra. Tepatnya di Batam. Duh, kebayang gak sih, ini adalah penerbangan pertamaku. Deg degan gimana gitu. Pertama kali aku jauh dari orangtua, langsung keluar pulau gini. Aku ambil gak ya?” Dita mulai meminta  saran.

"Udah, ambil aja. Ini pengalaman pertama kamu bisa keluar pulau Jawa. Yakinkan saja orangtuamu, semoga mereka bisa melepas kamu dengan tidak berat hati. Kamu sendiri? Bagaimana perasaan kamu di tempatkan di Batam?"

"Aku sih, seneng aja. Iya benar, ini adalah pengalaman pertamaku. Aku antusias sekali menerima tawaran ini. Semoga orangtuaku pun demikian ya."

Singkat cerita, sepekan kemudian Dita berpamitan padaku.

Wah, tak sabar aku mendengar pengalaman penerbangan pertamanya. Aku pun coba menelponnya setelah ia sampai di Batam.

"Halo Dita, gimana keadaanmu di sana?"

"Wah, alhamdulillah lancar. Cuma panas di sini. Untung tempat tinggalnya ada AC-nya,” candanya sambil tertawa. “Jadi lumayan dinginlah, untuk adaptasi pertamaku mengenal cuaca panas di sini," lanjutnya.

"Di Bandara gimana ceritanya, lancar kan?" aku mulai penasaran.

"Huft, itu dia. Hampir saja aku tertinggal pesawat."

"Gimana ceritanya? Bukannya kamu on time tadi, bahkan masih delay-kan pesawatnya?" kataku.

"Iya, pas boarding pass aku cuma ngasih tiket aja. Ok deh, selesai. Setelah semua penumpang selesai cheking, aku duduk aja. Nah, aku gak ngasih koper aku buat ditimbang, aku bawa aja itu koper di samping aku. Petugasnya melihat, dan bilang, "Kopernya kok belum masuk bagasi? Bukannya sekarang mau take off ya? Pesawatnya sudah datang,” katanya. Sambil malu aku jawab deh, Duh, aku gak tahu pak. Iya pak, timbang aja pak.

Terus dia bilang, "Untung masih ada waktu 15 menit pesawat mempersiapkan penerbangannya, Neng, katanya. Kalau gak, dah ketinggalan pesawat kamu. Ini pengalaman pertama kamu ya?" tanyanya. Aku cuma bisa mengangguk. Aduh Nana, aku dah tegang aja tadi. Untung deh itu petugas ngecek lagi walaupun aku harus bayar bagasi yang lumayan juga sekarang," Dita menutup ceritanya.

"Duh, aku ikutan tegang juga. Syukurlah kalau kamu selamat ya. Semoga kamu betah di sana." ujarku menutup sambungan telepon.

Aku merebahkan diri di kasur kamar sambil membayangkan bagaimana Dita di sana.

Berani juga dia. Anak pertama di keluarga yang belum pernah pisah sampai kuliah, sekalinya keluar, langsung ke luar pulau.

Ternyata, sifat lemah lembutnya tidak selurus keberaniannya. Berani dan bernyali lebih besar. Yah, semoga dia baik-baik saja di sana!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ketawa Karir

"Teu Nanaon Ngan Nanaonan?" Mencoba menyelami Celotehan Ustad Evie Effendi

Prinsip-Prinsip Penilaian Aset / Properti