How Can I Not Love You (Cerbung)
family, candidmama.com |
Part1
Istrimu Bisa Apa?
Dulu, semasa kuliah, seorang teman pernah berseloroh, “Kalo udah rumah tangga mah, beda cara ngeluarin odol aja bisa jadi berantem!”
Maksudnya beda cara di sini adalah mencet odol dari tengah atau dari mana pun yang penting keluar, or memijitnya dari bawah sebagai usaha dari penggunaan yang hemat dan sesuai kaidah baku yang disepakati para penganutnya --termasuk aku (tutup muka).
Waktu itu aku sama sekali tak ambil pusing omongan temen tadi. Lah, ngapain? Orang kawin juga belum! Kerajinan amat mikir gituan! Sebenarnya yang jadi alasan pokoknya bukan itu, sih! Nggak percaya dan lebay aja kesannya. Meski itu hanya perumpamaan, kayaknya berlebihan amat kalo berantem cuma karena masalah mencet odol. Apa nggak ada yang elit-an, gitu?
Tapi iya, ada loh yang pasangan or istrinya marah hanya karena lupa ditelepon pas jam makan siang atau cemburu sama artis sinetron india yang sampe lebaran monyet pun nggak bakal pernah mereka DM-an.
Lucu! Mmh, semoga saja itu tandanya sayang. Cuma, repot banget ya urusannya, kalo hal-hal yang nggak masuk akal atau masih sangat bisa ditolerir saja malah dijadiin bahan baku prahara dalam rumah tangga. Sorry, buat aku sih hal-hal seperti itu sungguh nggak level! Sekarang mah! Hehe.
Hanya saja, tetep! Berangkat dari kultur, kebiasaan, dan pribadi yang berbeda, kadang ada saja hal yang kita tak bisa pahami bahkan nggak habis pikir dari sikap istri kita. Contoh saja kejadian yang kualami beberapa waktu lalu.
Ceritanya, hari selasa adalah sportday bagiku karena di hari itu ada jadwal badminton dengan teman-teman kantor selepas kerja. Berangkat kerja, saya pun sudah berkemas dengan segala peralatan berupa raket badminton, sepatu (masih badminton), kaos bola, celana basket, termasuk handuk kecil berlogo manchester united yang usianya sudah belasan tahun. Asa nggak penting?
Hari itu pun saya lalui dengan semangat dan suka cita. Sampai akhirnya, di indah penantian jam pulang yang menyenangkan semua itu sirna. WA istriku pasalnya!
- Yang, pulang aja. Mati listrik.
Halooo .... Mati listrik ya nyalain lilin, cempor, or obor, kali!? Apa hubungannya sama nggak boleh badminton? Batin ini tak terima dan aku cuekin saja WA-nya. Tak begitu lama, dia kembali mengirim pesan.
- Eh, nyala ternyata.
- 😊
Aku hanya membalasnya dengan senyuman. Yes! Agenda badmintonnya aman.
Tapi, tak berselang lama pula Ibu Negara kembali berkirim pesan.
- Yang, air galon abis. Pulang aja.
Ya Allah ... kok ada saja aral melintang untuk sedikit bersenang? Sejenak aku terdiam kesal. Tak rela menyerah begitu saja, segera kucari solusi tanpa mengonfirmasi istri.
Aku mencoba hubungi Si Arif, tukang antar galon di komplek, berharap dia bisa mengantar sekaligus memasangkan tuh galon ke dispenser. Nggak aktif! Beberapa kali dicoba hanya menambah kesal dan panik saja. Aggrrrh!
Tak patah arang, kucoba hubungi majikannya langsung --Pa Suryo yang tanggal lahirnya sama persis denganku tapi terpisah sekitar satu setengah dasawarsa. Terhubung! Sayangnya, sampai nada tunggu lanjut ke kotak suara, kontraktor yang doyan curhat itu tak juga menjawab panggilan.
Makin panik, akhirnya kucari nomor istrinya Pa Suryo. Susah payah dapet juga aku nomor Bu Suryo dari salah satu member ibu-ibu gaul di lingkungan RT, hasilnya ... zonk! Lebih parah, notifikasinya malah minta periksa kembali nomor tujuan.
Suram! Hasil akhir sepertinya akan mengarah ke pulang. Dan memang iya, aku nggak jadi badminton hari itu.
***
Hore!!! Tampak rona senang merayakan kemenangan itu menyeruak di seisi rumah saat Si Gua yang dongkol masuk dengan menggendong galon di bagian depan. Tanpa ba-bi-bu, galon kupasang dan langsung ke kamar untuk sejenak merebah setelahnya. Saat itu kuazamkan untuk irit bersuara dan bersiap memasang muka datar. Masih kesel!
Pikir ini terus saja muter menelisik apa yang salah dengan kondisi yang pelik ini. Pelik? Ini siapa yang bikin situasi ribet, ya? Jangan-jangan malah aku sendiri, bukannya istri? Haha...
Nggak, gini maksudnya. Bener, urusan ngangkat sama masang galon itu nggak mungkin kubebankan ke perempuan yang jadi ibu dari anak-anakku; setangguh apa pun dia. Tapi, pling dos! Ini milenial gitu, loh! Hp, wa, internet, sampe bimbel online juga udah available ni hari. Masa perlu air minum aja harus call hubby? Baca: ganggu agenda olahraga gua!
Kekesalanku tak kunjung mereda. Makan, ke air, atau sekedar bikin kopi, kulalui dengan mode senyap. Istriku paham dan dia pun tak banyak komentar.
Bingung dan bete sendiri, ya sudah, daripada nggak dapet apa-apa, berbekal kekesalan, malam itu kulahap semua pekerjaan rumah. Cuci baju, cuci piring, nyapu, dan ngepel, menjadi pelampiasanku buat cari keringat--itung-itung ganti badminton yang gagal tayang. Beres semua, barulah kurasakan bahwa bekerja berbekal kesal itu jauh lebih cape! Mana nggak ada reward dari istri lagi. Mau nagih, malu. Kan, lagi mode senyap. Tengsin, dong!
Akhirnya, semua yang dilalui dalam sepi dan berakhir tanpa apresiasi pun berlanjut dengan kontemplasi yang tak menyentuh hati. Tragis!
Keesokan harinya suasana masih terasa kurang nyaman. Ingin sekali kutumpahi istriku dengan beragam petuah buah kesal yang nyatanya malah merembet ke mana-mana; bukan hanya soal gagal badminton karena istriku minta gantiin galon kosong. Kontemplasi semalam malah membisikiku soal istriku yang hampir nggak pernah mau kemana-mana sendiri, gelisah kalo ditinggal lama, dan seolah nggak bisa jalan tanpa instruksi. "Istrimu bisa apa?" Seolah ada yang meneriakan itu di telingaku tadi malam.
Sayang, mode senyap tak bisa sepenuhnya on. Sebete apapun, bapak mana yang tega nyuekin anak balitanya senyam-senyum minta digendong. Tentu saja, aku harus membalas senyum mungil itu plus sedikit meracau mengimbangi ocehannya yang belum jelas. Karena mereka peka, loh! Mereka bisa membaca suasana hati melalui mimik orang-orang di sekitarnya.
Makin menggoyahkan posisi bertahanku, mau tak mau, kontak dengan Si Kecil bersinggungan dengan Sang Pawang yang tak bukan adalah istriku.
Luluh. Kekesalan itu sedikit demi sedikit memudar dan hatiku mulai menerima sentuhan akal yang perlahan sehat. Bukankah memang seorang perempuan harus selalu didampingi mahramnya? Tidakkah wajar istri merindukan suaminya saat ditinggal --terlebih suaminya spesial kayak aku? Eh. Lantas, memang fitrahnya perempuan untuk diinstruksi, kan? Bukannya lebih nyebelin jika malah suami yang diinstruksi istri? Wah ... bisikan sesat nih yang hinggap tadi malam!
Tapi kan, tapi kan, masa sih buat hal-hal yang remeh temeh aja minta diperintah? Hatiku masih belum sepenuhnya sadar. Pikir, deh? Masa butuh air minum saja harus nunggu suami pulang? Sangka buruk kembali mengotaminasi nalar.
Ya sudah, anggap saja aku tak harus sekesal hari kemarin. Cuma sementara, sedikit menampakan rasa tak nyaman sepertinya harus tetap dijalankan. Bahkan, pembicaraan tentang segala keberatanku atas sikap istri, harus segera dibicarakan demi kondisi semesta yang lebih baik itu dapat segera tercipta. Aamiin ....
Bersambung ...
Papi Badar
07092019
Komentar
Posting Komentar