Tetang Cinta, Kasih Sayang, dan Utuhnya Sebuah Hubungan

pixabay.com
Seseorang sempat berseloroh tentang kehidupan rumah tangganya, di mana dia, sebagai suami, menegaskan kepada istrinya bahwa jika ada apa-apa dengan pernikahan mereka, dia akan memilih anak. "Ngeri!" begitu saja timpal saya.

"Lah, ya iyalah, Mang! Rasional! Anak kan darah daging kita!" protesnya dengan berapi-api mirip orator yang menyampaikan gagasannya di depan massa demi menanggapi respon saya tadi.

Ok... cukup rasional. Dalam konteks masa depan anak, jelas, prioritas mesti diletakan kepada pihak yang umumnya menjadi korban dalam keretakan sebuah hubungan pernikahan. Namun, menilik pada spirit dasar dari hubungan itu sendiri, pernyataan tadi seolah mengisyaratkan rapuhnya pondasi yang terbangun dalam sebuah konstruksi berhubungan. Lebay? Tidak juga, menurut saya. Mari kita tengok contoh situasi lain sebagai perbandingan!

Tiga tahun lalu, qadarullah, tetangga sekaligus teman mancing saya di setiap akhir pekan mengalami penyumbatan pembuluh darah pada otaknya. Organ-organ bagian kiri beliau mengalami kelumpuhan. Sosok tinggi besar itu pun mendadak tak lagi mampu menopang badannya untuk tegak berdiri. Bahkan, untuk duduk secara sempurna saja tak bisa beliau lakukan tanpa penyangga.

Nengoknya jauh amat, ya? Udah... simak saja dulu!
Dalam salah satu kesempatan saya menjenguk di sela sakitnya, beliau tiba-tiba bertutur, "Om, itu pancingan bawa aja!"

Menurut kamu, seperti apa jawaban yang seharusnya saya berikan terhadap celotehan tetangga saya itu. Tentu saja bukan, "Siap! Saya bawa ya, Mas!" apalagi, "Ok! Toh, Si Mas nggak bakal bisa mancing lagi." Bisa langsung tumbang mungkin tetangga saya itu mendengarnya.

Sebagai tanggapan standar dari seseorang yang berusaha membesarkan hati seorang temannya yang sedang sakit, kala itu saya menjawab, "Hus, kita bakal mancing lagi bareng-bareng! Si Mas sebentar lagi juga sembuh."

Lebih dari sekadar membesarkan hati, sebagaimana kata "ngeri!" di respon saya untuk teman yang pertama, di jawaban tersebut saya juga berusaha menyampaikan pesan bahwa saya tak ingin mendengar ujaran semacam itu darinya. Apa yang disampaikan tetangga saya yang tengah sakit itu, di telinga saya, lebih terdengar sebagai keputusasaan dibandingkan tawaran atau keramahtamahan.

Mirip dengan situasi pertama, pernyataan memilih anak, lebih saya tangkap sebagai simbol keegoisan daripada rasionalnya sebuah pilihan. Kenapa? Karena itu terlalu jauh, dan bukan poin yang teramat penting untuk tiba-tiba diungkapkan kepada pasangan di suasana hubungan yang baik-baik saja. Jika memang baik-baik saja. Eh....

Tidakkah kita sepakat bahwa dalam menjalin hubungan, komitmen adalah hal utama dan pertama yang semestinya kita bangun? Di sini kita sedang membicarakan soal hubungan dalam frame pernikahan, ya! Bukan yang lain. Yang baru pacaran lap ingus dulu, deh!

Ketika seseorang memutuskan menikah, memilih seseorang untuk menjadi teman hidupnya, komitmen bahwa dia akan mampu mencintai, menyayangi, melindungi, dan berbagi dengan seseorang yang terpilih haruslah sudah kuat tertanam. Masuk ke fase ini, setiap pribadi harus mampu mengenyampingkan segala hal yang menyangkut ego pribadi.

Apakah itu mudah? Tentu saja tidak. Karenanya, demi meluluskan agenda besar tersebut, modal kuat haruslah sudah dikantongi sebelum kita mengambil keputusan yang semua orang harap hanya sekali dalam seumur hidup tersebut. Modal itu sendiri adalah kedewasaan atau kesiapan mental.

Memiliki kedewasaan atau kesiapan mental artinya diri kita telah siap menerima konsekuensi apapun dari segala hal terkait pasangan yang menjadi pilihan kita. Uniknya, sebelum ke tahap menerima, yang lebih dulu, harus harus kita lewati justru tahapan dapat diterima. Nah, lo!
Kutipan indah seorang teman menyebutkan, "Cinta sejati itu bukan hanya soal aku bisa mencintaimu apa adanya, tapi juga bisa dicintai apa adanya." Proporsional sekali, bukan?

Jadi, dari awal ego memang harus mulai dikikis. Keputusan untuk bersama semestinya bukan hanya didasari rasa nyaman kita saat berada di samping pasangan kita; tapi juga memastikan, kenyamanan dirasakan oleh pasangan saat kita berada di sisinya.

Harus ada cinta? Ya, tentu saja. Tapi, tak perlu juga cinta dijadikan sebagai justifikasi dari penjajakan yang bertele-tele atau alasan mencari kecocokan yang berlarut-larut. Hal itu hanya menggambarkan lemahnya komitmen dalam sebuah hubungan jika tak perlu dikatakan niatnya baru sebatas cita-cita belaka. Yakin, deh! Jika demikian, arah menuju pelaminan baru sampai impian meski omdo-nya berbunyi; hendak menjalin hubungan yang serius. Serius main-main tuh, maksudnya!

Pada prinsipnya yang menempatkan cinta untuk ditumbuhkan setelah akad, saya setuju dengan konsep ta'aruf yang minim dengan komunikasi langsung. Meski untuk proses seperti itu penanaman komitmen tentu membutuhkan usaha yang ekstra. Tapi pada dasarnya, penetapan komitmen terhadap seseorang tak perlu selalu harus didorong oleh rasa cinta terlebih dahulu. Cukuplah ada suka dan perasaan nyaman untuk lantas, cinta berkembang dan berbuah perasaan sayang yang tak perlu lagi dipertanyakan. Loh, kok? Karena cinta itu berat! Biar Bucin saja!

Cinta itu beresiko besar. Memilih seseorang dengan modal awal bernama cinta, akan menimbulkan banyak konsekuensi berat yang bisa saja malah menyeret diri kita dan atau dirinya ke babak kebinasaan. Wkkk.... Duh, ini bahasanya! Bukan tak boleh, tapi semua kembali kepada kesiapan mental kedua pasangan dalam menghadapi kenyataan bahwa dalam diri orang yang dicintai, ternyata banyak juga hal yang justru tidak kita sukai atau bahkan tak dapat kita terima sama sekali.

Berbeda dengan suka dan rasa nyaman. Meski terkesan dangkal, dua hal tersebut lebih rasional dan terukur. Dan inilah dua hal yang justru merupakan bibit cinta paling baik untuk kita semai di luas ladang hubungan insan dalam bingkai suci pernikahan.

Setelah cinta tertanam, sayangpun akan tumbuh dengan sendirinya, di mana di sana tak akan lagi ada ruang untuk hanya aku atau kamu yang jumawa karena kita menjadi satu yang bersama dijaga keutuhannya. Inshaallah....

Papi Badar, 05102020

Note: Tulisan ini bukan tentang aku, kamu, atau seseorang. Tulisan ini tentang sesuatu. Pan, di judulnya juga tentang! Ya?
#celotehsebelumtidur #cinta #pernikahan

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ketawa Karir

"Hirup Tong Kagok Ngan Tong Ngagokan!" Masih Mencoba Menyelami Colotehan Ustad Evie Effendi

3 Metode Pendekatan Penilaian Properti Beserta Kekurangan dan Kelebihannya