Omnibus Law? Bedah Santai RUU Cipta Kerja Klaster Ketenagakerjaan



Bukan berita baru sebenarnya, saya sudah dengar soal omnibus law dari beberapa bulan yang lalu. Antara antusias dan tidak saya menanggapi isu penggabungan 79 UU yang terdiri dari 1.200 pasal lebih tersebut. Lah, bagaimana bisa, atau bagaimana beres segera, terlebih di saat pandemi melanda. Tapi ternyata, sangka saya salah. Kaget! Di saat saya sedang santai-santainya menikmati
dalam menyimak hal lain, tetiba dapat kabar 5 oktober 2020 kemarin DPR telah mengesahkan RUU tersebut; dan demonstrasi pun pecah. Gubrak!

Padahal, kemarin saya lagi menyimak sejarah PKI dan kejadian G 30 S dari berbagai versi, loh! Termasuk berangnya Ibu Mega atas tuduhan para oknum yang menyebut dirinya, partainya, juga Pak Jokowi sebagai PKI atau komunis.

Ada benang merahnya juga dengan omnibus law sih, sebenarnya! --Mulai menandakan gejala sotoy. Iya, dong! Paling tidak, dengan gelagat sinerginya pemerintah yang dipimpin Presiden Joko Widodo bersama DPR dalam mengurusi UU ini, saya menemukan alasan kuat bahwa Pak Jokowi bukanlah PKI (baca: komunis). --Iyaaa, terus apaaa?

Lah iya, dengan omnibus law yang menurut pemerintah sendiri ditujukan untuk menyederhanakan regulasi, mempermudah perizinan, sehingga gairah usaha naik dan lapangan kerja banyak tercipta, jelas, UU ini hadir untuk melayani para investor atau pemilik modal (kapital). --Kirain apa!

Saya nggak bilang pemerintah ini kapitalis, ya? Tapi di antara tiga faktor produksi yang kata Adam Smith terdiri dari modal, buruh, dan tanah, arah pemerintah saat ini condong tengah mendewakan modal. Bagaimana dengan dua faktor lainnya? --Meneketehe?

Mmmh... sekilas saja untuk persoalan tanah. Salah satu ancaman yang menurut saya paling mengkhawatirkan terkait persoalan tanah atau lahan saat ini adalah mudahnya alih fungsi lahan pertanian berkelanjutan dengan jaringan pengairan lengkap yang di UU Nomor 22 Tahun 2019 terkecuali untuk dapat dialihfungsikan. Dalam UU Cipta Kerja, ketentuan pasal 19 UU Nomor 22 Tahun 2019 diubah dengan bunyi (ayat 2) sebagai berikut:

“Dalam hal untuk kepentingan umum dan / atau proyek strategis nasional, lahan budi daya pertanian sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dapat dialihfungsikan dan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.”

Mengacu pada ayat tersebut, tidak ada lahan pertanian yang dikecuali untuk dapat dialihfungsikan. Fix, hal tersebut semakin menambah potensi berkurangnya lahan budi daya pertanian di negara ini.

Baiklah, kita sudahi soal tanah karena di sini kita akan lebih fokus ke masalah ketenagajerjaan. Soalnya, memang isu ketenagakerjaan yang lebih banyak diangkat. Lagian, saya bukan pakar pertanahan. Pakar ketenagakerjaan? Nggak juga! Hehe.... Tapi paling tidak, saya juga seorang pekerja yang nasibnya bisa jadi sangat akan terpengaruh oleh hadirnya UU yang penuh polemik ini.

Mmmh.... Sebagaimana permintaan “baca dulu!”dari pemerintah dan pihak-pihak lain--termasuk para artis jenius pengambil job iklan Omnibus Law--yang meyakini akan urgensinya UU ini, saya mengajak untuk kita bedah saja pasal-pasal kontroversial yang ada di UU Cipta Kerja tersebut. Ya, tidak semata-mata mengutip kata orang atau media. Bukan apa-apa, Bapak Presiden dan beberapa pihak pendukung Omnibus Law sudah menegaskan bahwa kisruh di UU ini akibat banyaknya disinformasi dan hoaks yang beredar. Jadi, dengan ikhtiar ini mari kita usahakan untuk jangan sampai menyuarakan hoaks, sekaligus kita cek mana hoaks dan fakta pada polemik UU Cipta Kerja ini.

  1. Kontrak Seumur Hidup.

Dalam UU Cipta Kerja tidak ada istilah kontrak seumur hidup, kok! Yang ada, Pasal 59 ayat 4 UU Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan yang menyatakan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (kontrak) paling lama memiliki jangka waktunya hanya 3 tahun (dua tahun dan bisa diperpanjang satu kali untuk paling lama satu tahun), tidak lagi tercantum di UU Cipta Kerja.

Jadi, tidak benar ada ketentuan kontrak kerja seumur hidup pada UU Cipta Kerja ini. Namun, tanpa penegasan jangka waktu maksimal kontrak, menimbulkan potensi perpanjangan status kontrak pekerja seterusnya oleh Si Pemberi Kerja.

Tapi tenang, kemungkinan perbaikan tetap ada di ayat empat yang berbunyi, “Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaan, jangka waktu, dan batas waktu perpanjangan perjanjian kerja waktu tertentu diatur dengan Peraturan Pemerintah.” Jadi, kunci kewajaran batas waktu kerja kontrak agar tak ada praktek kerja kontrak terus-menerus, termasuk penentuan jenis dan sifat pekerjaannya, masih dapat ditegaskan oleh pemerintah melalui salah satu PP turunan dari UU Cipta Kerja. Kita tunggu saja biar jelas! Semoga tidak lama! Kayaknya nggak bakal lama, UU saja yang melibatkan DPR cepet!

Baiklah, harapan lain, semoga pemerintahnya berpihak pada kepentingan pekerja!

  1. Libur Hanya Satu Hari Seminggu dan Tak Ada Cuti.

Meski terdengar sepele, soal libur sedikit sensitif di telinga para pekerja seperti saya yang terbiasa libur sabtu--minggu. Pasalnya, di poin b ayat 2 Pasal 79 UU Cipta Kerja hanya menyebutkan, “Istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam satu minggu.” Istirahat atau libur dua hari untuk lima hari kerja tidak disebutkan di sana.

Selanjutnya, terkait cuti. Di pasal tersebut, tepatnya di ayat 3 disebutkan hanya soal cuti yang wajib diberikan adalah cuti 12 hari setelah bekerja selama 12 bulan atau cuti tahunan. Istirahat panjang selama 2 bulan untuk pekerja yang telah bekerja selama 6 tahun yang sebelumnya ada di UU Ketenagakerjaan tidak tercantum lagi pada UU Cipta Kerja.

Tapi untuk soal waktu istirahat ini, saya tak terlalu khawatir karena ada kata “paling sedikit” pada ketentuan tersebut. Lagian, jika benar istirahat dua hari dihapuskan, kok di pasal 77 UU Cipta Kerja masih ada penjelasan jam kerja untuk lima hari kerja dan enam hari kerja?

Apalagi jika kita baca ayat terakhir atau ayat ke lima pada pasal 79, “Selain waktu istirahat dan cuti sebagaimana dimaksud pada ayat 1, ayat 2, dan ayat 3, perusahaan tertentu dapat memberikan istirahat panjang yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.”

Nah, kan! Yang tersurat itu cuma minimal. Istirahat mingguan bisa lebih dari satu hari, cuti bisa lebih dari sekadar cuti tahunan, asal sesuai perjanjian kerja antara pekerja/buruh dan pengusaha/perusahaan. Mmmh... Kok, perasaan jadi nggak enak lagi, ya? Btw, kalau pengusaha, pengen buruhnya banyak kerja apa banyak libur, ya?

  1. Pemangkasan Kebijakan Pengupahan

Memang ada pengurangan poin yang menjadi pertimbangan pengupahan antara UU Ketenagakerjaan dan UU Cipta Kerja. Jika sebelumnya, pada UU 13 Tahun 2003 kebijakan pengupahan terdiri dari 11 poin, di UU Cipta Kerja hanya terdiri dari 7 poin. Poin yang hilang antara lain; upah karena menjalankan hak waktu istirahat kerjanya, denda dan potongan upah, upah untuk pembayaran pesangon, dan upah untuk perhitungan pajak penghasilan.

Secara eksplisit poin-poin di atas hilang. Hanya saja, ada poin yang mungkin bisa dijadikan subtitusi di UU Cipta Kerja ini untuk poin-poin yang hilang tadi. Yaitu: upah sebagai dasar perhitungan atau pembayaran hak dan kewajiban lainnya.

Masih bisa masuk nggak, ya? Semoga saja tak ditafsir lain oleh para pengusaha! --Perasaan banyak semoganya?

  1. Tidak ada lagi UMR, upah ditetapkan berdasarkan satuan waktu dan hasil

Sebelumnya, kebijakan upah minimum regional, Provinsi dan Kabupaten/Kota diatur di pasal 89 UU 13 Tahun 2003. Pasal tersebut memang dihapus di UU Cipta Kerja. Tapi, ada tambahan yang menyebutkan gubernur wajib menetapkan upah minimum provinsi (pasal 88C ayat 1) dan gubernur dapat menetapkan upah minimum kabupaten / kota dengan syarat tertentu.

Baik, clear UMR masih ada.

Uniknya, di perkara upah minimum ini, jika di UU Ketenagakerjaan disebut “diarahkan kepada pencapaian kebutuhan hidup layak”; di UU Cipta kerja tertulis, “berdasarkan kondisi ekonomi dan ketenagakerjaan”. Berasa beda nggak, Gaeees? --Dah, ah! Suka beda persepsi, kata aku itu merupakan subtansi, ntar kata Elu mah kagak lagi? Rumit!

Sedangkan untuk upah berdasar satuan waktu dan hasil, sebagaimana yang diutarakan presiden pada klarifikasinya, hal tersebut tak menghilangkan UMR. Perusahaan bisa menjadikan waktu (jam atau hari) atau hasil produksi untuk acuan upah yang diberikan. Redaksi satuan waktu dan hasil sendiri memang tak tercantum khusus dalam satu pasal pada UU Ketenagakerjaan sebelumnya. Mungkin, maksud pemerintah perihal ini adalah untuk lebih mengakomodir bentuk-bentuk usaha baru yang banyak muncul dewasa ini di mana mereka tak selalu mengacu pada waktu kerja sebagai rasio pembayaran upahnya terhadap pekerja, atau sebaliknya.

Masih banyak hal yang mesti dikritisi di persoalan upah pada UU Cipta Kerja ini seperti hilangnya sebagian pasal 95, dan seluruh pasal 97 yang mengatur soal denda dalam hal pembayaran upah. Tawaran solusinya tetap dikembalikan kepada kebijakan pemerintah seperti tertera di ayat 88 pasal 4 UU Cipta Kerja yang berbunyi, “Ketentuan lebih lanjut mengenai kebijakan pengupahan diatur dengan peraturan pemerintah”. Lagi dan lagi, sebagai seorang buruh, diusahakan saja untuk kita rajin berdo’a agar pemerintahnya berpihak ke para pekerja atau buruh ya, Kawan-Kawan!

  1. Perusahaan bebas melakukan PHK pesangon dihilangkan

Di UU Cipta Kerja, ketentuan pemutusan hubungan kerja tetap ada sebagaimana yang tercantum pada pasal 151, 151A, 153, 154, dan 154A. Jadi, perusahaan tak bisa melakukan PHK seenaknya.

Hanya saja, ada yang menarik bagi saya perkara pasal-pasal yang mengatur PHK ini. Misal, di Pasal 151 Ayat 3 yang merupakan ayat tambahan di UU Cipta Kerja. “Dalam hal pekerja / buruh telah diberitahu dan menolak pemutusan hubungan kerja maka penyelesaian pemutusan hubungan kerja wajib dilakukan melalui perundinga bipartit antara pengusaha dengan pekerja/buruh dan / atau serikat pekerja / serikat buruh.”

Sebetulnya, wajar dan masuk akal, ya! Tapi kok, opsi buruh atau pekerja menolak PHK baru muncul di UU Cipta Kerja ini, di UU Ketenagakerjaan Pasal  151 ayat 2 hanya tertera opsi “jika pemutusan hubungan kerja tak bisa dihindari”. Frase yang lebih terdengar sopan, saya rasa! Maaf-maaf, ya... saya kan anak bahasa! Dan dengan munculnya ayat penjelasan “jika pekerja menolak PHK”, kok malah kayak ngasih tahu sama pengusaha, “nih, kalo buruhmu nolak, jalannya ini!”? Hehe... Perasaan saya saja kali, ya?

Lainnya, soal larangan perusahaan melakukan PHK dalam kondisi-kondisi khusus memang dijelaskan pada pasal 153 ayat 1 yang terdiri dari 10  poin penjelasan. Tapi anehnya, pasal yang menerangkan soal perusahaan diizinkan memberhentikan pekerjanya dengan kondisi khusus, dalam hal ini melakukan kesalahan berat, sebagaimana sebelumnya diatur pada pasal 158 UU Ketenagakerjaan, kini dihapus.

--Ntar... ntar, pengusaha diterangkan dalam kondisi apa pekerja tak boleh dipecat, pekerja tak diberi tahu kesalahan berat seperti apa yang bisa mengakibatkan dirinya dipecat? Mmmh.... Kok, kayak...?

--Hus! Mungkin maksudnya, nggak akan ada lagi alasan berlabel kesalahan berat yang bisa membuat pekerja dipecat? Tapi, ya nggak mungkinlah? Haha....

Selanjutnya, soal pesangon. Jelas, pesangon tetap ada dan tak perlu diperdebatkan lagi pengurangannya. Eh.... Tapi bener kok, ibu Menaker Ida Fauziah sudah berulang mengatakan bahwa jumlah pesangon memang berkurang menjadi hanya 19 kali gaji dari pemberi kerja dan 6 dari Jaminan Kehilangan Pekerjaan yang dibayar oleh pemerintah. Sebelumnya, maksimal pesangon bisa sampai 32 kali gaji. Loh, kok?

Udah... Kata Ibu Menker ini faktanya, dengan jumlah pesangon yang dulu, banyak perusahaan yang pada akhirnya tidak membayar pesangon karena nilainya terlalu besar dan memberatkan. Lagian, menurut beliau nilai pesangon di negara kita masih lebih tinggi dari negara-negara tetangga. --Mantap! Sungguh alasan yang bijak! Bikin terharu...., lirih pengusaha sambil mengusap ingus.

Aturan soal pesangon di UU Cipta Kerja ada di pasal 156, 157, 160, dengan adanya beberapa pasal yang dihapus seperti rasio pengali untuk pesangon dan penghargaan masa kerja jika pekerja diberhentikan dalam kondisi tertentu. Aturan itu sebelumnya ada di pasal 163, 164, 165, dan 166.

Cukup banyak hal yang bisa dikritisi pada bab terkait pemutusan hubungan kerja dan ketentuan pesangon ini. Termasuk adanya frase “paling banyak” pada UU Cipta Kerja pasal 156 yang mengatur besaran pemberian  pesangon dan uang penghargaan masa kerja di mana sebelumnya, pada UU Ketenagakerjaan 2003, tertera “paling sedikit”. Silahkan Kawan-Kawan tafsirkan sendiri maksud dari masing-masing frase. Tapi lupain aja, deh! Karena dua kata itu ada di draf final cipta kerja paripurna DPR yang memiliki jumlah 905 halaman seperti yang saya jadikan referensi saat ini. Sedang pada draf selanjutnya yang 1.035 halaman dan draf yang lain lagi dengan jumlah 812 halaman, frase “paling sedikit” maupun "paling banyak" malah hilang ditelan editor. Clear, kembali tunggu aturan turunan saja!

Tapi, gimana ini, ya? Judul sama, tapi jumlah halamannya berubah-ubah?

Semoga saja isinya tetap konsisten! Karena jika berubah juga setelah disahkan DPR, mau di simpan di mana reputasi perundangan-undangan karya para wakil kita ini. Menyedihkan! --Ngomong apa, sih? Emang yang mau ditarohnya ada? hehe....

  1. Tenaga Kerja Asing (TKA) bebas masuk

Terakhir, untuk urusan TKA, masih ada yang mengatur atau syarat untuk mereka bisa dipekerjakan, kok! Hanya saja, sekarang terindikasi bisa lebih longgar. Misalnya, pada pasal pembuka tentang tenaga kerja asing, yaitu pasal 42 UU Cipta Kerja ayat satu, syarat mempekerjakan TKA adalah adanya rencana penggunaan TKA yang disahkan pemerintah pusat. Hal ini berbeda dengan yang ada di UU lama. Di sana ditulis, wajib memiliki izin tertulis dari menteri atau pejabat yang ditunjuk.

Selain itu, pasal 43 dan 44 UU Ketenagakerjaan yang juga menyoal tentang syarat mempekerjakan TKA juga tidak ada lagi di UU Cipta kerja.

Baiklah Kawan, itulah yang dapat saya sampaikan dari hasil membaca saya terhadap RUU Cipta Kerja yang dibandingkan dengan UU Ketenagakerjaan Nomor 13 tahun 2003. Baiknya, Kawan-Kawan coba cari dan baca sendiri juga untuk dapat melihatnya dengan lebih jelas lagi.

Satu hal lagi, yang saya jadikan rujukan saat menulis ini adalah RUU Cipta Kerja hasil kesepakan Paripurna DPR yang berjumlah halaman 905 lembar, ya! Bukan yang lain! Tapi, harusnya nggak beda sih sama yang 1035 halaman atau yang 812 halaman juga. Kan Pak Amir Syamsudin menjamin tak ada penyelundupan pasal, katanya. Si Bapak ini bahkan sampai berani pertaruhkan jabatannya sebagai wakil ketua DPR. Ya, nggak usah lah, Pak! Ini kan bukan judi! Ok, berarti cuma typo sam kurang titik koma kali, ya? Hanya kurang titik koma tapi hampir setengah rim kurangnya? Hehe... dah, ah! Rumit.

 Ket gambar: Aksi penolakan Omnibus Law, CNBC News

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ketawa Karir

Prinsip-Prinsip Penilaian Aset / Properti

3 Metode Pendekatan Penilaian Properti Beserta Kekurangan dan Kelebihannya