Aku Bertanya Maka Aku Ada

"Aku Bertanya Maka Aku Ada", dok. pribadi

Pada sebuah acara kemahasiswaan yang dihelat di lingkungan gedung Pusat Kegiatan Mahasiswa, PKM, UPI sekitar 16 tahun lalu, qadarullah saya mendapati buku yang seperti terlihat di foto ini. Unik, itu yang terlintas di benak saya saat memutuskan untuk membeli buku tersebut. Aku Bertanya Maka Aku Ada. Sekilas, minilik judul yang tertulis di cover, sepertinya buku ini bakal mengajak kita untuk berpikir lebih. Mmmh... cocoklah buat obat tidur. Ok, ambil!

Ya, seperti itu saja alasan saya membelinya. Karena apa istimewanya? Saat itu saya tidak mengantongi alasan-alasan lain untuk bisa menyebut buku ini luar biasa. Tipis, ditulis oleh orang yang tak sekalipun namanya saya dengar sebelumnya, plus saya pun tak yakin paham buku tersebut isinya tentang apa.

Meski dari judul tadi sangat berbau filsafat, kala itu saya tak pernah berpikir bahwa buku tersebut merupakan pengantar untuk kita mengenal dunia filsafat; Karena dalam frame yang saya miliki, filsafat itu melibatkan pemikiran yang mendalam dan memusingkan--bukan sekadar mengajak buat berpikir lebih. Sedang tebakan dasar saya terhadap buku setipis 182 halaman ini sendiri, ya... paling berisi beragam pertanyaan agar kita bisa hidup dengan lebih baik atau teratur. Nah, ini yang mungkin menyebab buku ini saya sebut unik tadi. Mengekploitasi sebuah permasalahan dengan cara mempertanyakannya. Menarik!

Mulai dibaca, perlahan tersingkap juga, buku ini memang mengajak kita untuk mempertanyakan ulang segala hal yang kadung kita anggap sebagai kebiasaan atau rutinitas. Imbasnya, kita tak pernah mengetahui alasan apa di balik segala hal yang rutin kita jalani dalam hidup dan keseharian. Jam 5 bangun, jam 7 berangkat, jam 13 makan, dan seterusnya sampai kita kembali tertidur, apa hanya seperti itu? Apa itu bahaya? Secara ektrim dan dalam keadaan normal, mungkin hal tersebut biasa-biasa saja. Namun, jika kita bicara soal hakikat di dalamnya, kita tak mendapatkan apa-apa dari hidup yang hanya bergulir secara mekanis tadi.

Selain itu, hal tak kalah penting dan perlu kita kaji ulang adalah tanpa sadar kita pun sudah terbiasa menerima paradigma yang belum teruji kebenarannya. Biar sukses harus memilih sekolah A, biar nggak sakit jangan sampai kena hujan, biar keren harus pernah main ke mall B, biar cakep harus dipermak di salon C, dan seabreg asumsi lain yang sayangnya sudah menjadi konsensus yang tak sempat (dianggap tak perlu) kita pikir kembali kebenarannya.

Pendek kata, melalui buku ini kita dituntut paham atas segala keputusan yang kita buat, dan kita diminta mampu memaknai segala sikap dan langkah yang telah dan hendak kita laku--sebagaimana Socrates yang senantiasa berkeliling Kota Athena untuk bertanya terhadap orang-orang yang dia temui perihal apapun, bahkan untuk hal yang umumnya orang-orang menganggap sepele. Nah, itulah kenapa pada akhirnya, saya merasa buku ini telah menjadi salah satu buku yang begitu mempengaruhi saya dalam bersikap. Saya pun mulai senang untuk menguji ulang atau mempertanyakan terlebih dahulu atas segala hal yang saya lalui dan hadapi.

"Aku bertanya maka aku ada," sampai seperti itu Socrates memaknai eksistensi manusia. Bahkan lebih khusus lagi, beliau mengungkapkan, "The unexamined life is not worth living." Hidup yang tak diuji adalah hidup yang tidak berharga. Kini dengan yakin saya bisa katakan, sepakat dengan pendapat-pendapatnya Socrates. Bukankah kualitas iman seseorang saja harus diverifikasi dengan diuji?

"Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan mengatakan: Kami telah beriman, sedang mereka belum diuji?" (QS Al-Ankabut:2-3).

Kita tak perlu menjadi seorang filsuf yang njimet (jika kita terlanjur beranggapan demikian). Namun, dengan berpikir mendalam sampai kita bisa mencapai tingkat pemahaman secara optimal, kita akan bisa menemukan sebuah kepuasan tak terkira.

Jadi, sudahkah ada keberanian untuk kembali menguji hidup Anda?

***

Maaf, harusnya tulisan ini belum selesai. Duh, nyelipin di mana, ya? Saya lanjutin di sini sajalah. Anggap saja bonus.

Tulisan ini sebenarnya saya dedikasikan kepada Dr. Fahruddin Faiz, dosen UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, sebagai penulis buku yang saya ulas ini. Setulusnya saya ucapkan terima kasih karena karyanya sedikit banyak telah mampu membentuk pola pikir saya sekarang ini.

Menariknya, sungguh sebelumnya saya buta tentang beliau. Di tahun-tahun sebelumnya, hampir tak ada informasi yang bisa saya dapat tentang beliau dari dunia maya. Tapi alhamdulillah, mulai beberapa bulan ke belakang, saya banyak disuguhi ceramah-ceramah Bapak Fahruddin Faiz yang tersebar melalui you tube. Sepertinya, beliau kini telah beranjak viral. Masyaallah!

Ke depan kita bahas tentang ceramah-ceramah filsafat beliau, ya. Mmmh... mungkin nggk, ya? Saya tanya-tanya dulu, deh!

#filsafat #ngajifilsafat #fahruddinfaiz #akubertanyamakaakuada #socrates

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ketawa Karir

"Hirup Tong Kagok Ngan Tong Ngagokan!" Masih Mencoba Menyelami Colotehan Ustad Evie Effendi

3 Metode Pendekatan Penilaian Properti Beserta Kekurangan dan Kelebihannya