Tahu Diri

dok.pribadi


Gema tahrim mengiring terjagaku di sepenggal waktu sebelum subuh tadi pagi. Bersyukur, akhir-akhir ini aku selalu tertidur di sekitaran jam 10 malam, karenanya bisa terbangun sebelum subuh datang. Alhamdulillah! Entah itu tak sengaja tertidur di ruang tamu, depan tivi, atau memang terlelap di atas kasur dengan headset masih terpasang. Gimana datangnya kantuk mengatup mata saja.

.

 

Syukurnya lagi, kini hampir selalu kuucap Puji kepada Sang Illahi atas kesempatan yang Dia Beri untukku membuka mata kembali. Ritual yang umumnya hanya populer di rentang usia 5—10, ya? Puji syukur bagi-Mu yang telah Menghidupkan kembali kami setelah Mematikan, dan hanya kepada-Mu kami Dibangkitkan.

.

 

Kenapa? Ya, karena aku dipaksa untuk itu.

.

 

Terlalu banyak lintasan peristiwa yang memaksaku untuk mengakui bahwa tak ada kuasa sedikitpun diri ini untuk memastikan satu dua jenak ke depan hidup akan berjalan sebagaimana biasanya. Ya, biasanya sekalipun! Tak usah ditambah embel-embel yang diharapkan.

.

 

Bukankah para supporter yang menjadi korban tempo hari juga sebelumnya yakin akan kembali pulang ke rumah? Tidakkah tiga anak MTS kemarin juga berencana bermain futsal di akhir pekan? Atau yang paling kontekstual dengan dua paragraf di atas, teranggaku yang berjualan sayur di pasar waktu itu pun pasti dia pergi membuka kiosnya andai saja pagi itu dia kembali membuka mata dan terbangun seperti biasa selepas lelapnya. Tapi nyatanya tidak.

.

 

Jadi, apanya yang perlu dibanggakan apalagi disombongkan? Hehe.... maaf. Mungkin aku sedikit terpengaruh dengan segala kisruh di Wakanda. Bukan indonesia, tentu saja!

.

 

Banyak ketinggalan, karena asyik nyambi jual buah-buahan, sedikit heran saja lihat muncul adanya letupan. Sepertinya, pikiranku lagi sehat sehingga tak terlalu tertarik untuk ikut-ikutan berkomentar. Biarlah mereka sibuk soal pencalonan, atau sewot soal kekerasan rumah tangga orang; lima ribu dari per satu kilo alpukat atau sepaket strawberry cukup mendatangkan hiburan untukku. Setidaknya, itu membuatku kembali belajar untuk bersyukur atas segala karunia yang biasanya hanya dipikir sebagai hak yang mesti diterima semata.

.

 

Astagfirullah... mohon ampun aku atas kesombongan diri, tak sadar bahwa segala dipunya bisa lenyap kapanpun juga. Getirnya, tak ada tawar, kita harus menerima jika hilang dipunya pada waktunya berujung nyata. Tak ada pilihan selain “nerimo”. Tawakal atau pasrah, setelah usaha maksimal telah dicoba.

.

 

Dan nyatanya, itulah puncak kearifan yang bisa dicapai oleh seorang manusia. Sadar bahwa daya dirinya tak miliki kuasa apapun atas kehendak yang Kuasa. Wallahualam.

.

 

Sapa pagi untuk semua penghuni bumi! Semoga keberkahan senantiasa menemani!

.

 

Papi Badar,

Bandung, 08102022

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ketawa Karir

Prinsip-Prinsip Penilaian Aset / Properti

3 Metode Pendekatan Penilaian Properti Beserta Kekurangan dan Kelebihannya