Filsafat Waktu, Tiga Puncak Keutamaan Hidup

Clock, pixabay.com

Sebagaimana sempat saya singgung di tulisan sebelumnya, sepertinya menarik jika saya mengulas kajian-kajian Dr. Fahruddin Faiz dalam bentuk tulisan-tulisan kecil. Sedikit jeda dari pencetusan ide tersebut--tulisan sebelumnya diposting 18 Desember lalu--bismillah, di sini saya coba merealisasikan niat tersebut melalui tulisan tentang filsafat waktu.

Bagi saya pribadi, tema tentang waktu sangat menampar wajah sendiri yang biasa menjalani hidup dengan sekenanya saja; tidak ambisius, tanpa memaksakan diri, atau bahayanya: gaya hidup yang saya pakai selama ini mungkin hanya alibi dari terlalu seringnya diri ini dipecundangi malas.  Semoga saja kawan-kawan memiliki kesan lain terhadap makhluk yang bernama waktu ini. Baiklah, kita mulai saja uraiannya.

Sebagaimana kita tahu, waktu adalah harta paling berharga yang tak pernah bisa ditukar dengan apapun yang mungkin kita miliki di dunia ini. Hanya dengan waktu kita punya kesempatan, paling tidak, untuk menggoreskan nama di dunia ini. Lebihnya, menggoreskan karya yang dapat dikenal oleh umat manusia.

Namun tentu, semua hanya mungkin dilaku jika kita mampu memanfaatkan waktu. Sekira waktu hanya dibiarkan berlalu; tak ada yang akan tersisa, tak ada manfaat yang kita dapat dari anugerah tak terkira berupa waktu. Karenanya, Imam Syafei menuturkan, "Al waqt kasyaif inlam taqthauhu qata'aka," Waktu adalah pedang. Jika kamu tidak memotongnya, atau menggunakannya untuk memotong, dia yang akan memotongmu.

Sebuah ungkapan yang tegas dari ulama pendiri madzhab syafei tersebut. Dengan waktu, kita berkesempatan untuk memberikan warna lain di kanvas luas kehidupan tapi bisa juga, meski dikaruniai waktu, kita hanya mampu memberi kabar di dua tanggal pada hidup kita. Tanggal dilahirkan dan tanggal dikuburkan.

Kemudian Iman Syafei melanjutkan, "Wanafsuka inlam tushilha bil haqi saholutka bil bathil." Dan nafsumu / jiwamu jika jiwamu tak disibukan dengan kebenaran, maka dia akan sibuk dengan kebathilan.

Saya rasa, tak dibutuhkan penjelasan panjang lebar mengenai makna penting waktu bagi eksistensi manusia. Kita semua tentu paham tentang adanya hubungan keterikatan antara waktu dan pemanfaatannya demi melahirkan orang-orang besar, peristiwa sejarah, atau budaya tingkat tinggi yang merupakan buah dari cipta, karya, dan rasa manusia. Sebaliknya, waktu hanya akan menelan kita tanpa makna jika dia hanya dibiarkan berlalu begitu saja. Atau bahkan, jika kita gabung ungkapan imam syafei tadi, pilihannya malah lebih tegas. Perhatikan waktumu, karena jika bukan untuk kebenaran, dia hanya akan membuahkan kebhatilan. Innalillahi....

Cukup jelas, itulah ungkapan Imam Syafei mengenai waktu yang dikutip oleh Ibnu Qayyim Al Jauziyyah dalam Al Jawabul Qafi. Lebih jauh lagi tentang waktu, di kesempatan ini kita juga akan memaparkan istilah-istilah waktu dalam perspektif islam; atau tepatnya, mencoba menjelaskan istilah-istilah waktu yang tercantum dalam al qur'an.

Dalam al qur'an terdapat empat istilah untuk waktu:

1. Ajal

"Dan setiap umat mempunyai ajal. Apabila ajalnya tiba, mereka tidak dapat meminta penundaan atau percepatan sesaat pun." (QS. Al A'raf, 34)

Ajal adalah batas akhir. Istilah waktu ini mengingatkan bahwa segala sesuatu ada batas akhirnya. Karenanya, janganlah terlalu terikat dengan sesuatu karena sesuatu tersebut ada batas akhirnya.

Misalnya ketika kita sedih, janganlah terlalu gundah. Ingatlah bahwa kesedihan ada batas akhirnya. Pun saat kita senang, janganlah kita sampai lupa diri. Ingatlah, senang kita akan ada batas akhirnya juga.

2. Dahr

Selanjutnya, untuk waktu dalam al qur'an terdapat istilah dahr. Yang dimaksud dengan dahr ialah durasi atau rentang. Sebagaimana kita paham, durasi itu menunjuk ke dua titik pembatas. Yaitu, awal dan akhir.

Jadi, istilah dahr mengingatkan kita bahwa segala sesuatu itu ada awal dan ada akhirnya. Akhir sesuatu menjadi awal dari yang lainnya.

3. Waqt

Adapun untuk istilah ke tiga yang menunjuk pada waktu atau masa dalam al qur'an tak lain adalah waqt atau waktu itu sendiri.

Istilah al waqt ini lebih berbicara pada peluang atau kesempatan.

“Sungguh, shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” (QS. An-Nisa: 103).

Ayat 103 dari surat An Nisa di atas memberikan penjelasan bahwa waktu adalah kesempatan. Dalam ayat ini merujuk pada kesempatan untuk melaksanakan shalat pada waktu-waktu yang telah ditentukan. Misalnya, kesempatan untuk menunaikan shalat subuh itu dari munculnya fajar shadiq sampai terbitnya matahari. Lewat itu, maka kita tak lagi memiliki kesempatan atau peluang untuk mengerjakan sholat subuh. Pesan pentingnya, cermatlah dalam menggunakan peluang atau kesempatan.

4. Alsr

Sedangkan yang terakhir, istilah waktu dalam al qur'an adalah "alsr". Istilah alsr ini merujuk kepada anjuran untuk mengisinya dengan kebaikan karena alsr sendiri adalah waktu menjelang tutup.

Sebagaimana waktu shalat alsr, maka segeralah berbuat baik karena sebentar lagi akan tiba malam dan kamu akan kehabisan waktu siangmu.

”Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal sholih dan saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran” (QS. Al ‘Ashr).

Lebih dalam lagi mengenai alsr, men-tadabburi surat al alsr ini, maka secara luar biasa kita akan mendapati tiga puncak dari keutamaan hidup. Apa saja? Mari kita tilik kembali.

Manusia ada dalam kerugian kecuali dia memiliki tiga karakter ini:

Pertama, keimanan. Artinya apa? Sadarilah bahwa kita makhluk terbatas, tak berdaya, tak wajib ada, dan banyak kelemahan. Karenanya, jika kita tidak beriman dan hanya mengandalkan diri kita sendiri, maka kita akan rugi.

Kedua, berbuatlah kebaikan sekecil apapun, sesedikit apapun. Jika tidak, kita pun akan merugi. Hal ini relevan dengan penjelasan di awal tadi tentang waktu menurut Imam Syafei. Jika waktu tidak diisi kebenaran maka kebatilanlah yang justru akan muncul.

Ketiga, saling menasehatilah dalam kebenaran dan kesabaran. Setelah beriman dan beramal sholeh, dimensi hidup yang tak boleh kita lepas adalah tanggung jawab terhadap sesama. Kita tak bisa memonopoli kebaikan hanya untuk diri kita sendiri. Karenanya, berusahalah menjadi baik secara berjama'ah sebab baik dan buruknya lingkungan sekitar akan berbalik pada kita sendiri sebagai bagian tak terpisahkan dalam sebuah komunitas sosial tersebut. Wallahualam.

Baiklah, seperti itu kajian filsafat waktu yang saya sarikan kembali dari ceramah Dr. Fahruddin Faiz. Semoga kawan-kawan dapat mengambil manfaat!

Bandung, 26122020

#filsafat #ngajifilsafat #fahruddinfaiz #filsafatwaktu #istilahwaktudalamquran

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ketawa Karir

"Hirup Tong Kagok Ngan Tong Ngagokan!" Masih Mencoba Menyelami Colotehan Ustad Evie Effendi

3 Metode Pendekatan Penilaian Properti Beserta Kekurangan dan Kelebihannya