Putusan MK, Kehendak Kita?

Ketuk palu MK yang menolak gugatan permohonan untuk perubahan pasal 284, 285, dan 292 KUHP telah dijatuhkan. Sebagai pihak yang turut peduli, sebagian kita pun bereaksi dengan lantang. Reaksi turut prihatin, menyesalkan, sampai marah, ramai mewarnai linimasa media sosial kita.

Wajar? Tentu saja. Betapa tidak, ada harapan besar banyak orang terkait putusan yang ternyata malah ada juga yang beruforia merayakannya tersebut.

Namun, jika kita lihat lebih sabar, tak ada perubahan keadaan dari putusan tersebut. Putusan MK tidak mengubah yang haram menjadi halal, tidak membatalkan ilegalnya zina maupun LGBT yang memang sebelumnya pun tak ada pasal yang bisa menjeratnya kecuali jika dilakukan ke anak di bawah umur atau dengan paksaan. Putusan tersebut hanya gagal menambahkan objek terjerat pada perbuatan zina, perkosaan, dan cabul. Jelasnya, pelaku zina yang tak terikat perkawinan yang sah, kekerasan atau paksaan seksual (perkosaan) oleh seorang perempuan, dan perbuatan cabul terhadap sesama jenis, gagal dimasukan sebagai objek yang dapat dipidanakan.

Sebelumnya, mohon tak lantas ditangkap bahwa fenomena ini saya anggap biasa saja. Turut prihatin, iya. Namun, kenapa tidak kita lihat term and condition-nya. Ya, kalaupun bukan kita yang memiliki kewenangan, paling tidak kita akan paham soal sikap terbaik apa yang bisa kita berikan sebagai kontribusi maksimal untuk perbaikan negeri ini. (Wkkk... serius amat, ya!? Maaf..)

Dari beberapa sumber diterangkan bahwa penolakan gugatan atas 3 pasal KUHP di atas kurang lebih karena perubahannya yang terlalu luas, mengharuskan MK membuat rumusan pidana baru yang itu di luar kewenangan MK. Sebagaimana maklum, rumusan hukum adalah ranahnya legislator. Itu yang pertama.

Bertolak dari sana, solusi yang ditawarkan guna menjembatani keresahan masyarakat terhadap LGBT, kumpul kebo, dan tindak asusila yang sekarang belum terakomodir KUHP adalah melalui gedung parlemen. Apa bisa? Harusnya, bisa. Perkara tak percaya terhadap wakil kita di sana, itu masalah beda. Yang pasti, jalannya memang seperti itu jika MK sudah menafsirkan bahwa perkara tersebut ada di luar kewenangannya.

Beralih dari masalah hukum dan mekanismenya yang memang bukan lahannya kita sebagai masyarakat biasa, saya lebih tertarik melihat ke sisi lain dari masalah kumpul kebo dan LGBT ini. Ya, sebuah sisi yang memuat sikap aneh plus menggelikan kebanyakan kita terhadap keduanya.

Permisif

Searah dengan ramainya penolakan kita terhadap praktek kumpul kebo terlebih LGBT, sudahkah sikap kita selaras dengan nyaringnya suara kita di media sosial? Mmmh.. Semoga saja iya. Karena menilik pada kondisi keseharian, diakui atau tidak, justru kita cenderung apatis terhadap hal tersebut.

Sebagai contoh, terkait ini saya pribadi sempat merasakannya. Kurang lebih 10 tahun lalu, di awal-awal masuk dunia kerja dan tinggal di kosan, saya dapati tetangga kos yang hampir tiap hari dikunjungi atau lebih tepatnya dikeloni teman laki-lakinya. Kalaupun selama kuliah saya juga ngekos, tapi ini cukup mengagetkan karena baru kali ini saya mendapati hal tersebut tepat di depan mata sendiri.

Merasa tak nyaman, saya pun mendatangi ibu kos untuk meminta penjelasan dengan harap perilaku tetangga kos saya tersebut setidaknya mendapatkan teguran. Sayangnya, kala saya tanya beliau kenapa membiarkan, dengan santai ibu kos yang bergelar hajah tersebut menjawab, "Maaf, Ibu mah nggak suka nyampurin urusan orang!" Jleb! Saya cuma bisa diam menghela nafas dan pindah kosan bulan besoknya.
Pada kenyataannya, ada hal yang kurang singkron jika kita benar membenci prilaku zina. Kita benci zina tapi tak berupaya mencegahnya. Zina seolah diakui sebagai gaya hidup kekinian sampai kita cuek saat anak cucu kita beranjak mendekatinya. Ya, apalagi orang lain yang cuma numpang tinggal. Seperti tanpa dosa dengan enteng kita bilang, "amaluna amalukum," tapi juga tetap mengunjingkannya saat akibat hina dari perbuatan itu nampak pasca pembiaran kita.

Hiburan

Apa sikap lazim kita terhadap mereka yang gaya dan sikapnya tak selaras dengan jenis jendernya? Risih tapi geli? Faktanya, kita menganggapnya sebagai hiburan. Menggodanya, menertawakannya, dan memelihara kelestariannya. hehe.. maaf.

Tak ada usaha untuk membuat mereka sembuh. Bahkan jika mereka kembali ke identitas awalnya, alih-alih bersyukur, kita malah tak rela kehilangan bahan guyonan. Iya nggk, Cyiiin...? Kondisi ini diperparah dengan tayangan televisi yang menjadikan bencong sebagai komoditas dalam banyak acaranya.

Padahal, jika pun perilaku seksual mereka tak menyimpang, sikap meniru-niru lawan jenis akan membuka jalan ke arah tersebut.

Pendidikan yang Salah

Tahukah Anda? Ada pertanyaan basa-basi yang sering dilontarkan orang dewasa terhadap anak-anak. Mungkin niatnya lucu-lucuan. Tapi bagi saya pribadi justru tidak lucu sama sekali. Orang dewasa yang canggung dan hendak membuka percakapan tak jarang bertanya, "Duh cakepnya, dah punya pacar belum?", "Pacarnya siapa, De?", atau apalah yang mungkin tak diniatkan serius, tapi tidakkah itu dapat membentuk persepsi anak bahwa pacaran adalah hal wajar atau bahkan keren.

"Loh!? Emang, pacaran nggak boleh? Gimana orangnya, kali." Bisa jadi poin ini malah membuka silang pendapat baru berujung pada predikat kolot, nggak peka zaman, dan tak jernih pikirnya orang yang sudah menghakimi pacaran sebagai perkara berbahaya. Ok, fine!

Gini loh, mau dulu mau sekarang, efek negatif dari hubungan dekat antara lawan jenis tetaplah menghawatirkan. Apalagi yang sejenis tapi kadung lengket; Konslet, Bro! Karenanya, tidak membuka peluang untuk itu dan berusaha menjauhinya adalah usaha terbaik.

Soal cinta, sesuai adat dan keyakinan, ada aturan jelas bagaimana kita memenej rasa ketertarikan kita terhadap lawan jenis. Terlebih untuk kapan dan usia berapa secara psikologis seseorang dapat menyalurkan ketertarikannya tersebut secara logis dan bertanggung jawab.

Rasa Iba

Satu hal besar yang membuat penolakan kita terhadap zina dan LGBT menjadi kontra produktif adalah perasaan kita. Kita benci perbuatan tersebut tapi tak berdaya saat kejadian terkait keduanya memapar anak, saudara, atau orang dekat kita.

Perasaan kasian kita sudah mengalahkan akal sehat apalagi sekedar norma norma-norma yang tak pasti sanksi hukum positifnya. Jangankan rajam dan cambuk sebagai konsekuensi hukum islam yang merupakan agama mayoritas di negeri ini, iba kita telah melahirkan kelonggaran dengan dalih asal bertanggung jawab dan adanya jawaban atas pertanyaan, "Kedepannya akan seperti apa?"

Perasaan kasian kita telah melemahkan segala usaha preventif dan lebih memilih solusi berupa kampanye penggunaan kondom dan seks sehat yang dengan kata lain kita telah membolehkan zina asal bertanggung jawab dan tidak menyusahkan orang sekitar. Naudzubillah! Bil khusus bagi seorang muslim, jadi Anda dimana saja selama ini?

Intinya dari uraian di atas adalah sebuah paradoks besar jika kita teriak marah dan kecewa atas putusan MK tapi pada prakteknya, ternyata, putusan MK adalah cerminan sikap kita sendiri.

Saudaraku, membangun kerangka hukum atas segala yang kita sendiri tak mau mematuhinya adalah kemustahilan atau mungkin malah menjadi bumerang jika itu terjadi.

Hematnya, untuk saat ini, berjuang melalui birokrasi yang benar dan kembali kepada norma serta keyakinan yang kita punya adalah usaha terbaik melawan zina dan LGBT. ya, itu pun jika kita yakin perkara tersebut tergolong perbuatan keji. wallahualam



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ketawa Karir

Prinsip-Prinsip Penilaian Aset / Properti

3 Metode Pendekatan Penilaian Properti Beserta Kekurangan dan Kelebihannya