Kilau Dunia dan Canda Kita Terhadap Tuhan

Clown, pixabay.com


Bilangan Negatif

Jika dulu saat guru matematika--duh, matematika lagi--menerangkan soal bilangan positif dan negatif nggak ketiduran atau bolos, kamu pasti paham tentang sisi kanan dan sisi kiri yang ditengahi nol. Yup, yang kanan positif, yang kiri negatif. Yang kanan bernilai sedang yang kiri justru defisit. Uniknya, dulu guru sering membahasakan bahwa bilangan positif adalah apa yang kita miliki sekarang dan bilangan negatif adalah yang masih dalam angan, atau kalau bukan, sekira kamu mau ambil duluan (sok da aku mah baek), bolehlah bilangan negatif-nya direlevankan dengan hutang.

Nah, mana yang kamu lebih suka? 10 juta saat ini atau 10 Milyar besok lusa?

Tentu yang real, dong! Yang ada, dan bisa kita nikmati sekarang. Besok lusa mah, ngayal lagi aja. Beres, kan? Apa? Nggak bisa? Please, deh! Ngayal aja pelit kamu mah, ih! 😝

So... Intinya, bilangan 100 nanti (-100), tetap tak lebih bernilai dari nominal 1 yang kita punyai hari ini. Lantas, apa iya dalam hidup berlaku seperti itu? Let's see!

Proporsional Dunia dan Akhirat

Pepatah bilang, "berusahalah untuk duniamu seakan kamu akan akan hidup selamanya, dan beribadahlah untuk akhiratmu seperti kamu akan mati esok hari." Mantap, ya! Maqam-nya udah merambah ke soal keyakinan, nih! Mungkin ini dia yang disebut proporsional atau hidup sehat cara hembing adil membagi antara duniawi dan ukhrowi dalam hidup seorang hamba.

Ok, kita sepakati saja, anggaplah teori bilangan negatif adalah pegangan untuk orang yang memandang hidup hanya sebatas pada pemenuhan kebutuhan dan kesenangan kita selama melata di dunia. Namun, saat kita mulai meyakini bahwa ternyata hidup tidak selesai dengan putusnya hubungan kita dengan dunia (mati), perlu juga kiranya kita mulai mengalkulasi bekal untuk fase setelah meninggalkan dunia. Untuk itu, teori proporsioal ini cocok kan, ya? Ok, deal? Deal .... (terdengar penonton koprok tanda setuju)

Eh, tunggu dulu! Bukannnya hidup kita di dunia ini hanya sementara sedangkan di akhirat selamanya? Tidakkah timpang jika untuk masa yang rentangnya sangat jauh berbeda tapi bekal yang kita siapkan tetap sama atau sepadan saja? Gimana?

Mmmh.... Tapi, dengan kerja yang sama giatnya untuk dunia dan akhirat, itu kan masuk di akal. Nggk tenang loh, kita solat kalau dompet lagi lepet. Puasa aja ada waktu bukanya, kan? Lebih gila dari hari biasa, malah! Kolak pisang, es buah, es kelapa, rujak, gorengan... Gusti!!! Itu baru appetizer, Cyyyn! Kalo manut nafsu, plus menu utama yang ada gepuk, ayam bakar, pepes ikan, semur jengkol, gado-gado, balakutak, ulukutek, dan kawan-kawan, rumah makan padang saja minder liat meja makan kita. Endol takendol kendol pokoknya mah!

Udah ngilernya, ya...! Balik lagi, bahkan, saking masuk logikanya ungkapan soal porsi dunia dan akhirat tadi di nalar orang-orang beriman, kebanyakan kita yang pernah mendengarnya, mengira bahwa ungkapan tersebut bukan sekadar pepatah; melainkan hadist Rasulullah SAW. Namun ternyata... bukan.

Jika ditelusuri, dalam periwayatan hadist ungkapan tersebut, ada sanad yang terputus. Persisnya, dalam alur periwayatannya, antara Ubaidullah bin Al 'Aizar dan Abdullah bin Amr bin Al 'Ash terputus karena mereka hidup di masa yang berbeda. Selain itu, ujung sanad mentok di Abdullah bin Amr bin Al 'Ash. Tidak sampai ke Rasulullah SAW. Nah, loh?

Jadi, kesimpulannya adalah hadist tersebut dhaif jika disandarkan kepada Abdullah bin Amr Al 'Ash, bahkan palsu jika dinisbatkan kepada Rasulullah SAW. Hal tersebut disepakati oleh Syaikh Muhammad Nasharuddin Al Albani dan Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin. Ok? Stop!

Jadi galau lagi, deh. Ada solusi?

Ya nggak harus galau juga, sih? Kita bebas menentukan perspektif, kok! Mau mengutamakan dunia, mau membagi rata (meski nggak mungkin bisa), atau mau mendahulukan akhirat, juga nggak masalah. Semua ada konsekuensinya. Cuma... yang perlu kita perhatikan adalah, kenapa kita sampai berani ngambil konsekuensi tersebut. Harus ada alasan, dan tentunya, alasannya pun harus bernilai.

Canda Kita Terhadap Tuhan

Baiklah, untuk urusan ini, saya masih punya gambaran untuk kamu pertimbangkan selain logika bilangan negatif dan teori proporsional tadi. Gini, dalam urusan menakar prioritas dunia dan akhirat, saya sangat terinspirasi dengan ceramahnya Pak Kholid. Siapa lagi, ini? Tak lain beliau adalah Bos Cimol; bandar jaket korea seken yang suka kamu pake mejeng malem mingguan. Kebetulan beliau tetangga saya, loh! Maaf kalo info terakhir tidaklah penting.

Dalam sebuah ceramah ramadhan, beliau sempet mengajak kita mentadabburi QS. Al-Qashash:77.

Berikut terjemahannya:
Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. (Q.S. Al-Qashash : 77)

Dalam ayat tersebut, Allah SWT meminta kita untuk mencari kebahagiaan negeri akhirat. Dilanjutkan anjuran, "janganlah kamu lupakan bagianmu dari kenikmatan dunia." Ada yang perlu di cetak tebal atau digarisbawahi?

Nah, itu! "Janganlah kamu lupakan". Sekadar jangan lupakan saja, loh! Bukan, "Carilah juga!" apalagi, "Cari seluasnya!"

Saya perjelas, ayat ini menjelaskan, untuk urusan dunia, ternyata Allah SWT meminta kita untuk sekadar tidak melupakan; cukup ingat, saja!
Sekarang, mari renungkan perlakuan apa yang telah kita berikan kepada dunia dan akhirat kita?

Tidakkah seperti ini?

Misal, suatu waktu, dari Bandung kita diminta oleh orang tua ke Jakarta dan tinggal di sana untuk waktu beberapa lama. Orang tua pun berpesan di saat kita hendak pergi, "Nak, nanti kamu mau ke Jakarta dan tinggal di sana untuk beberapa lama. Carilah bekal semisal sekarung beras saat transit di Cianjur. Jangan lupa, kamu boleh juga beli sebungkus kacang untuk dinikmati saat di Cianjur itu." Clear, kan?

Tapi, apa yang terjadi di hari yang telah ditentukan? Alih-alih sesuai pesan dan permintaan, kita malah datang ke Jakarta dengan sekarung kacang dan beras yang hanya sebungkus. Luar biasa!

Innalillahi! Tidakkah selama ini pola yang kita jalani seperti itu? Maaf saja, tidakkah dengan demikian kita dengan lantang berani bercanda dengan Tuhan? Astagfirullah.... Semoga Allah SWT mengampuni kita semua!

Papi Badar, Hamba Dhaif yang harus banyak belajar.
Bandung, 23112019

Mohon maaf jika bahasanya tidak berkenan. Hanya alternatif lain untuk menjelaskan dan tak ada niat mengurangi esensi yang disampaikan.πŸ™
Wallahualam....

Sumber: almanhaj.ir.id, liputanalquran.com, dan berbagai sumber.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ketawa Karir

Prinsip-Prinsip Penilaian Aset / Properti

3 Metode Pendekatan Penilaian Properti Beserta Kekurangan dan Kelebihannya