Sempurna (cerpen)

Purnama (pixabay.com)

“Kurang ajar!” Amarahku naik ke ubun-ubun tanpa perlu menunggu jeda untuk mengatur nafas dan ritme jantung yang tiba-tiba naik temponya mirip lagu perfect, miliknya Ed Shareen, yang dibawakan dalam versi koplo. Jangankan sunyi malam, aroma terapi dari pengharum ruangan di atas meja rias yang tak pernah kubiarkan kosong pun tak mampu lagi menebarkan ketenangan di dalam benakku. Jika saja gambar yang kutatap nanar saat ini serupa foto kami berdua, aku dan suami, yang masih setia kuselipkan di dompet lepet yang usia keduanya hampir sama tua; pasti sudah kuremas, kuinjak-injak, untuk kemudian kupungut kembali dan kumutilasi sampai potongan-potongan terkecil yang tak mungkin bisa lagi membentuk rupa mereka berdua—suamiku dan kekasih lain-nya.
Sayang, nafsuku tak temui jalannya. Foto mereka bukan tercetak di atas kertas. Wajah sumringah menyebalkan itu menempel di layar gawai suamiku yang kini sedang mendengkur mirip kebo kelelahan setelah membajak berhektar sawah. Saking antengnya, sampai saat kucuri jarinya untuk membuka gembok dari benda gepeng ini pun, dia masih saja lenyap dalam lelapnya.
Sementara untuk langsung membanting ponsel ini ke lantai... tidak. Bukan ide yang bagus. Berserak dan hanya akan memendar puing-puing di lantai dan pikiran yang sore tadi baru kulicinkan sebersih dan sewangi mungkin. Bodoh sekali jika aku harus berbuat semacam itu, kan? Kotoran kucing yang bertebar sembarang saja lebih layak aku bersihkan dibanding lantai yang berhambur puing sekira aku menurut murka. Kucing tak punyai akal, aku punya.
Tapi, pun sebentuk foto cetak, sepertinya aku tetap tak akan nekad juga untuk berbuat demikian. Hehe ... maaf. Kasar tak beraturan bukanlah cara yang patut dilaku orang-orang yang memiliki pikiran jangkep sepertiku.
Dan lagi, heran, kenapa bisa dia memilih selingkuhan yang tak lebih cantik, langsing, dan rapi, daripada aku; istrinya yang selalu tampil sempurna? Ya, paling tidak, itu menurutku dan beberapa teman di kantorku dulu.
Jadi, alih-alih merecah gambar norak mereka apalagi meraih pisau dapur untuk membuyar isi perut makhluk dungu di dekatku ini, aku memilih meredakan marah, mengulur nafas, dan menenang debar yang bergejolak di dada ini. Aku harus menang dengan elegan. Memang, nestapa semacam ini baru kali pertama kualami; tapi, jika menilik head to head antara aku dengan perempuan kampungan di foto ini, sepertinya, situasi pelik ini akan dengan mudah bisa kuatasi. Kuncinya adalah tenang dan tidak reaksioner; seperti itulah pesan yang tertulis di salah satu halaman buku manajemen yang pernah aku baca. Jadi, untuk sementara ini, biarlah suamiku tuntaskan nyenyaknya dulu. Esok pagi, dengan sentuhan tepat, dia pasti menyesali semuanya dan sadar betapa bodohnya telah berani menghianatiku.
Pun diriku yang masih menggenggam marah. Di peraduan terindah ini, kan kucoba menahan sesak demi menyempat raga menuai hak lahiriahnya. Berhibernasi minimal lima jam di malam hari tetap harus dilalui.
Berharap kantuk segera membawaku pergi dari gulana ini, usaha menjemput mimpi ternyata tak seenteng aku menyusun daftar aktivitas yang harus kulalui sehari-hari. Ah, bagaimana aku bisa lupa jika untuk sekadar tidur saja, aku harus memastikan bahwa segala sesuatunya telah sesuai rencana tanpa ada satu pun yang terlewati.
Tik tak tik tak. Bunyi detik jam pun tak kunjung hilang dari runguku walau telah dua jam lebih aku mencoba memejamkan mata. "Apakah ini ujung kebersamaan kita, Ryan?" Aku berbisik pelan di telinga suamiku. Sepi, dia hanya membalas dengan dengkuran. 
"Ryan, tega benar kau mengkhianatiku! Kurang sempurna apa diriku ini?" Semakin parah, lirihku menegaskan bahwa untuk urusan ini, ternyata hatiku tak mampu berdamai meski sekejap saja. Kompak, kepalaku ikut disesaki oleh kenangan manis kami yang kembali terguar. Mereka hadir dan seolah tampak nyata di depan mata setelah memoriku memutarkan kembali semuanya tanpa diminta. Wajar, kan? Tidakkah lima belas tahun sangatlah cukup untuk menumpuk kepingan demi kepingan indah dari kisah kami berdua? Sial, air mata yang mulai menggenang di kedua kelopak bawah mataku lebih dulu mengamini tanya itu sebelum hatiku meng-iya-kannya.
Apa ini berarti kemarahanku telah berlanjut menjadi kesedihan? Baiklah, aku memang kecewa. Tapi, kekecewaanku bukan semata karena kecurangan suamiku. Perasaan itu muncul lebih karena telah payahnya aku menjaga keutuhan hubungan ini. Demi anak semata wayang kami yang kini telah bujang, demi suami yang, tadinya, kuyakini bisa menjadi jalan terbaik untukku meraih kesempurnaan hidup. Coba saja dulu kutahu akan berlanjut seperti ini, tentu, akan telah kuubah haluan setiap kali kesempatan itu datang. Toh, tak selalu perjalanan rumah tangga kami berlangsung manis; tak melulu juga (maaf saja) suamiku tanpa saingan.
Suamiku mungkin tak tahu (mana mungkin dia tahu) alasan aku berhenti dari pekerjaan saja, sebenarnya, bukan semata karena ingin fokus mengabdi di keluarga. Maaf, alasan itu terlalu agung untuk mengimbangi pendapatan suamiku yang kala itu tidak seberapa. Ketakutan akan semakin jatuh hatinya aku pada seseorang di kantor, lebih menjadi pertimbanganku untuk mengambil keputusan tersebut. Chandra, atasanku, mulai menunjukan ketertarikannya pada diriku. Pun sebaliknya aku.
Bukan hanya karena posisinya sebagai manager keuangan, pesona Chandra memang di luar takaran biasa untuk ukuran papa muda. Cerdas, ramah, dengan tampang yang dijamin nggak bikin malu yang bawa—hanya kurang satu—dua strip untuk dibilang tampan—dijamin mampu membuat perempuan normal mana pun meleleh bebalnya untuk keukeuh bilang bahwa suaminya di rumahlah, pria, yang paling layak untuk dipuja.
Jalan setengah tahun aku diangkat menjadi bawahan langsungnya, kedekatan sekaligus kesempatanku untuk masuk ke ranah pribadinya kian terbuka lebar. Terlebih, dia sendiri yang memang membukakan ruang untuk itu. Apa aku tega mengambilnya? Tidak. Aku tak sebodoh suamiku. Sebagai seorang yang memiliki analisa tajam dan mendalam, nalarku mengatakan, mempertahankan tatanan yang telah terbangun akan selalu menjadi pilihan terbaik dibandingkan harus merintis pondasi baru yang belum tentu mampu tegak berdiri. Karenanya, setelah tiga kali kami makan malam berdua, ajakan check in dari Chandra menjadi percakapan terakhirku dengannya.
Keputusan itu terbukti tepat. Ya, minimal sampai dua bulan ke belakang, atau puncaknya, tiga jam yang lalu; sebelum kutemukan bukti bahwa suamiku selingkuh. Usaha butikku semakin berkembang, karir suamiku terus menanjak, dan anak kami jadi lebih terurus dan menurut. Tengok saja, tanpa protes, dia bersedia untuk dimasukan ke boarding school.
Bibirku akhirnya mengulum senyum. Sebuah perayaan sederhana yang selama ini selalu aku lewatkan. Padahal kenapa tidak, bukankah itu sebuah pencapaian? Entahlah. Jika iya, kenapa malah lelehan bening ini terus berarak pelan meninggalkan katupnya yang tertutup? Memalukan, air mataku tak henti mengalir sampai di penghujung malam. Dan akhirnya, aku tertidur juga.

***
Dengan mata yang menyisa sembab bekas semalam, beberapa sajian pagi telah kusiapkan di meja makan. Roti tawar dengan telur mata sapi setengah matang, kopi, dan beberapa biskuit, telah tertata rapi di sana. Setiap hari, kami memang berpencar menuju tempat beraktivitas masing-masing, namun, kami tak pernah alpa untuk menikmati sarapan bersama di awal hari. Hal ini telah menjadi ritual kami di ruang makan. Ruang yang paling asri di rumah ini karena hanya dibatasi oleh pintu dan jendela kaca dengan halaman belakang kami.
"Kopinya mau dikasih gula, Mas?" Aku bertanya sedatar mungkin. Mencoba menunjukan bahwa semua baik-baik saja.
"Nggak apa, De! Biar nanti aku tambahkan sesukaku," jawab suamiku sambil sibuk mengucek rambutnya dengan handuk.
Mmh ... kebiasaan. Sudah lengkap dengan setelan kerja, sambil berjalan menuju tempatnya duduk, suamiku masih saja mengucek-ngucek rambutnya dengan handuk. Sungguh tidak efektif dan tak elok dipandang mata. Aku sampai bosan untuk mengingatkan perilakunya yang tanpa aturan. Dan sayangnya, bukan itu saja!
"Mari kita sarapan!" Sambil tersenyum polos suamiku menarik kursi makan, menaruh handuk di sandarannya, dan duduk tanpa dosa.
Mendapatinya, mataku yang kurang rehat terasa menjadi semakin keset, "Kebiasaan. Sini handuknya, Mas!" Dengan nada sedikit naik, aku meminta handuk suamiku.
Terlihat sedikit kaget, sejenak dia menghentikan tangannya yang hendak meraih cangkir kopi dan refleks mengalihkan pandang ke arahku, "Hoh?" heran suamiku.
Rupanya aku terpancing emosi. Handuk sialan itu menggoyahkan konsentrasiku. "Nggak.... Maksudku, nanti kemejamu basah. Sini, biar aku menyimpannya di rak handuk," buruku mengoreksi.
"Biar saja! Aku nggak nyender ini," jawab suamiku ketus.
Makin saja kupingku panas mendengarnya. "Bukan begitu, Mas! Semua ada aturannya. Tempat handuk, ya, bukan di sandaran kursi!" Kacau, dalam suasana tak kondusif seperti itu, aku tak bisa lagi menahan emosi.
Hening, kami berdua diam dalam posisi saling beradu pandang. Situasi itu memang tak berlangsung lama, namun demikian, cukuplah momen tersebut menerangkan bahwa masing-masing di antara kami telah lama menyimpan kekesalan satu sama lainnya.
"Hmm.... Terbukti, kan?" Tiba-tiba suamiku memecah keheningan dengan tanya yang tak kupahami apa maksudnya. Dia tersenyum sinis.
"Maksudmu?"
"Kamu tak benar-benar peduli aku. Apa yang kamu lakukan, berikan, semua hanya berorientasi pada pemenuhan egomu sendiri," timpalnya.
"Ngaco, kamu!"
"Lihat saja! Tadi kamu bilang takut kemejaku basah. Nyatanya, kamu hanya risih melihat ada handuk di kursi makan, kan?"
"Memang bukan tempatnya, kan?"
"Ya, nanti juga aku pindahin."
"Kapan? Kalau aku udah ngingetin kamu terus?"
"Yang penting pindah."
"Kalau nggak? Kalau aku nggak ngingetin kamu, mau dibiarin sampai buluk di sandaran kursi?"
"Lah, kok? Memangnya aku setolol itu?"
"Nggak tahu, ya! Jawab saja sendiri! jawabku kesal. “Sekalian jawab juga, apa kamu akan terus menyelingkuhiku sekiranya tidak aku pergoki?" tutupku dengan marah.
Kali ini suamiku benar-benar kaget. Dia menatapku datar dengan mulut terbuka lebar. Tapi membisu. Dia tak mampu berucap apa-apa, sebelum akhirnya, dia memalingkan muka dan bergegas berdiri untuk pergi.
"Mas ... jangan pergi dulu!" Aku mencoba menahan suamiku. Pikirku, ini harus dituntaskan sekarang juga.
"Aku sudah tahu semuanya, Mas. Maaf, aku telah lancang membuka handphone-mu. Jangan pergi dulu! Aku hanya ingin sedikit berpesan kepadamu," lanjutku mengulang mohon.
Perlahan suamiku kembali duduk, namun dia masih terlihat syok dan ajeg dalam bungkamnya.
"Aku tidak marah." Bingung, kujadikan saja dusta recehan itu sebagai prolog. Sayang, ternyata prolognya tak bisa menghantarkanku menuju bagian utama dari uraian panjang kekecewaanku. Aku kembali diam.
Harusnya, segera kususul kalimat pembuka itu dengan bermacam narasi yang telah tersusun rapi di otakku tadi malam. Tapi tidak, aku malah ikut membisu. Sekuatnya, aku hanya fokus untuk menahan gejolak luar biasa dalam diri ini yang ditandai dengan nafas tersenggal. Sakitku tak bisa ditutupi lagi meski sebelumnya aku yakin, ini akan dengan mudah bisa dilewati. 
Lama terdiam, dengan berat, aku memaksakan diri untuk melanjutkan. "Mas ... aku memilih untuk setiap hari menikah denganmu; dan kini, aku harus jujur padamu bahwa itu tidaklah mudah. Tidak mudah karena, ternyata, aku tidak selalu menginginkannya. Tapi, itulah pilihanku. Aku hanya ingin kau tahu, di setiap masa sulit itu datang, aku selalu meyakinkan diri bahwa kamulah suami yang aku pilih sebagai pendampingku setiap waktu." Menahan diri untuk tetap lantang berbicara, air mataku tetap saja mengalir; bibirku bergetar di saat dan setelah aku bicara.
"Maafkan aku," timpal suamiku penuh kesungguhan.
Meyakinkan. Wajahnya menggurat sesal saat lisannya mengucap maaf. Tapi, ternyata hanya sekejap lalu. Dia kembali membuang muka ke arah jendela kaca di kanan kami, menggilir pandang pada bermacam tanaman yang kupelihara dengan baik di halaman belakang. Dan aku ... Aku menunggu dia melanjutkan kata-katanya. "Aku hilap, aku akan meninggalkannya,", "Aku berjanji tak akan mengulangi," atau apalah, semisal bual, "Tenanglah Sayang, dia bukan siapa-siapa," sekalipun, aku sangat butuh itu keluar dari mulut suamiku. Bukankah harusnya seperti itu, ya? Tapi nyatanya tidak ada. Sebatas dua kata tadi saja. Bahkan, mungkin itu pun hanya dia niatkan sebagai penghibur atau tanda iba saja atas ketidakberdayaanku.
“Tidak! Dia tidak mungkin benar-benar siap meninggalkanku?” bisik hatiku berusaha menyimpan yakin kembali. Tapi, Ryan diam saja. Tak ada sinyal yang bisa aku tangkap dari maksud sikapnya.
Was-was menanti kepastian, kalut itu kumuntahkan juga. "Jadi, selanjutnya mau kamu bagaimana?" susulku karena tak mau digantung tanpa keputusan.
"Aku tidak tahu."
Payah, jawaban suamiku tak menawar sakitku sedikitpun.
Tapi, ini belum berakhir. Aku sempurna baik dengan ataupun tanpa Ryan. Aku tidak akan mengiba. Jika dia waras, harusnya dialah yang mengiba dan memohon untuk tetap mempertahankan sosokku di dalam hidupnya.
"Baiklah, sepertinya, aku tak bisa menahanmu. Pergilah jika kamu harus pergi, Suamiku! Namun, sekiranya kau masih menganggapku sebagai tempatmu pulang, jika kamu beruntung, aku mungkin masih menunggumu di sini. Di meja ini," tuntasku tanpa nafsu memperpanjang omongan lagi.

***
Matahari sudah tinggi, Ryan dan Chandra belum juga turun untuk sarapan. Meski aku telah berhasil mengumpulkan mereka berdua di satu rumah, lima tahun berlalu setelah, dengan dinginnya, suamiku pergi, aku kembali harus melewatkan ritual sarapan ini seorang diri. Minggu lalu, setelah dokter hewan mengebiri keduanya, mereka menjadi sangat malas beraktivitas; bahkan untuk menjemput makanan sekalipun. Tapi bagusnya, sekarang mereka tidak lagi agresif setiap kali ada kucing betina lewat di depan rumah.
Sedang anakku, lulus dari boarding school, dia malah memilih melanjutkan kuliah di luar negeri. Kairo adalah tempat yang direkomendasikan oleh guru ngajinya.
Oke, semua pergi. Tapi biarlah, aku sempurna baik dengan atau tanpa mereka. Satu hal saja yang aku masih berandai dapat memperbaikinya, harusnya ucapan terakhir yang kulontarkan pada suamiku bukanlah, "aku mungkin masih menunggumu di sini".

Papi Badar©
Bandung, 18112019

Komentar

  1. "Agen poker terbesar dan terpercaya ARENADOMINO.
    minimal depo dan wd cuma 20 ribu
    dengan 1 userid sudah bisa bermain 9 games
    ayo mampir kemari ke Website Kami ya www.arenadomino.com

    Wa :+855964967353
    Line : arena_01
    WeChat : arenadomino
    Yahoo! : arenadomino"

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ketawa Karir

"Hirup Tong Kagok Ngan Tong Ngagokan!" Masih Mencoba Menyelami Colotehan Ustad Evie Effendi

3 Metode Pendekatan Penilaian Properti Beserta Kekurangan dan Kelebihannya