Sawah, Sebuah Cerpen
Sawah
Sudah
sangat berbeda, pesawahan itu kini tinggal menyisakan dua garis pematang yang
memisahkan 3 sisi petak-petak sawah di kiri dan kanannya. Panjang masing-masing
pematang tak lebih dari 200 meter. Jumlah petak sawahnya pun tinggal tujuh
belas. Persis usiaku sekarang. Kontras dengan 13 tahun lalu saat aku dan
bapakku sering duduk di pinggir pematang yang sudah dilapis semen dan lebih
mirip jalan gang daripada galengan.
Sedari
dulu, pematang tengah pesawahan ini memang telah dibuat lebih kokoh karena difungsikan
bukan sekedar pembatas hak para pemilik sawah tetapi juga jalan penghubung
antara kampungku dengan jalan desa. Karenanya, pematang ini lebih sering
diinjaki ban sepeda motor daripada kaki kerbau yang hendak membajak sawah.
Kerbau yang membajak sawah.
Ya, itulah alasanku kerap kali merengek minta jalan-jalan ke sawah pada
bapakku. Biasanya, bapakku sudah duduk di kursi depan ditemani kopi hitam
beraroma khas. Jika aroma kopi sudah kucium, mata sepet yang malas membukakan
kelopak pun kupaksa dibawa berjalan ke luar kamar menuju teras tempat bapakku
menikmati kopinya. Jika beliau
sudah duduk di sana, itu tandanya hari libur dan beliau siap menemaniku
menelusuri pematang di segarnya udara pagi pesawahan.
Perjalanan kami diawali dengan menyisir gang kampung yang
berujung di rumah Pak Ketua RW. Sisi paling timur perkampungan yang dibatasi selokan
penyambung air ke setiap petak sawah yang masih tersisa di pinggir kampung.
Tinggal menyebrang jembatan kecil sekira 2 meter, areal pesawahan favorit kami
berdua telah terhampar.
Tak begitu luas memang, jika sempat menghitung, luasnya
takkan jauh dari 200 hektar. Tentu, ini tak adil jika dibandingkan dengan luas pesawahan
di daerah jawa tengah yang tanahnya lebih datar dari Tatar Sunda. Pun masih
sama di pasundan, luas pesawahan di kampungku juga tak layak disanding dengan hampar luas sawah di
kabupaten-kabupaten penghasil beras di jawa barat seperti kerawang, cianjur,
dan sumedang. Pesawahan pertama yang kukenal ini sebatas lahan sisa di pinggir Kota
Bandung yang belum dilahap nafsu deplover lapar untung. Bagusnya, aku jadi bisa
mencicipi sejuk embun di ujung padi yang sesekali menyentuh kaki kecilku kala
itu. Setali tiga uang, bersyukur, bapakku lebih memilih mengenalkanku pada indahnya alam
daripada serunya main PS 3.
Jika hari baik dan memang musimnya membajak sawah, setelah
tak lama berjalan masuk pesawahan, selalu saja kami dapati satu atau
dua kerbau yang tengah digiring petani membajak sawahnya. Jika kerbau pertama
telah tampak, bapakku pasti berseru, "Badar, ada kerbau!" Kami pun
akan berhenti sejenak dan duduk di pinggir pematang petak sawah yang sedang
dibajak.
Ini sebuah tontonan seru bagiku waktu itu. Spongesbob
atau Boboboi tak ada apa-apanya dibanding pertunjukan "Pak tani dengan
Kerbau yang dicocok hidung". Itulah sebutan yang diberikan bapakku pada gambar
situasi yang kerap kali kami tongkrongi itu. Entah apa musabab, atau mungkin kesemua anak selalu
tertarik dengan makhluk yang langka dia temui, aku benar-benar menikmatinya.
Pandangku takkan lepas walau sekejap mengikuti setiap
laju kerbau setapak demi setapak sampai berbalik di ujung petak sawah. Berulang
dari sisi terjauh sampai akhirnya mendekat ke tempat kami terduduk.
"Pa! Pa! Kerbaunya deket! Itu.. Kerbaunya ke sini,
Pa!" Aku bersorak kegirangan. Tak berhenti aku terus berceloteh sampai
Sang Kerbau kembali beranjak menjauh. Biasanya bapakku
cuma tersenyum dan berkata, "iya." Mungkin itu jawaban paling
proporsional menurutnya. Kecuali aku kembali bertanya, baru beliau akan
memberikan jawaban sembari mengelus lembut kepalaku.
Pernah
suatu kali, saat kami duduk berdampingan di tepi pematang demi menikmati aksi Pak
Tani dan kerbaunya yang
dicocok hidung, bapakku tampak memperhatikan dua makhluk di depan kami itu
dengan lebih serius. Kalaupun bukan tatapan tajam, pandangan bapakku yang terus
terarah mengikuti gerak Sang Kerbau
dan Pak Tani menandakan ada yang dipikirkan di balik pandangannya itu. Ini
tidak biasa. Entah ide, pertanyaan, atau mungkin fakta yang baru dia temukan
kala melihat kerbau, aku tidak tahu. Bapakku memang unik, tak jarang beliau
mendapatkan pemikiran baru dari hal-hal yang bisa jadi untuk kebanyakan orang
adalah biasa atau bahkan tak lazim.
Tidak
kebanyakan orang yang sempat, dengan
isengnya, menyandingkan opera
politik dengan fenomena di lapangan bola atau memilih pergi ke Lembang dari Cibiru; sekeluarga, dengan motor matic via Jalan Palintang menembus Hutan Perhutani Bukit Unggul yang kala itu
jalannya masih berbatu dan sangat sepi. Bagiku, hanya bapakku yang mampu,
tepatnya, mau nyleneh seperti itu.
Melihat
bapakku lama terdiam, sekedar mencuri perhatiannya, aku mengajukan pertanyaan
yang tidak penting "Pa.. Bapa.. itu kerbau dicocok hidung?"
Dua kali aku bertanya, baru pandangan beliau beralih ke arahku. Itu pun tak langsung beliau jawab. Tangannya yang lebih dulu menyentuh rambutku dan mengelusnya dengan lembut. Sepertinya beliau memang sedang larut dalam lamunnya.
"Bukan,"
jawabnya pelan.
"Hah.. Apa,
Pa?"
Tentu saja aku jadi bingung. Bukankah beliau yang sebelumnya menyebut makhluk
mainan Pak Tani ini sebagai kerbau dicocok hidung?
Tak
ingin membiarkanku lama dalam bingung, kalimat susulan akhirnya datang dari lisan
beliau, "Iya, kamu benar Badar! Itu kerbau dicocok hidung. Maksud Bapak,
banyak juga kerbau dicocok hidung yang berkeliaran justru bukan di sawah."
"Dimana, Pa?"
Seperti anak kecil pada umumnya yang selalu ingin tahu, pikir polosku menemukan
pertanyaan baru.
"Dimana-mana,
nanti juga kamu pasti bertemu." Tutup beliau juga sambil tersenyum.
***
Aku tidak ingat secara persis percakapan kami tentang kerbau yang dicocok hidung. Lagi pula, saat itu, aku tak begitu tertarik dengan penjelasan bapakku tentang kerbau lain di luar sana. Bagiku yang masih menikmati indahnya dunia anak, kerbau yang membajak sawah sudah sangat mempesona tanpa harus mencari kerbau lain sebagai pembanding. Sayang, jika harus kusiakan tontonan itu dengan mengejar penjelasan tambahan beliau soal kerbau.
Aku tidak ingat secara persis percakapan kami tentang kerbau yang dicocok hidung. Lagi pula, saat itu, aku tak begitu tertarik dengan penjelasan bapakku tentang kerbau lain di luar sana. Bagiku yang masih menikmati indahnya dunia anak, kerbau yang membajak sawah sudah sangat mempesona tanpa harus mencari kerbau lain sebagai pembanding. Sayang, jika harus kusiakan tontonan itu dengan mengejar penjelasan tambahan beliau soal kerbau.
Seiring
berganti hari, percakapan kami
berlalu tanpa sempat kucari tahu maksudnya. Aku tidak pernah bertanya lagi, dan
mungkin memang bukan urusan yang perlu dipahami
anak usia 4 tahun di tengah sibuknya dia bermain. Dimana dan seperti apa rupa kerbau dicocok hidung yang lain, akhirnya tidak pernah kuketahui.
Lewat satu dasawarsa,
jalan-jalan ke sawah semakin jarang dan hampir tidak pernah kami lakukan di
tahun-tahun terakhir. Memang, sejak bapakku keluar dari tempat kerjanya dan memilih
menjalani dunia yang dia cintai, kesibukan beliau tidak lagi berkutat di hari
kerja senin sampai jum'at. Sayangnya, kalaupun waktu di rumahnya lebih banyak, agenda beliau jadi lebih sering ada di hari sabtu dan minggu. Di sisi lain, waktu
luangku di luar sekolah justru ada di akhir pekan tersebut. Waktu
bersama kami pun berganti dari hari libur menjadi hampir tiap hari di sore atau
malam hari, di sela beliau lepas dari notebooknya.
Seolah sudah dirancang, selanjutnya, aku jadi lebih sering diajaknya berbincang daripada jalan-jalan. "Luar biasa!" pikirku. Kalau pun keputusan bapakku keluar kerja sempat menjadi perbincangan keluarga, kehidupan kami yang tampak nyaman waktu itu justru berganti menjadi kenyamanan yang sesungguhnya di saat ini.
Seolah sudah dirancang, selanjutnya, aku jadi lebih sering diajaknya berbincang daripada jalan-jalan. "Luar biasa!" pikirku. Kalau pun keputusan bapakku keluar kerja sempat menjadi perbincangan keluarga, kehidupan kami yang tampak nyaman waktu itu justru berganti menjadi kenyamanan yang sesungguhnya di saat ini.
Melalui
bincang rutin kami, banyak hal yang aku pelajari dan mulai pahami tentang
pandangan hidup beliau. Bisa jadi hal ini hanya pandangan subjektif seorang
anak terhadap bapaknya. Tapi paling tidak, Bapakku sedikit berbeda dengan orang
kebanyakan. Dan ternyata, bedanya bukan sekedar soal bahasan politik dan jalan
alternatif Lembang--Cibiru.
Dari banyaknya perbincangan, bincang
menarik pernah terjadi ketika bapakku
bercerita soal tempat kerjanya dulu. Tempat yang begitu beliau sayangi dan banggakan.
Lucunya, beliau bilang, keluar dari sana adalah keputusan terbaik yang pernah
dia ambil. Yang berat dia tinggalkan hanyalah
suasana kekeluargaan dan nilai kejujuran di
sana yang kian hari makin pudar.
Kerbau dicocok hidung, dok.pribadi |
Orientasi
pencapaian perusahaan
sudah menjadi hal yang utama. Seperti tak punya pilihan, para pegawai tingkat bawah harus menjalankan
keputusan atasan yang tak jarang keluar
dari ketentuan. Semua tunduk di bawah
bayangan cicilan mobil yang baru mulai, atau bonus tahunan yang diancam tak akan cair. “Mirip kerbau dicocok
hidung,” lanjut
bapak. Akibatnya, kebohongan dan manipulasi
jadi semakin mudah dijumpai sampai
akhirnya beliau tak sanggup lagi menutup mata untuk
kenyataan yang menghancurkan kebanggaannya selama ini. Menurut beliau, jika
satu lembaga sudah melenceng dari visinya, sebesar apa pun untung yang didapat
dan sepesat apa pun perkembangan yang dicapai, mutlak, lembaga itu telah gagal.
Ah, ternyata beliau tidak lupa untuk memberikan jawaban dari pertanyaaanku
dulu. Penjelasan bapak akhirnya menyambung obrolan kami belasan tahun lalu di pematang
sawah. Tepat, jawaban itu datang ketika aku memang sudah bisa pahami arti lain dari
sebuah ungkapan. Aku pun sekarang paham, hanya waktu yang membuatnya kala itu berujar seperlunya dan
membiarkannku kembali mengamati Pak Tani dan Sang Kerbau yang dicocok hidung.
***
***
Sampai di ujung petak
sawah yang paling pinggir, pertujukan tanpa karcis yang kami saksikan akhirnya
usai. Pa Tani pun menuntun Si Kerbau naik dari pekatnya lumpur sawah. Tak
menunggu mereka benar-benar meninggalkan sawah, bapak bangkit dari duduknya sambil setengah
mengangkat tanganku mengajak menyelesaikan perjalanan pagi kami.
***
Lama menunggu di teras rumah, kopi hitamku hampir
habis dan matahari pun sudah terlalu tinggi pagi ini. Sepertinya, rencana jalan
– jalan ke sawah dengan Badar akan gagal. Kutengok ke kamar tidur, anakku masih
terlelap dengan nyenyaknya. “Jadi lihat sawah nggak, Nak?” bisikku dengan
pelan. Dia hanya bearanjak mengganti
posisi tidurnya tanpa menjawab. “Baiklah, mimpi yang indah, Nak! Kalaupun hari
ini kita tak jadi pergi ke sawah, semoga yang Bapak pikirkan, itu yang kau
ceritakan dewasa nanti!”
(c) Andris
Susanto
Komentar
Posting Komentar