Belajar Ikhlas dari Syeikh Kepala Ikan

The Power of Hungry. Mungkin itu yang cocok untuk judul dari foto kerangka ikan ini. Bukti bahwa lapar tidak bisa diobati dengan 'aral'..huehe

Dan hati-hatilah dengan lapar. Karena saat lapar, manusia bisa makan apa saja yang ada di hadapannya. Dari makanan yang ada di dapur sampai uang anak-anak murid yang ada di tabungan. Pinjem tentunya..hehe tapi inget ya, pinjem harus ada akadnya


Terlepas dari judul, niat saya up load gambar ini adalah mencegah orang yang melihat untuk 'kabita'. Tertarik, ingin mencoba, iri, bahkan jadi ngomel dan menganggap pengunggah pamer. Nah, klo cuma terkorak kepala sama duri ikan saja, saya pikir nggak ada kali ya orang yang masih nyinyir.

Naon sih 'nyiyir', teh? Baru kali ini saya pake kata itu, entah kenapa, kurang nyaman saya pake kata itu. Lagian, selama ini saya emang biasa membiarkan rambut saya apa adanya. Saya mah tidak berlebihan orangnya. Hep, ah..

Balik soal unggah tengkorak kepala dan duri ikan, saya ulang, niatnya tentu menghindar ria yang bisa membuat orang naik asam lambung dengan gejala ngomel-ngomel.

Iya, gituh? Yakin? Bukankah, saking jeniusnya pemerhati kita, dia bakal mampu merunut gambar kerangka itu dari awal penciptaan sampe kembali menjadi ikan utuh dengan bumbu asam manis di atasnya?

Dan result-nya tetep.. "Halah, pamer dah makan ikan bakar. Baru bisa makan yang mahalan dikit juga dah jekrek aplod."
Wow.. bisa sampe gitu, lo! Jadi, emang dasar persfektif bisa menentukan hasil akhir. Dan itu tak bisa kita protes dan tak perlu juga diklarifikasi karena per..cu..ma.. wkk..
Dasar niat kita ada di hati kita, bukan di lisan.

Ngomongin kepala ikan, saya pernah dapet cerita tetang pelajaran ikhlas di sebuah buku motivasi pas jaman-jamannya rajin baca buku golongan itu. (Maklum, selain untuk bekal manajemen diri, dulu banyak permintaan konseling. Sayang, permintaan tersebut datang dari pasar emosional sehingga tidak menghasilkan dan jika dulu tiap hari hp sibuk, sekarang dua hari tak ditengok pun hp aman..haha)

Ceritanya berjudul 'Syeikh Kepala Ikan'.
Agak lupa-lupa lagi, jadi maaf kalo tidak lengkap dan terdengar seperti kumur-kumur.
Jadi, di satu tempat terdapatlah seorang alim, guru agama, dan juga berprofesi sebagai nelayan. Luar biasanya, ikan hasil tangkapan selalu dia bagikan dan hanya menyisakan kepakanya saja untuk beliau makan. Beliau begitu sederhana dan bersahaja dan tak nampak kemewahan jadi tujuan dalam hidupnya.

Melihat sosok seperti itu, tentu murid-muridnya bangga dan merasa beruntung mendapat guru yang pantas diteladani.

Suatu saat, diceritakan salah satu murid hendak melakukan perjalanan ke suatu tempat yang cukup jauh. Jika daerah Syeikh Kepala Ikan, pesisir, kita sebut saja bunga sebagai tujuan Sang Murid.. eh, 'gunung', maksudnya.

Ingat di gunung ada juga teman sejawatnya, Syeikh Kepala Ikan berpesan agar Sang Murid mampir ke tempat temannya dan menyampaikan salam darinya.

Pergilah Sang Murid dan setelah beberapa lama sampai juga dia di gunung. Setelah selesai urusan dan singgah di teman gurunya. Sang Murid agak tidak nyaman melihat teman Sang Guru hidup dalam kenewahan dan bergelimang harta. Beda 180 derajat dari gurunya.

Namun, amanah tetaplah amanah dan dia harus sampaikan salam Sang Guru kepada temannya.
Tak lama Sang Murid di sana, kembalilah dia ke pesisir dengan penuh prasangka dan keheranan melihat kenyataan yang baru dia saksikan. Sesampainya dia berjumpa kembali dengan Syeikh Kepala Ikan, Sang Guru tersebut bertanya.

"Muridku, adakah pesan yang temanku titipkan padamu?"
Dengan ragu dia menjawab, "Ada syeikh, tapi mungkin beliau keliru."
"Apa pesannya? Katakan saja." Syeikh kembali bertanya.
"Beliau berpesan agar syeikh jangan terus memikirkan dunia." Jawab, Sang Murid.
Setelah sejenak terdiam, Syeikh Kepala Ikan tersenyum dan berkata.
"Beliau benar, Muridku. Selama ini aku mendermakan seluruh ikan hasil tangkapanku dan hanya menyisakan kepalanya saja untuk kumakan. Namun, saat hendak makan dan melihat kepala ikan di piring, aku suka berangan dan berharap andaikan saja ikan di piring ini utuh. Bukan kepalanya saja."

Jadi... yang terlihat saja belum tentu ikhlas , apalagi yang terucap..


Dan jangan lupa, tidak ada yang berhak memaknai maksud pengunggah foto selain pengunggah itu sendiri! Angger...haha

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ketawa Karir

"Hirup Tong Kagok Ngan Tong Ngagokan!" Masih Mencoba Menyelami Colotehan Ustad Evie Effendi

3 Metode Pendekatan Penilaian Properti Beserta Kekurangan dan Kelebihannya