Terawan - Nadiem, Dua Menteri Viral yang Membingungkan
dr. Terawan dan Nadiem (foto: Tribun Kaltim) |
Tak ada keputusan yang memuaskan semua pihak. Layaknya kisah Luqmanul Hakim dengan keledainya, pendapat negatif terhadap sebuah permasalahan selalu muncul sejurus seseorang menilai dari sudut pandang mana dia melihat.
Beberapa waktu lalu, setelah Bapak Presiden mengumumkan menteri-menterinya dalam kabinet indonesia maju, ada satu lintasan tanya yang muncul di benak saya saat mendapati dua nama muncul, dr. Terawan dan Nadiem Makarim, masuk dalam deretan 34 menteri dalam kabinet tersebut. "Apa bukan karena sempat viral saja dua orang ini terpilih?"
Terawan yang jagoan
Pada perjalanannya, kebijakan tersebut menemui ujian yang seolah meng-amin-kan, tanya saya tadi. Di awal pandemi covid-19 muncul di tanah air, Terawan sebagai Menteri Kesehatan dengan gaya jagoan, menganggap remeh dengan menyatakan virus corona atau covid-19 tak lebih berbahaya dengan flu biasa. Ternyata... dari perkembangan yang selalu di update media, virus ini terus menggerus korban. Lebih parah, korban jatuh bukan hanya disebab terpapar virus, tapi juga terpapar oleh efek penyebarannya.
Selanjutnya, apa gebrakan Terawan dalam mengatasinya? Dari apa yang kita cermati, sampai sekarang tak ada gebrakan yang mengesankan dari mantan kepala RSPAD Gatot Subroto ini. Saling tumpang tindih kebijakan antara pusat dan daerah, perbedaan data yang dilansir pihak-pihak yang terlibat dalam penanganan pandemi, keterlambatan distribusi alkes penunjang yang akhirnya mengundang para donatur non pemerintah turun tangan.
Uniknya, di sisi lain dalam rapat kabinet juni lalu, justru Jokowi geram karena anggaran kesehatan baru terserap 1,53%. Lambatnya penyerapan dana tersebut disebut Terawan saat rapat bersama Banggar DPR (15/07/2020) tak lain karena korban akibat corona masih sedikit. Wow! Jelas, hal tersebut aneh buat kita yang awan. Masa iya, harus menunggu korban baru anggaran terserap? Bukankah justru harus ada upaya preventif--yang tentu saja membutuhkan dana--agar pandemi segera teratasi dan korban tidak bertambah?
Jadi curiga, jangan-jangan Pak Terawan justru satu aliran sama Jrx atau Anji?
Nadiem Makarim... (what should I say? 😑)
Bukan hanya sektor kesehatan, covid-19 juga memorak-porandakan sektor pendidikan di indonesia. Sudah lebih dari empat bulan, sekolah-sekolah berhenti dari kegiatan belajar mengajar di kelas. Solusinya terdengar mudah. Ganti dengan PJJ via daring. Tapi faktanya, di rumah, orang tua kelabakan harus menjadi guru dadakan. Di sekolah, tidak semua guru juga siap menggunakan media online. Apa kabar anak didik? Hanya mereka yang siap dengan fasilitas dan komit dengan belajar yang masih bisa mengikuti PJJ dengan baik.
Dari kenyataan di atas, jelas, pelaksana dan peserta jasa pendidikan butuh solusi yang mencerahkan. Solusi yang dapat menjembatani kebutuhan semua pihak akan berjalannya proses teknis pendidikan agar mampu terpenuhi meski kita semua ada di masa pandemi.
Sayangnya, tak sekinclong karirnya sebagai CEO Gojek, untuk solusi permasalahan di atas, Mas Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tak juga memiliki kebijakan brilian. PJJ yang terbukti belum berjalan maksimal, malah diopinikan akan diadaptasi menjadi metode yang ke depannya akan terus digunakan dalam proses pembelajaran siswa.
Ironinya, komitmen terhadap pengoptimalan proses PJJ yang tertatih-tatih sendiri, tak menjadi konsen dari Mas Menteri yang tak pernah terjun di dunia pendidikan sebelumnya ini.
Alih-alih mencari solusi untuk mereka (pendidik dan anak didik) yang terkendala jaringan internet, tak memiliki gadget, atau yang tak mampu menyediakan kuota internet untuk gadgetnya, baru-baru ini Sang Menteri justru gencar mengurusi soal POP; program organisasi penggerak yang memiliki total anggaran sampai 595 Milyar rupiah. Hal ini luar biasa tak elok, loh! Dana sebesar itu hanya dianggarkan untuk biaya pelatihan guru di saat para siswa dan guru butuh bantuan untuk bisa mengikuti proses PJJ dengan baik.
Untung saja, program POP sendiri kini ditunda setelah tiga organisasi besar (NU, Muhammadiyah, dan PGRI) menentangnya. Mereka merasa program ini kurang pas dan proses seleksi pesertanya tidak transfaran. NU dan Muhammadiyah yang sudah lebih dari satu abad berperan dalam pengembangan pendidikan indonesia, ternyata kalah pamor dengan Sampoerna Foundation dan Tanoto Foundation yang muncul belakangan dan hanya berupa CSR (company social responsibility) dari sebuah perusahaan swasta.
Miris menurut saya, karena di satu sisi masyarakat perlu bantuan pengoptimalan proses pembelajaran siswa baik dalam daring, tapi pemerintah malah mendahulukan urusan bagi-bagi uang yang manfaatnya tak akan begitu ternikmati di masa pandemi.
Dari dua pemaparan di atas, bagi saya pribadi, sepak terjang kedua menteri tadi sungguh berjalan bukan di jalur sewajarnya. Terlalu sulit diterima.
Ok, kadang kita butuh pemikiran yang out of the box, kita juga butuh inovasi. Tapi Mbok ya... jika sudah beramai orang menilai salah, dimohon kesadarannya saja untuk segera hengkang dengan legowo.
#terawan #nadiemmakarin #menterikesehatan #mendikbud #reshuffle #pop #opini
Komentar
Posting Komentar