Kopi, Covid, dan Lokalisasi

Ngopi. (dok. Pribadi)

Setelah libur Idul Adha yang memepet ke akhir pekan, di bulan agustus beruntun juga tanggal-tanggal merah yang hadir menyertai libur reguler; sabtu dan minggu. Tentu saja, bagi sebagian orang hal tersebut menjadi momen yang sayang jika tidak dimanfaatkan untuk sejenak lepas dari rutinitas keseharian yang menjenuhkan. Riuh tagline pandemi pun perlahan mulai tak terlalu dipusingkan.

Semua seolah sejalan. Hasrat masyarakat yang sekian lama tertahan, diamini oleh semakin melempemnya himbauan "di rumah saja" yang kini tergeser oleh slogan "terapkan prorokol kesehatan" sebagai warning dari penyebaran corona yang masih juga belum selesai. Kini, tak ada lagi satgas yang keliling wilayah untuk membubarkan kerumunan, penutupan jalan, atau cek point di setiap perbatasan wilayah.

Disengaja atau tidak, pelonggaran aturan terkait pencegahan wabah pada waktunya ternyata terjadi juga tanpa perlu menunggu kurva melandai, tanpa harus dikomandoi pemerintah yang tempo hari saja malah menuai polemik di masyarakat. Akhirnya, lockdown, PSBB, lanjut new normal, menjadi fase yang tak selaras dengan data corona yang disajikan (terus bertambah), tapi cocok-cocok saja dengan suasana yang ada di lapangan. Ajaib!

Imbasnya, paling tidak, dalam dua pekan terakhir ini info macet menuju destinasi-destinasi wisata, seperti lembang dan puncak, selalu mewarnai lembar berita yang kita buka di media baca, pun yang disimak di layar kaca. Banyak orang yang mungkin telah merasa penat dengan aturan yang ketat. Saya sendiri? Ya.... Untuk sejenak mengecap kopi di kedai tetangga, atau sekadar jalan-jalan ke belakang rumah guna menunai pinta anak-anak yang sudah sangat rindu udara bebas tanpa aroma rumah, saya mah fine-fine, saja!

Di sisi lain, Orang-orang yang di awal merebaknya info covid 19 begitu aware dengan segala upaya preventif untuk menghindar, sekarang malah mulai skeptis dengan info-info soal pandemi. Meski masih akrab dengan masker dan hand sanitizer, kini mereka tampak tak lagi seekstrim dulu dalam menghadapi virus corona. Kenapa bisa?

Meski dari laporan data korban covid 19 di lingkup nasional yang dikeluarkan BNPB masih terus bertambah--kini mencapai angka 147 ribuan orang--nyatanya, kebanyakan kita tak pernah bersinggungan dengan bukti kasat mata dari korban pandemi tersebut. Hal itulah yang menjadi sangat berpengaruh pada pengambilan sikap kita terhadap eksistensi virus itu sendiri, menurut saya.

Salah satu contohnya, sekira dua pekan lalu, rekan kerja saya mendapatkan kabar bahwa ada satu keluarga di kompleknya yang terjangkit corona. Berita pun berkembang dan menyebutkan, telah didapati beberapa orang di kompleknya itu yang terkonfirmasi positif covid 19.

Rekan saya pun syok dan panik mendapati berita tersebut--terlebih, belakangan ada isu warga komplek harus diisolasi dan menjalani rapid tes--sampai akhirnya yang bersangkutan kini mulai bersikap biasa karena tidak jelasnya identitas korban corona tersebut. Rekan saya dan tetangga sekitar rumahnya tak pernah tahu siapa, blok apa, bahkan berapa jumlah pasti dari korban yang benar-benar terkonfirmasi positif covid 19. Aneh, ya?

Tak terpikir bagi saya untuk menyebut covid 19 ini konspirasi. Masih banyak bahan obrolan lain yang lebih sehat buat teman kita minum kopi. Banyak korban yang well-know person. Masa nyawa mereka mau dijadikan taruhan? Hanya saja, ketidakpastian informasi seputar pandemi, khususnya data penyitas, yang beredar di masyarakat memang cukup membuat bingung. Jika saja data dibuka secara umum, bukankah kita bisa lebih mudah menganalisa situasi untuk kemudian mengambil sikap yang lebih pasti.

Data otentik akan memudahkan kita memilah cara dan perlakuan apa yang lebih tepat sesuai kondisi dan tempat. Tak asyik juga kan, jika hanya untuk beraktivitas di seputaran rumah kita harus mengenakan apd lengkap atau merenggang shaf sholat sampai dua meter meski mesjid isinya orang lokal semua.

Jika sudah pasti siapa dan di mana orang yang, tidak beruntungnya, kena corona; sederhananya, kan tinggal di lokalisasi saja! Nah, siapa yang jauh-jauh ke sini cuma karena baca kata lokalisasi? Haha....

Ya, lokalisasi saja. Seperti halnya tempat prostitusi. Sebagai orang yang berusaha beragama dengan baik. Apapun bentuknya, prostitusi tentu dilarang. Saya sepakat. Namun, di kala praktek kotor tersebut tak pernah surut peminat, penghilangan lokalisasi akan berimbas pada semakin radikalnya penyebaran penyakit masyarakat tersebut.

Keberadaan lokalisasi akan memudahkan kita mengawasi, mengedukasi, untuk kemudian mencoba mengobati agar penyakit tersebut pada akhirnya hilang atau paling tidak angkanya berkurang.

Kembali ke soal corona, terinfeksi covid 19 bukanlah aib apalagi dosa (walau tetap kita mesti berdo'a untuk dijauhkan). Meski tempo hari di beberapa tempat ada penolakan pemakaman korban, di tempat lain, masyarakat justru tanggap untuk meringankan beban tetangga mereka yang terkena wabah.

Jadi, kenapa tidak, di saat kita sudah dituntut untuk beraktivitas kembali dengan gaya new normal, data penyebaran covid 19 baiknya dibuka saja secara gamblang. Ya... biar kita bisa ngopi dengan santai dan jalan-jalan dengan tenang. Hehe....

Papi Badar, 22082020
#covid19 #corona #kopi #penyebarancorona #jalanjalanaman

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ketawa Karir

"Hirup Tong Kagok Ngan Tong Ngagokan!" Masih Mencoba Menyelami Colotehan Ustad Evie Effendi

3 Metode Pendekatan Penilaian Properti Beserta Kekurangan dan Kelebihannya