Suap dan Hadiah

Sekedar berbagi di minggu malam. Waktu dimana sebagian bangsa manusia biasanya murung mengingat esok adalah hari senin. Hari pertama dalam seminggu yang siap membuatnya menjadi makhluk teratur. Jam 7 berangkat ke kantor, jam 8 buka kerjaan, jam 12 istirahat, dan seterusnya. Lebih murung jika agenda yang esok menanti adalah tugas khusus. Khusus karena harus dikerjakan lebih serius dan beresiko bikin badan tambah kurus. Tapi apapun, selama pekerjaan kita halal, lalui saja dan semoga keberkahan ada di sana. Resiko masalah yang sebenarnya justru ada pada pekerjaan yang nafsu kita melihatnya menguntungkan. Misal, pembahasan kerjasama, penunjukan vendor proyek kantor, atau mungkin persetujuan pengajuan. Terserah pengajuan apalah, hutang, izin, atau pekerjaan. Resiko tadi menjadi masalah jika ada campur tangan uang atau lainnya sebagai pelicin/suap/Ar Risywah. Basi sebenarnya bicara masalah suap di dunia seperti sekarang ini. Kalaupun jelas hukumnya, peminatnya tak pernah sepi dan kadung jadi hal yang sangat biasa sehingga justru mungkin yang nggk nyuap malah nggk yakin dia sudah melakukan hal yang benar. Gimana nggk, dari lahir ngurus akte biar cepet sampe mati beli tanah 2x1 pun potensi suap sudah ada. Dari ngajuin KTP sampe ngajuin ikut Pemilihan, juga bisa pake suap. Padahal jelas, bil khusus untuk kaum muslim, Rosulullah sudah melarangnya. Dari Ibnu Umar Radhiyallahu anhu , ia berkata : “Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam melaknat yang memberi suap dan yang menerima suap”.(HR At-Tirmidzi) Jelaslah sudah untuk suap; dan kita tinggal tentukan sikap. Yang sering tak kita sadar hukumnya justru ada pada masalah pemberian atau hadiah. Keyword yang biasa dipake di sini adalah. "Kita kan nggk minta." Benarkah hanya karena tidak minta, hadiah itu menjadi halal? Tidakkah karena hadiah objektivitas kita bisa rusak? Tidakkah kita jadi cenderung mendahulukan urusan orang yang memberi hadiah daripada yang tidak? Dan akankah "dia" memberi hadiah jika kita tidak di posisi sebagai pihak yang berkaitan dengan lancar tidaknya urusan "dia"? Untuk masalah hadiah, kiranya hadist ini bisa dijadikan acuan: Dari Abu Humaid as-Sa’idi radhiyallahu ‘anhu berkata: “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memperkerjakan seorang laki-laki dari suku al-Azdi yang bernama Ibnu Lutbiah sebagai pemungut zakat. Ketika datang dari tugasnya, dia berkata: “Ini untuk kalian sebagai zakat dan ini dihadiahkan untukku”. Beliau bersabda : ” Cobalah dia duduk saja di rumah ayahnya atau ibunya, dan menunggu apakah akan ada yang memberikan kepadanya hadiah ? Dan demi Dzat yag jiwaku di tangan-Nya, tidak seorangpun yang mengambil sesuatu dari zakat ini, kecuali dia akan datang pada hari qiyamat dengan dipikulkan di atas lehernya berupa unta yang berteriak, atau sapi yang melembuh atau kambing yang mengembik”. Kemudian beliau mengangkat tangan-nya, sehingga terlihat oleh kami ketiak beliau yang putih dan (berkata,): “Ya Allah bukan kah aku sudah sampaikan, bukankah aku sudah sampaikan”, sebanyak tiga kali. “ Saudaraku, tulisan ini hanyalah sebagai pengingat pribadi yang berusaha mencari keberkahan dalam rizki. Sekira tidak berkenan silahkan renungkan dan pikirkan perlahan. Mohon maaf, cinta saya kepada saudara sekalian tak mungkin membiarkan masalah ini untuk diabaikan. Wallahualam.. billahi fii sabililhaq Semoga keberkahan dan rizki melimpah menyertai ikhtiar kita semua esok hari. Repost dari status fb Andris Susanto

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ketawa Karir

Prinsip-Prinsip Penilaian Aset / Properti

"Teu Nanaon Ngan Nanaonan?" Mencoba menyelami Celotehan Ustad Evie Effendi