Salah Sedekah

screendaily.com


Dulu... jaman baru lulus kuliah dan baru juga diterima kerja di sebuah perusahan swasta, saya sempat berkunjung ke dinas tenaga kerja di sebuah kabupaten yang tak perlu saya sebut namanya. Waktu itu saya hendak membuat kartu kuning. Benda tersebut dipersyaratkan oleh vendor yang mempekerjakan saya. Ceritanya, kita buruh outsourcing waktu itu.
Saat pembuatan kartu kuning yang tak lain berisi keterangan bahwa saya adalah seorang dari banyak orang pencari kerja tersebut, ada dua suatu yang mengherankan bagi saya. Selain warna kertas yang saya terima ternyata sama sekali tidak berwarna kuning, saya dibuat bengong dengan apa yang saya saksikan saat proses pengambilan kartu kuning. Di loket yang hanya ada seorang bapak duduk di belakang meja yang di atasnya menumpuk puluhan kartu kuning, tepat di atas kepalanya, tertempel tulisan di dinding "PEMBUATAN KARTU KUNING GRATIS!".
Gitu doang? Ya, nggak lah! Yang membuat saya bengong tadi: meski itu tulisan dibuat dengan font segede gaban, dengan tertib, setiap pengambil kartu kuning memberikan uang kepada bapak petugas tadi. Apa para pemohon itu tak bisa baca melihat tulisan di kertas? Atau Si Bapak memang meminta "japrem" atas pengurusan kartu kuning? Ternyata tidak, para pemohon adalah mantan anak kuliahan dan sekolahan sedang Si Bapak tidak meminta jatah apalagi mematok tarif--terbukti, di kala saya memberanikan diri untuk cuek, menguatkan diri dari pandangan orang sekeliling bahwa saya pelit, dengan hanya mengambilnya dan cuma bilang "nuhun", Si Bapak tak bereaksi yang aneh-aneh. Lagian ngapain juga ya? Toh, bapaknya pasti paham bahwa sebagian besar orang yang membuat kartu kuning adalah orang nganggur yang lagi cari kerja. Bukan lagi cari mustahiq!
Kejadian serupa sempat terulang pas saya membuat surat kehilangan di sebuah mapolsek di Bandung, agak tak enak hati melihat orang lain memberikan bayaran untuk pengurusan surat tersebut, saya tetap berteguh hati bahwa itu memang tugasnya pak polisi. Bukan dagangan buat cari uang kopi.
Dari dua pengalaman tersebut, dan banyaknya bisikan semisal, saya kerap merenung, betapa murah hatinya kebanyakan kita; betapa besarnya jiwa-jiwa mereka sehingga tak mau melewatkan untuk membalas setiap kebaikan orang-orang yang telah membantu urusan mereka. Dan itu bagus, saya pikir! Ok, anggaplah saya memang punya kecenderungan pelit yang kronis! Hehe ....
Tapi herannya gini, terhadap bantuan orang, budaya kebanyakan kita mengatakan, tak nyaman jika harus berbalas sebatas ucapan terima kasih saja; tapi mengapa, hal itu, lazimnya, hanya diterapkan untuk hal-hal formal atau yang terbatas oleh dinding birokrasional. Sedang untuk urusan muamalat keseharian, seringnya, kita malah berusaha mengeluarkan budget lebih murah, terendah--gratis kalo bisa--dan... bangga pula setelahnya.
Misal begini, jika umumnya upah tukang bangunan 150 ribu rupiah per hari, kita akan cari yang bisa dibayar cuma 100 ribu; jika ongkos angkut barang 300 ribu rupiah per jalan, kita usahakan ada yang mau 250 ribu. Jangankan memberi lebih, tarif mereka saja masih kita pangkas kalo bisal. Padahal, coba pikir! Mereka memang hidup dari upah kita, loh! Yang kita tawar pendapatan utamanya--bukan sampingan kayak fee-nya orang-orang yang ngurusin beragam perizinan dan surat keterangan. Bisa jadi, selisih yang harusnya kita bayarkan (sama mang, tukang, atau buruh, yang kita mintakan jasanya), justru merupakan bilangan yang mereka gadang-gadang bisa membuat apa yang dikecap anak istrinya menjadi sedikit lebih nikmat di lidah dan nyaman di kerongkongan tanpa mengurangi berkah yang ada di dalamnya--baik untuk kita yang menggunakan jasanya, ataupun dia yang meneteskan peluhnya.
Coba bandingkan jika kita berderma untuk mereka yang petantang petenteng di gedung pemerintahan, menyapu pandang pada siapa saja yang hendak berurusan dengan birokrasi dan butuh dibantu secara administrasi. Ladang cari komisi? Padahal itu sudah tugasnya, loh! Dan untuk tugasnya itu, mereka sudah diganjar gaji.
Mereka nggak minta, kok? Lebih unik lagi, kalo gitu. Mereka tak minta, tapi banyak dari kita, keukeuh, merasa tak enak jika tak memberikan tanda terima kasih. Masyaallah baiknya! Betul, betul, Upil!?
Sedikit cerita, beberapa hari lalu, saat saya menunggu antrian di loket pembayaran pajak kendaraan bermotor, seseorang yang tak saya kenal tiba-tiba mendekat dan membuka percakapan. Namanya, Yana. Lumayan seru, lah! Meski kadang, karena intonasinya yang rendah, saya agak sulit mendengar apa yang dia lontarkan.
Hanya saja, ada satu informasi penting tentang pribadi Kang Yana yang tak sengaja saya dengar. Jadi, Kang Yana ini bekerja di sebuah bengkel dengan gaji cuma 400 ribu rupiah per bulan. Cukup apa coba? Cukup mewah! Cukup mewah buat budget kamu sekali nongkrong di mall? Tapi tenang, dia tak terdengar mengeluh kayak kita di akhir bulan, kok! Terangnya, sedikit celah yang bisa membantu beliau adalah uang tips dari pelanggan.
Dari obrolan tersebut, saya jadi teringat kala lampu belakang atau lampu rem motor saya putus tak lama hari sebelumnya. Merasa bukan hal berat, tadinya saya berpikir buat beli lampunya saja dan pasang sendiri. Ngapain harus bayar ongkos pasang untuk sekadar pasang lampu rem? Tapi, setelah dilihat lagi ternyata harus buka dop body belakang, spakbor, kaca lampu, yang tetap bakal bikin repot orang awam saperti saya, plus setelah tahu ongkos pasang cuma 5.000 rupiah; ya udah, terima beres saja, lah!
Obrolan dengan Kang Yana hari itu membuat saya merasa benar-benar malu. Tidakkah sering kita bersikap picik dengan menganggap para montir atau buruh lain dengan pekerjaan kasarnya itu lebih beruntung, lebih tajir, lebih tak perlu tambahan, dibanding diri kita pribadi? 
What! Tidak, lah!
Ya, tentu saja kita tak pernah berpikir demikian. Hanya saja... sikap kita yang kikir--feodal juga, mungkin--ternyata menunjukan bahwa kita, biasa memperlakukan mereka lebih buruk dari piciknya pikiran kita tadi. Kita lebih ikhlas mengeluarkan sedekah untuk mereka yang rapi dan terkesan penting, dibanding dengan mereka yang lusuh dan bersimbah peluh.
Papi Badar
Bandung, 17122019

Komentar

  1. Wah, ada yang sama. Saya juga termasuk orang yang kikir untuk urusan birokrasi seperti ini. Dan saya punya pengalaman buruk waktu ngurus surat pindah.

    Ga mau ngasih uang "admin", malah ditanya, "emang ibu wartawan, ya?" 😅

    Iya kali, tampang culun kek saya mirip wartawan. 😅😅

    Akhirmya untuk pengurusan selanjutnya saya dipersulit. Waktu ke kelurahan dibilang suruh nunggu lurahnya, sedang dinas luar. Allah buka kedoknya saat itu juga. Salah satu staf nyuruh OB buatkan kopi untuk Bapak Lurah yang baru bangun tidur di Musola. 😅

    Orang yg bilang Si Lurah lagi dinas luar, langsung melengos. Saya langsung bilang, "Dinas luar alam dunia, ya, Mba, alias dalam dunia khayal bin mimpi?" Tapi bilangnya dalam hati doang. Karena saya cuma bisa senyum dan langsung minta diurus oleh petugas lain. 😅😅

    Komen terpanjang! 😂😂😂😂😂

    BalasHapus
  2. Wkkk... Kadang sebel klo denger beberapa cerita yang diteror sama wartawan. Misal, kepsek yang baru dapet dana bos, atau lurah yang baru ketiban dana desa/kelurahan.
    Tapi, kayaknya, itu profesi mantep juga buat nyentengin, Teh Nia! 😂
    Nggak apa disebut pelit juga Teh Nia, sebenernya kan nggk gitu. Cuma ngirit! Haha...
    Syukran komen terpanjangnya, Teh 😁🙏

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ketawa Karir

Prinsip-Prinsip Penilaian Aset / Properti

3 Metode Pendekatan Penilaian Properti Beserta Kekurangan dan Kelebihannya