Isteri Orang, Sebuah Cerpen

Isteri Orang


Ilustrasi Pasangan
Seolah turun meniti tangga panjang yang di kedua sisi penuh warna - warni bunga nan indah, kedekatan kami terus mengalir tanpa terasa. Kian dekat, semakin dekat, bahkan terlalu dekat untuk sekedar rekan kerja.

Semua seperti dirancang untuk membawa kami semakin terikat satu sama lain. Dimulai dari datangnya dia dari luar kota sebagai atasanku, kebutuhannya untuk mengetahui wilayah kerja, karakteristik karyawan, sampai untuk sekedar tempat tinggal yang nyaman, semua aku yang menyiapkan.

Bukan aku yang mencari kesempatan. Sungguh, tak perlu aku mencari kesempatan. Dan jika itu kulakukan, justru mungkin dia sudah pergi dan menghindar karena curiga. Tapi itu lebih baik sebenarnya.

Lebih baik meski dari banyak kesenangan yang kami rasakan.

Tapi apalah dayaku, pesonanya terlalu kuat untuk kusingkap. Dia bukan sekedar perempuan yang berbeda gender dengan pria. Dia adalah wanita yang mampu memberikan kesempurnaan bagi laki-laki. Takaran badannya pas, tak kurang dan tak lebih, untuk dikatakan ideal dan disanding dengan parasnya yang rupawan tak terbandingkan.

Pola pikirnya jelas dengan banyak gagasan cerdas yang selalu muncul saat dibutuhkan. Bahkan, bagiku, dia adalah wanita yang paling rasional otaknya. Gaya rambutnya, fashion, gestur, dan lagi, dan lagi, terlalu banyak jika harus kuungkap semua.

Dan memang tak perlu kuungkap karena itu hanya semakin membuatku tenggelam dalam kekaguman sampai ucapan kasarnya sesekali saat marah nyaris tak akan pernah aku ingat. Sedikit maklum karena posisinya sebagai atasan yang punya kewenangan di samping beban kerja yang tak ringan, cukup rasanya untuk menghapus sedikit kurangnya itu.

Tapi dia isteri orang.

Paling, hanya kenyataan itu yang kadang mengganjal, kalaupun sering kunafikan saja sebab tak adil untuk segala kelebihan dan keindahannya.

Iya, dia isteri orang dan aku pun terikat ikrar sakral terhadap anak mertuaku. Tapi, ya.. semua mengalir begitu saja.

Sekali sempat aku bimbang dalam kadar sangat. Selain sudah banyak teman yang mengingatkan, hati kecilku terus berbisik bahwa langkahku salah. Ini zina dan tidak benar atas dasar hukum apa pun yang aku anut. Bimbang hati itu bahkan sudah menjalar ke rupaku. Wajahku murung merespon sinyal negatif tersebut.

Kala itu juga, tanpa tanya kenapa, dia menyapa dan memelukku untuk membuat aku tenang.

"Tak ada yang salah dengan kasih sayang kita," ujarnya lembut." Rasa itu anugerah dan tak perlu ditolak."
"Tapi cara kita salah," sangkalku.
"Atas dasar apa?" Tanyanya.
"Hukum! Aku masih mengakuinya kalaupun mungkin tak memahami sepenuhnya." Jawabku serius.
"Ah, kamu jangan mau dibohongi pakai KUHP pasal 284." Jawabnya enteng tak terduga.
Entah sekedar becanda atau pemahamannya yang terlalu cerdas, "teks itu buatan belanda dulu, tak ada yang tahu maksudnya selain orang belanda itu sendiri," dia meneruskan sambil tersenyum.
"Masalahnya, aku masih manut dan tidak menilai kitab itu sebagai alat kebohongan," lirih hatiku yang tak pernah terucap lisan.

Seperti kusebut berulang, pesonanya terlalu kuat dan kekaguman terhadapnya sudah hampir mengusai nalarku seutuhnya.
Akhirnya, sedikit susah aku cerna, tapi kubalas saja senyumnya seraya melupakan obrolan itu pernah ada.
Dan benar saja, semua berjalan lancar dan baik-baik saja. Kekhawatiran dan ketakutan teman-temanku hanya asumsi-asumsi yang berlebihan dan biang bising tak karuan.

Ingin rasanya kuteriaki mereka, "Weiy, jangan sok usil ngurus urusan orang! Toh, keluargaku juga anteng-anteng saja."

Saran aku, daripada bising tak karuan, baiknya mereka pergi saja piknik atau sekedar kongkaw ngopi di kafe mahal sesekali seperti aku dan dia kali ini.

Oh, andai saja sekarang mereka di sini, maka akan juga kujelaskan bahwa semua segera usai setelah suaminya datang dan mengakhiri ceritanya. Dan semua anteng-anteng saja.

Ya, semua anteng-anteng saja sampai ternyata sianida itu justru dia tabur dikopiku bukan kopi suaminya.

Bandung, 161016

*Sayangilah isterimu karena secantik, sebaik, dan sesholehah apapun "tampaknya" isteri orang, yang mau gantiin popok saat anak kamu pup adalah isterimu.
*Sejinak-jinaknya ular tetaplah ular yang siap memangsamu jika dia lapar dan berkesempatan.
#JikaCumaYgNulisYgBerhakNafsir (c) Andris Susanto

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ketawa Karir

"Hirup Tong Kagok Ngan Tong Ngagokan!" Masih Mencoba Menyelami Colotehan Ustad Evie Effendi

3 Metode Pendekatan Penilaian Properti Beserta Kekurangan dan Kelebihannya