Naluri Seorang Ibu
Gambar: pixabay.com |
Lebih dari sekadar tidak menyakiti. Fitrah seorang ibu adalah mencintai, menyayangi, mengasihani, dan rela berkorban atau selalu mengutamakan kebutuhan anak-anaknya. Buat yang terakhir, kemarin saya saksikan sendiri buktinya.
Di hari yang tengah ada pada puncak teriknya, melalui sudut mata, kutangkap sosok Wati tengah berjalan sedikit tergesa dengan makanan yang dibawanya. Apa yang dia pikirkan? saya tak paham. Dia tak menuliskannya di status wa atau fb. Bahkan, saat kutanya, "Dari mana, Mak?" Dia melengos. Sial, sombong sekali dia!
Tapi, tak bisa dihindar, aku penasaran. Mataku membuntuti langkahnya melalui jalan yang memang searah pandanganku yang terduduk di pangkal pertigaan. Langkah tergesa Wati terhenti di depan rumahnya. Dua bocah kecil keluar menyerbunya.
Masih juga di depan pintu, tanpa menunggu masuk, Wati membiarkan dua jagoannya itu berebut makanan yang dia bawa. Sejenak Wati menoleh ke arahku. Mungkin dia sungkan atau merasa tak enak hati dengan sikapnya tadi. Matanya seolah mencoba menjelaskan bahwa hadirnya sudah ditunggu. Tak ada waktu dia untuk beramah tamah saat kedua anaknya lapar di rumah. Ok, aku biasa saja. Kusungging sedikit senyum tanda memaklumi.
Sejurus mataku yang diam-diam tak ingin melewatkan tingkah mereka bertiga, aku menemukan sebuah pemandangan menarik. Di tengah semangatnya kedua bocah menikmati apa yang dibawanya, Wati sendiri malah tak ambil bagian pada acara santap siang tersebut. Padahal kutahu, dia sendiri tak kurang lapar dari anak-anaknya. Kaki-kaki yang menopang badan Wati tak mampu membuatnya tegak sempurna. Tubuhnya tetap saja sedikit membungkuk mengimbangi keroncongan yang sedang melanda perutnya.
Tapi tetap, dia hanya berdiri dengan mata berbinar untuk kemudian perlahan duduk di samping kedua anaknya. Aku tak melihat ada ingin Wati mengganggu kedua anaknya penuhi hajat. Asal mereka kenyang, sudah membuatnya begitu senang. Lapar yang dirasanya pun seolah tertawar oleh tercukupinya kebutuhan Sang Anak di hari itu.
Padahal, dari apa yang kupahami soal keseharian keluarga kecil ini, belum tentu Wati mampu membawa lagi makanan ke rumahnya sampai hari berganti esok. Tapi, dia seperti tak risau. Menahan lapar bukanlah hal baru bagi dirinya. Bapak dari anak-anaknya yang jarang pulang sudah melatihnya untuk menjadi pribadi yang tegar dan kuat. Bahkan semakin kuat setiap harinya. Segala daya dan usahanya kini hanya dicurahkan untuk kebaikan kedua anaknya.
Sedangkan jatahnya sendiri, Wati bisa ikut makan bareng anak-anaknya jika rizki yang dia dapat di hari itu cukup melimpah. Jika tidak, jatahnya hanya ada bila kedua anaknya menyisakan makanan karena mereka sudah merasa kenyang.
"Luar biasa!" Betapa aku kagum dengan apa yang kusaksikan siang itu. Yakinku, seorang ibu tak pernah menomorsatukan urusannya sendiri. Dia akan rela mengorbankan beragam hasratnya demi meluluskan segala ingin anaknya terlebih dahulu. Jangan tanya soal kebutuhan! Segalanya bakal dia pertaruhkan untuk penuhi semua kebutuhan anaknya.
Satu hal lagi yang menarik. Orang tua, khusunya ibu, tak akan berspekulasi untuk anak-anaknya. "Buat anak kok coba-coba!" Ya, mirip kalimat iklan. Dia tak akan berharap, apalagi beranggap, nanti juga akan ada rizki lagi. Apa yang dia dapat alokasi pertama pasti buat anaknya. Seperti Si Wati, bisa saja dia makan bareng-bareng sepotong ikan mas yang dia bawa tadi. Toh, selepas kuhabiskan kopi jatah makan mereka akan kuberi juga.
Buat teman-teman yang cukup mengenalku, pastilah paham. Wati adalah ibu dari Wowo dan Wiwi. Ketiga kucing ini sudah lama tinggal di teras rumahku.
.
Papi Badar
Bandung, 25082020
#cerpen #cerpenandriswelt #kasihibu #naluriseorangibu
Wati, Wiwi, dan Wowo. (dok. pribadi) |
Komentar
Posting Komentar