Parlas Nababan dan Logika Peradilan di Indonesia
Meme berhias wajah Hakim
PN Palembang sontak bertebaran setelah keputusannya membebaskan PT. Bumi Mekar
Hijau dari gugatan Kementrian Lingkungan Hidup tentang pengrusakan lingkungan
akibat kebakaran hutan di sumatera selatan.
Sebagai seorang penilai,
kalaupun di bidang yang berbeda, saya paham bahwa hasil penilaian adalah hak prerogatif
penilai. Namun, ketika penilaian tersebut dirasa janggal, maka bisa dilihat
dari metode pengambilan keputusannya. Sudah tepatkah metode penilaian yang digunakan?
Menilik beberapa
pertimbangan yang diambil Parlas Nababan sebagai metode beliau untuk merancang
putusan sebagaimana yang dimuat di merdeka.com,
http://m.merdeka.com/peristiwa/ini-pertimbangan-hakim-parlas-menangkan-perusahaan-pembakar-hutan.html Ada beberapa hal di sana yang perlu
dipertanyakan.
- Parlas Nababan dalam pertimbangannya, menyoal posisi penggugat dengan dalih dalam pasal 90 ayat 1 UU 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, memiliki makna kumulatif yang diartikan pemerintah pusat dan daerah sebagai satu kesatuan. Karenanya, gugatan terhadap PT. BMH yang hanya dilakukan pemerintah pusat / KLH layak ditolak karena tidak dibarengi oleh pemerintah daerah.
- PT. BHM memiliki peralatan pemadam kebakaran sehingga tak mungkin sengaja membakar hutan.
- Dengan uraian tentang komposisi kandungan tanah, parlas menyimpulkan kebakaran yang terjadi di areal PT. BHM tidak merusak lingkungan dan sudah ditanami lagi.
Menggunakan prerogatif penulis,
mari kita coba uraikan 3 poin di atas dimulai dari yang terakhir.
Alasan kebakaran hutan tidak
berdampak merusak lingkungan karena tidak mengganggu unsur tanah seperti PH dan
unsur hara terlalu parsial bahkan sempit. Unsur lingkungan tentu bukan tanah
saja sebagai medianya. Ada air dan udara, ada juga hewan dan tumbuhan yang
tinggal di sana. Dan dampak lingkungan juga bukan hanya tentang tanah di
sekitar kebakaran terjadi. Ada lingkungan warga sekitar bahkan lingkungan asing
yang nan jauh di sana kena dampak kabut asap yang mengganggu.
Selanjutnya, tentang dimilikinya
peralatan pemadam kebakaran oleh PT. BMH tak bisa diartikan karenanya mereka
tak mungkin melakukan pembakaran hutan. Lantas, apa karena saya memiliki rem
maka saya tak mungkin menginjak gas?
Paling menarik adalah
yang terakhir, dimana makna kata ‘dan’ pada pasal 90 ayat 1 UU No. 32 diartikan
penggugat harus kumulatif atau kumpulan dari pemerintah pusat dan daerah. Untuk
lebih jelas, berikut bunyi pasal tersebut:
Pasal 90 (1) Instansi
pemerintah dan pemerintah daerah yang bertanggung jawab di bidang lingkungan
hidup berwenang mengajukan gugatan ganti rugi dan tindakan tertentu terhadap
usaha dan/atau kegiatan yang menyebabkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan
hidup yang mengakibatkan kerugian lingkungan hidup.
Ternyata parlas benar! Dan di sana memang kumulatif. Namun, kumulatif
dalam hal kewenangan. Yaitu sama-sama memiliki kewenangan untuk menggugat. Entahlah..
apa ini harus menjadi perdebatan atau tidak. Secara bahasa, jelas, kata sambung
tersebut memdefinisikan dua objek atau lebih sebagai kumpulan dalam kalimat
mana pun dia diletakan. Tetapi, mohon dilihat dulu, mengacu kepada apa kumpulan
tersebut. Itu yang pertama.
Kedua, jika lembaga peradilan memang berupaya menemukan keadilan atau
fakta dari dua pihak, yakni penggugat dan tergugat, apa perlu penggugat
dipersulit bahkan dibatalkan gugatannya karena hal yang tidak esensial . Kecuali
jika penggugat cacat hukum atau cacat mental. Pahamlah kita jika gugatannya
dibatalkan.
Sedang yang terjadi pada persidangan PN Palembang, hanya karena sebuah
diksi yang didefinisikan oleh logika yang sarat kepentingan gugatan bisa batal.
Habislah negeri ini jika dipenuhi oleh para pengadil yang logikanya bukan
digunakan untuk menemukan keadilan melainkan mengakali perundangan guna
mengalihkan keadilan ke tempat yang lain. RIP Peradilan Indonesia.
Komentar
Posting Komentar